Sejak kejadian itu seperti awal pembebasanku pada tugas di keluarga ini. Mas Suma seakan membiarkan apa yang akan aku lakukan. Dia tidak berkomentar apalagi cerewet melarangku ini dan itu. Begitu juga semua pekerja di sini. Tidak ada lagi kata-kata yang menyiratkan perintah dari suamiku untuk membatasi aktifitasku. Entah itu memasak, bermain dengan kedua balitaku, bahkan kerja seharian di kantor, walaupun berakhir dengan badan lemas kehabisan tenaga.Lega di hati ini, bisa bebas melakukan apapun. Namun, ada rasa kehilangan perhatian darinya yang sering membuatku sebal. Mas Suma seperti membuat jarak di antara kami.Aku merasa diabaikan.“Pagi, Ma. Hmm … baunya harum.” Suara Amelia menghentikanku mengaduk nasi goreng dan menoleh ke belakang. Amelia sudah siap berangkat sekolah. Dia sudah duduk di meja makan bersiap untuk makan pagi.“Pagi, Sayang. Ini Mama bikinkan nasi goreng kesukaanmu,” ucapku sembari melanjutkan kegiatan masak yang sudah hampir selesai. Bik Inah sudah yang sedari m
“Rani!”Teriakan yang membuatku menghentian langkah dan mendongak ke atas. Sosok yang selama ini mendukungku, tanpa berharap balasan. Dia, Pak Tiok yang sedang berdiri di balkon dengan secepat kilat turun menghampiriku yang baru saja turun dari mobil. Sempat terhenyak dengan penampilannya yang selalu memesona.Usianya memang tidak muda lagi. Namun, tubuhnya yang terjaga tidak menggembung, membuat dia tetap memesona. Apalagi ditunjang penampilannya yang nyentrik, baju panjang dengan lengan digulung dan celana jeans. Rambut panjang sebahu dibiarkan terurai dan bergerak bebas membingkai wajahnya yang terlihat bersemangat menyambutku.Mungkin karena semangatnya, dia lupa menyematkan kata ‘bu’ saat memanggilku. Satu dari beberapa persyaratan dari Mas Suma saat memberi izin kerjasama ini. Walaupun kami dulu berteman, tetapi untuk menjaga jarak, kami harus bersikap formal. Termasuk dalam hal panggilan.“Kalau Bu Rani bilang akan datang, pasti aku jemput,” ucapnya seraya mengulurkan tangan u
Aku tidak mau sahabatku ini terjebak kembali dalam perasaan yang tidak mungkin berbalas. Bagiku, Pak Tiok tidak sekadar sahabat, tetapi sudah seperti saudara.“Pak Tiok ….”“E, maksudku. Saya tetap perhatian kepadamu,” ucapnya sambil memutar kepala ke arahku. “Bukankan kita. Maksud saya, kamu, Pak Kusuma, dan anak-anak sudah menjadi lebih dekat? Kalian sudah aku anggap saudara sendiri. Kamu tahu kan, aku tidak punya saudara.”“Oh, begitu,” ucapku dengan lega dan kembali menyeruput kopi sampai tandas.Kami pun melanjutkan berbincang ringan tentang gallery. Sesekali diselingi dengan kenangan kami yang membuat tawa tercipta. Aku akui, dia memang jago mencairkan suasana dan membuatku lupa pada masalah yang sebelumnya menghantui hati ini.“Sebentar, ya,” ucapnya kemudian mengambil ponsel di saku celananya.Ternyata mode getar menandakan ada pesan yang masuk. Wajahnya mengernyit saat membacanya, kemudian menatapku sekilas dan menulis sesuatu di sana. Ah, mungkin saja itu dari wanita yang la
Seketika, menyeruak aroma tubuhnya di penciumanku. Ya, aroma yang sangat aku hafal dari mana datangnya.“Mas Suma ….” Kata itu yang sempat terlontar dari mulut ini sebelum pandanganku menggelap dengan sempurna.***Aku melihat Mas Suma di antara tingginya ilalang yang bergerak tertiup angin, menghalangi pandangan mataku. Seperti biasa sosok yang sangat aku kenal ini memasukkan kedua tangan ke saku celana dengan posisi membelakangiku.Dengan menyibak halangan langkah ini, aku berusaha mendekatinya. Namun entah kenapa, semakin aku mendekat, jarak kami semakin jauh. Perih kaki dan tangan ini terkena goresan daun ilalang yang tajam. Semakin kaki ini berusaha mendekat, semakin tenagaku seakan terkuras habis.Aku harus memanggilnya supaya dia yang mendekatiku seperti yang biasa dia lakukan. Ada di sampingku selalu dan menggangu, bahkan terkadangmembuat hati ini kesal.“Mas Suma! Mas Suma!” Teriakanku seperti lenyap begitu saja oleh angin. Terbang dan hilang tanpa sempat menyapa pendengaran
