Aku tidak mau sahabatku ini terjebak kembali dalam perasaan yang tidak mungkin berbalas. Bagiku, Pak Tiok tidak sekadar sahabat, tetapi sudah seperti saudara.“Pak Tiok ….”“E, maksudku. Saya tetap perhatian kepadamu,” ucapnya sambil memutar kepala ke arahku. “Bukankan kita. Maksud saya, kamu, Pak Kusuma, dan anak-anak sudah menjadi lebih dekat? Kalian sudah aku anggap saudara sendiri. Kamu tahu kan, aku tidak punya saudara.”“Oh, begitu,” ucapku dengan lega dan kembali menyeruput kopi sampai tandas.Kami pun melanjutkan berbincang ringan tentang gallery. Sesekali diselingi dengan kenangan kami yang membuat tawa tercipta. Aku akui, dia memang jago mencairkan suasana dan membuatku lupa pada masalah yang sebelumnya menghantui hati ini.“Sebentar, ya,” ucapnya kemudian mengambil ponsel di saku celananya.Ternyata mode getar menandakan ada pesan yang masuk. Wajahnya mengernyit saat membacanya, kemudian menatapku sekilas dan menulis sesuatu di sana. Ah, mungkin saja itu dari wanita yang la
Seketika, menyeruak aroma tubuhnya di penciumanku. Ya, aroma yang sangat aku hafal dari mana datangnya.“Mas Suma ….” Kata itu yang sempat terlontar dari mulut ini sebelum pandanganku menggelap dengan sempurna.***Aku melihat Mas Suma di antara tingginya ilalang yang bergerak tertiup angin, menghalangi pandangan mataku. Seperti biasa sosok yang sangat aku kenal ini memasukkan kedua tangan ke saku celana dengan posisi membelakangiku.Dengan menyibak halangan langkah ini, aku berusaha mendekatinya. Namun entah kenapa, semakin aku mendekat, jarak kami semakin jauh. Perih kaki dan tangan ini terkena goresan daun ilalang yang tajam. Semakin kaki ini berusaha mendekat, semakin tenagaku seakan terkuras habis.Aku harus memanggilnya supaya dia yang mendekatiku seperti yang biasa dia lakukan. Ada di sampingku selalu dan menggangu, bahkan terkadangmembuat hati ini kesal.“Mas Suma! Mas Suma!” Teriakanku seperti lenyap begitu saja oleh angin. Terbang dan hilang tanpa sempat menyapa pendengaran
”Mama!” Amelia menyambut kedatanganku. Dia langsung menghambur memelukku. Dengan semangat, tubuhnya yang sudah besar membuatku terhuyun. Untung saja, Papinya dengan sigap memegang tubuh ini. “Amelia! Jangan asal nubruk. Mama masih sakit!” teriak Mas Suma dengan kesal. Amelia yang merasa bersalah langsung beringsut dan menggandeng lenganku di sisi lainnya. Bersama mereka berdua, aku dipapah masuk ke kamar. “Amelia! Biarkan Mama istirahat. Jangan ganggu Mama! Kamu ini nempel aja. Sudah besar, adiknya saja sudah dua!” Mas Suma memberi kode ke anak gadisnya untuk pergi meninggalkan kamar. Wajah Amelia menunjukkan keengganan, bibirnya mengerucut sambil berguman. “Mas Suma. Biarkan Amel di sini sebentar. Mama juga kangen dengan Amel, kok,” ucapku sembari menariknya untuk berbaring di sebelahku. “Boleh. Tapi sebentar, ya!” Sambil menunjukkan senyum kemenangan kepada Papinya, dia memeluk pinggang ini. Kepalanya diselusupkan di ketiak ini, kebiasannya saat merasa kangen kepadaku. Kemanjaa
Perlahan, tangan ini menyelusup masuk di piyama tidurnya. Memberi tanda kalau akupun menginginkannya. Apapun harus aku usahakan demi kebahagiaannya. Kalau perlu, besuk aku mencari tahu suplemen apa yang membuatku bisa kuat seperti sedia kala. Tubuh ini mulai meremang saat dia menangkup tangan ini sembari menciumku dengan lembut. Biasanya, dia akan segera menyambut penawaran seperti ini tanpa membuang waktu. Tidak kusangka, Mas Suma justru merengkuh kepala ini sambil berbisik, “Honey, malam ini aku capek. Kita pelukan saja, ya.” Tanganku diletakkan di pinggangnya. Kemudian dia menyelimuti tubuh kami dan menciumku kembali sebelum terdengar napasnya yang menandakan dia sudah merajut mimpi. Huuft! Syukurlah, malam ini aku bisa beristirahat. *** Hari ini, meja makan terasa lengkap. Wisnu mempercepat rencana kembali ke rumah setelah mendengar aku sakit kembali. Dia yang sudah semester akhir, memutusnya menyelesaikan laporan penelitian di rumah. Toh, perjalanan ke kota tempat dia kuli
