Tuhan sudah memberiku kenikmatan yang luar biasa. Keluarga, pekerjaan dan sahabat yang mendukung dan menyayangiku. Sakitku ini bukanlah musibah, namun pembuktian bahwa mereka yang kucinta ada untukku. Tidak hanya anak-anak dan suami, tetapi juga teman kerja yang setia membantuku, termasuk semua yang mendukungku di rumah ini. Jadi untuk apa aku kawatir? Toh, aku masih bisa menjalankan aktifitas sehari-hari. Semua menyambut gembira kepulanganku, terlebih anak-anak yang selama ini terpisah. Aku yang duduk bersandar di ranjang dikelilingi Wisnu dan Amelia yang mengajak adik-adiknya—Anind dan Danish. Seakan menahan rindu yang sangat, kedua balitaku berceloteh sembari menempel di tubuh ini. “Akhirnya Mama pulang ….” ucap Wisnu sembari memijit kakiku. Wajahnya menunduk seperti menyembunyikan sesuatu. “Selama tidak ada Mama di rumah sakit, rumah seakan kosong,” tambahnya lirih. Tangannya mengusap kasar wajahnya dan memberiku senyuman dengan mata yang sudah memerah. “Sini, Kak,” ucapku den
“Jangan, kawatir, hal ini dilakukan supaya penyakit tidak menyebar, toh satu ovarium masih dalam keadaan bagus dan sehat. Untuk kerja hormon tetap normal. Jadi ini tidak akan mengurangi kemesraan kalian," jelas Dokter Hendra dulu. Kalau dipikir, bagaimana bisa operasi ini tidak berpengaruh kepadaku? Ovarium yang menjadi pabrik untuk memproduksi hormon dihilangkan dari tubuh ini. Memang benar, aku masih mempunyai satu indung telur, tapi bukankah itu akan pincang karena bekerja sendirian? Ini sama saja aku tidak lagi menjadi wanita seutuhnya lagi. Separuh yang aku punya sudah tidak ada lagi. Apa yang aku baca ternyata sekadar teori belaka. Beberapa buku tentang penyakit ini, aku lahap habis. Bahkan makalah dari penelitian pun aku telaah dengan cermat. Namun, mereka hanya menyatakan secara medis operasi yang aku lakukan tidak berpengaruh pada keseharian. Bagaimana bisa? Buktinya, aku mulai malas ketika Mas Suma mencoba mendekatiku. Hasrat untuk bersamanya tidak bergelora seperti sebelu
Rumah terlihat sepi. Tidak terlihat kedua anak balitaku, Danish dan Anind. Mata ini langsung menilik jam di dinding. Menunjukkan angka satu, pantas saja tidak terdengan suara mereka. Pasti kedua anakku sedang tidur siang.Saat aku sakit, kedua balitaku ini sepenuhnya diasuh babysister. Mbak Tyas pengasuh Danish yang berumur empat tahun, sedangkan Anind-adiknya- yang baru satu tahun diasuh oleh Mbak Dwi. Sebenarnya aku tidak perlu mengkawatirkan mereka, karena kedua pengasuh sudah mengasuh sejak mereka lahir. Apa yang harus dilakukan pun sudah aku ajarkan sebelumnya. Mulai jadwal kegiatan dan makanan apa yang bisa diberikan.Sebelumnya, walaupun ada pengasuh, aku tetap memberi perhatian kepada mereka. Tak jarang mereka bermain dan tidur bersama kami, tapi sekarang Mas Suma melarangnya. Tentu saja dengan alasan kesehatanku.Sejujurnya aku merasa bersalah, terutama Anind yang masih membutuhkan ASI. Semenjak aku dirawat di rumah sakit, terpaksa aku menyapihnya.Benar, mereka sedang tertid
Apakah yang aku tangkap ini benar? Aku akan mencari tahu nanti.***“Mas Suma mau dibuatkan teh?” Usapan lembut di bahu ini dan suara Maharani menghentikan aktifitasku.Sejenak aku jauhkan laptop kemudian menoleh ke arahnya. Senyuman yang aku rindukan menghias di wajah istriku yang masih terlihat pucat. Dalam keadaan seperti ini pun, dia masih berusaha memperhatikan aku. Sikap manjaku kepadanya seperti sudah menjadi kebiasaan dan tanpa sengaja menjadi tuntutan yang harus dia lakukan. Walaupun dalam keadaan sekarang ini.Kuusap lembut punggung tangannya, kemudian menarik tubuhnya ke pangkuanku. Sekilas, aku merasa tubuhnya tegang, walaupun terhapus dengan senyuman seperti biasanya. Bobot tubuh istriku tidak seberat sebelumnya. Tubuhnya terlihat lebih kurus, malah terasa ringan di pangkuanku.“Mas Suma. Apaan, sih. Ditawarin minum kok malah jadinya gini,” ucap istriku sembari mengalungkan kedua tangannya padaku.Aku tersenyum sembari mencium bibirnya perlahan, kemudian menautkan rambutn