”Mama!” Amelia menyambut kedatanganku. Dia langsung menghambur memelukku. Dengan semangat, tubuhnya yang sudah besar membuatku terhuyun. Untung saja, Papinya dengan sigap memegang tubuh ini. “Amelia! Jangan asal nubruk. Mama masih sakit!” teriak Mas Suma dengan kesal. Amelia yang merasa bersalah langsung beringsut dan menggandeng lenganku di sisi lainnya. Bersama mereka berdua, aku dipapah masuk ke kamar. “Amelia! Biarkan Mama istirahat. Jangan ganggu Mama! Kamu ini nempel aja. Sudah besar, adiknya saja sudah dua!” Mas Suma memberi kode ke anak gadisnya untuk pergi meninggalkan kamar. Wajah Amelia menunjukkan keengganan, bibirnya mengerucut sambil berguman. “Mas Suma. Biarkan Amel di sini sebentar. Mama juga kangen dengan Amel, kok,” ucapku sembari menariknya untuk berbaring di sebelahku. “Boleh. Tapi sebentar, ya!” Sambil menunjukkan senyum kemenangan kepada Papinya, dia memeluk pinggang ini. Kepalanya diselusupkan di ketiak ini, kebiasannya saat merasa kangen kepadaku. Kemanjaa
Perlahan, tangan ini menyelusup masuk di piyama tidurnya. Memberi tanda kalau akupun menginginkannya. Apapun harus aku usahakan demi kebahagiaannya. Kalau perlu, besuk aku mencari tahu suplemen apa yang membuatku bisa kuat seperti sedia kala. Tubuh ini mulai meremang saat dia menangkup tangan ini sembari menciumku dengan lembut. Biasanya, dia akan segera menyambut penawaran seperti ini tanpa membuang waktu. Tidak kusangka, Mas Suma justru merengkuh kepala ini sambil berbisik, “Honey, malam ini aku capek. Kita pelukan saja, ya.” Tanganku diletakkan di pinggangnya. Kemudian dia menyelimuti tubuh kami dan menciumku kembali sebelum terdengar napasnya yang menandakan dia sudah merajut mimpi. Huuft! Syukurlah, malam ini aku bisa beristirahat. *** Hari ini, meja makan terasa lengkap. Wisnu mempercepat rencana kembali ke rumah setelah mendengar aku sakit kembali. Dia yang sudah semester akhir, memutusnya menyelesaikan laporan penelitian di rumah. Toh, perjalanan ke kota tempat dia kuli
“Mas Suma benaran tidak apa-apa kami tinggal di rumah? Hanya ada Bik Inah dan satpam saja. Pak Maman juga ikut pergi,” ucapku sembari memasang dasi. Rumah yang biasanya ramai, mendadak menjadi sepi. Tidak bisa aku bayangkan, di setiap malam Mas Suma sendiri di rumah sebesar ini. “Tidak apa-apa. Yang penting, kamu bisa istirahat,” ucapnya sembari menarik pinggang dan membubuhkan ciuman di kening ini. Sikap romantisnya tetap tidak berubah. Namun, kebiasaannya yang tidak mau kalah dan ingin menang sendiri, lenyap begitu saja. Biasanya, dia ingin dinomor satukan selalu. Bahkan sering kali bertengkar dengan Amelia hanya karena berebut perhatianku. Ini … dia malah bersikap seakan tidak membutuhkan aku lagi. Tidak ada rasa keberatan untuk kami tinggalkan. Seperti ada alarm di otakku. Melihat mobilnya berderu meninggalkan halaman rumah membuat hati ini seperti akan kehilangan dia. Ingatanku teringat dengan bacaan yang aku baca. Tanda-tanda suami yang sudah mempunyai kebahagiaan lain di luar
Aku mengaduh dan membalas mencubit perut Mas Suma dengan gemas. Sebelum mencubit yang kali kedua, tangan ini ditangkapnya. Seperti terhipnotis, mata ini terpaku pada matanya yang mulai berkabut, menyiratkan hasrat yang mulai terpatik. “Ran ….” “Hmm ….” “Minta bekal, ya,” bisiknya sesaat sebelum mengikis jarak wajah kami. Dengus napasnya yang mulai menerpa permukaan kulit ini, mulai membuat diriku ditenggelamkan pada setiap sentuhan lembutnya. Saling menyambut dan menautkan rasa, kami pun bersama mengarungi samudra cinta yang menggairahkan. Bersandar bersama di pelabuhan kepuasan. Dengan mengetatkan selimut, kami yang masih polos bergelung melepas penat sembari berbagi kehangatan. Mas Suma mencium pundak ini sambil berbisik, “I love you, Honey.” Sentuhan bibir di permukaan kulit ini masih meninggalkan geleyar indah di hati. Seakan menarik tubuh ini untuk lebih menyelusup dalam pelukannya. Kata cinta dan sayang dia bisikkan, menghangatkan hati ini dan mengukuhkan rasa percaya bahwa