Apa yang harus aku lakukan?Lebih baik aku beri waktu dia sejenak untuk mengurai rasa kekesalannya. Di waktu emosi tidak stabil, kata apapun tidak akan didengar. Biarlah, aku harus mengalah dan lebih bersabar. Dia pasti membutuhkan ruang untuk menenangkan pikiran. Anggap saja, ini memberi jeda kami berdua untuk meredakan emosi. Jujur, aku merasa serba salah dan tidak mengerti kenapa di bereaksi seperti ini.Aku yang semula duduk di sebelahnya, kemudian merosot duduk di lantai sembari bersandar di sofa. Dengan lengan tertumpu pada satu lutut yang tertekuk, aku menerawang tatapan ke arah tirai yang menyorot sedikit sinar. Menghadapi istri yang sedang ngambek, seribu kali membingungkan dibandingkan menghadapi client yang rewel. Sungguh, sebenarnya aku merasa kesal karena tidak mengerti salahku dimana, sehingga dia beraksi seperti ini.“Kenapa Mas Suma ke sini. Aku kan ingin sendiri,” ucapnya setelah sekian waktu terdiam. Terdengar dia beringsut dan membalikkan tubuh. Segera aku balikkan
POV MaharaniDalam keterbatasan, ternyata kami masih bisa menikmati kebersamaan ini. Walaupun sempat terjeda, tetap saja hasrat yang sudah terpaut enggan untuk disudahi.Sofa ini menjadi korban pelampisan kami, bantal yang semula berjajar rapi terlempar entah kemana demi memberi ruang kami berdua. Sembari manata napas, tangannya memeluk pinggang ini dengan sesekali masih mengenduskan hidung di tengkukku yang masih lembab karena keringat. Untung saja ada kain rajut berukuran lebar yang biasa aku letakkan di sandaran sofa. Sekarang, berguna melindungi kami yang sudah kehilangan pakaian yang entah tercecer dimana.“Sebentar, Ran. Aku masih ingin peluk seperti ini,” bisiknya ketika aku hendak mengurai tangannya.“Tapi, Mas. Nanti ada yang datang.”“Tidak mungkin. Wisnu pasti mencegahnya. Dia tahu aku menyusulmu ke sini.”Sontak, aku kaget dan membalikkan tubuh ke arahnya. “Jadi dia tahu kita—““Wisnu sudah gede. Bukan anak kecil lagi, Honey. Dia juga anak yang pengertian, memberi waktu Ma
Sejak kejadian itu seperti awal pembebasanku pada tugas di keluarga ini. Mas Suma seakan membiarkan apa yang akan aku lakukan. Dia tidak berkomentar apalagi cerewet melarangku ini dan itu. Begitu juga semua pekerja di sini. Tidak ada lagi kata-kata yang menyiratkan perintah dari suamiku untuk membatasi aktifitasku. Entah itu memasak, bermain dengan kedua balitaku, bahkan kerja seharian di kantor, walaupun berakhir dengan badan lemas kehabisan tenaga.Lega di hati ini, bisa bebas melakukan apapun. Namun, ada rasa kehilangan perhatian darinya yang sering membuatku sebal. Mas Suma seperti membuat jarak di antara kami.Aku merasa diabaikan.“Pagi, Ma. Hmm … baunya harum.” Suara Amelia menghentikanku mengaduk nasi goreng dan menoleh ke belakang. Amelia sudah siap berangkat sekolah. Dia sudah duduk di meja makan bersiap untuk makan pagi.“Pagi, Sayang. Ini Mama bikinkan nasi goreng kesukaanmu,” ucapku sembari melanjutkan kegiatan masak yang sudah hampir selesai. Bik Inah sudah yang sedari m
“Rani!”Teriakan yang membuatku menghentian langkah dan mendongak ke atas. Sosok yang selama ini mendukungku, tanpa berharap balasan. Dia, Pak Tiok yang sedang berdiri di balkon dengan secepat kilat turun menghampiriku yang baru saja turun dari mobil. Sempat terhenyak dengan penampilannya yang selalu memesona.Usianya memang tidak muda lagi. Namun, tubuhnya yang terjaga tidak menggembung, membuat dia tetap memesona. Apalagi ditunjang penampilannya yang nyentrik, baju panjang dengan lengan digulung dan celana jeans. Rambut panjang sebahu dibiarkan terurai dan bergerak bebas membingkai wajahnya yang terlihat bersemangat menyambutku.Mungkin karena semangatnya, dia lupa menyematkan kata ‘bu’ saat memanggilku. Satu dari beberapa persyaratan dari Mas Suma saat memberi izin kerjasama ini. Walaupun kami dulu berteman, tetapi untuk menjaga jarak, kami harus bersikap formal. Termasuk dalam hal panggilan.“Kalau Bu Rani bilang akan datang, pasti aku jemput,” ucapnya seraya mengulurkan tangan u