“Mas Suma benaran tidak apa-apa kami tinggal di rumah? Hanya ada Bik Inah dan satpam saja. Pak Maman juga ikut pergi,” ucapku sembari memasang dasi. Rumah yang biasanya ramai, mendadak menjadi sepi. Tidak bisa aku bayangkan, di setiap malam Mas Suma sendiri di rumah sebesar ini. “Tidak apa-apa. Yang penting, kamu bisa istirahat,” ucapnya sembari menarik pinggang dan membubuhkan ciuman di kening ini. Sikap romantisnya tetap tidak berubah. Namun, kebiasaannya yang tidak mau kalah dan ingin menang sendiri, lenyap begitu saja. Biasanya, dia ingin dinomor satukan selalu. Bahkan sering kali bertengkar dengan Amelia hanya karena berebut perhatianku. Ini … dia malah bersikap seakan tidak membutuhkan aku lagi. Tidak ada rasa keberatan untuk kami tinggalkan. Seperti ada alarm di otakku. Melihat mobilnya berderu meninggalkan halaman rumah membuat hati ini seperti akan kehilangan dia. Ingatanku teringat dengan bacaan yang aku baca. Tanda-tanda suami yang sudah mempunyai kebahagiaan lain di luar
Aku mengaduh dan membalas mencubit perut Mas Suma dengan gemas. Sebelum mencubit yang kali kedua, tangan ini ditangkapnya. Seperti terhipnotis, mata ini terpaku pada matanya yang mulai berkabut, menyiratkan hasrat yang mulai terpatik. “Ran ….” “Hmm ….” “Minta bekal, ya,” bisiknya sesaat sebelum mengikis jarak wajah kami. Dengus napasnya yang mulai menerpa permukaan kulit ini, mulai membuat diriku ditenggelamkan pada setiap sentuhan lembutnya. Saling menyambut dan menautkan rasa, kami pun bersama mengarungi samudra cinta yang menggairahkan. Bersandar bersama di pelabuhan kepuasan. Dengan mengetatkan selimut, kami yang masih polos bergelung melepas penat sembari berbagi kehangatan. Mas Suma mencium pundak ini sambil berbisik, “I love you, Honey.” Sentuhan bibir di permukaan kulit ini masih meninggalkan geleyar indah di hati. Seakan menarik tubuh ini untuk lebih menyelusup dalam pelukannya. Kata cinta dan sayang dia bisikkan, menghangatkan hati ini dan mengukuhkan rasa percaya bahwa
Berat rasanya membiarkan Maharani dan anak-anak pergi untuk liburan, walaupun di jarak yang tidak terlalu jauh. Namun, kesempatan yang tidak berpihak kepadaku membuat diri ini harus menerima konsekuensi. Perusahaan sedang tidak baik-baik saja, dan bisa jadi bertambah buruk ketika aku sejenak berpaling dari pekerjaan.Sementara, keinginan pribadi dan keluarga aku korbankan demi pekerjaan. Apalagi Desi yang tidak aktif seratus persen. Untungnya ada Kalila, sekretaris tunjukan Desi yang bisa membantuku. Menurut Desi, Kalila ini sudah lama bekerja di perusahaan. Pengalamannya yang pernah ditugaskan di beberapa bidang dan pembawaannya yang supel, pintar, dan berpenampilan yang menarik, menjadi alasan kenapa dia ditunjuk menjadi pengganti Desi untuk sementara.“Selamat pagi, Tuan Kusuma. Semua peserta meeting hari ini sudah siap di ruangan.” Suara Kalila membuatku bergegas untuk bersiap.Hari ini, hari pertama dia menggantikan tugas Desi secara penuh. Perempuan yang masih muda itu menggunak
Yang lebih menyakitkan, ada satu foto yang memperlihatkan tatapan Mas Suma yang tertuju pada dada si wanita yang terlihat sesak itu. Duh! “Rani!” Teriakan Ibu dari teras menyadarkan aku. Segera, aku menghela napas panjang dan berusaha tersenyum untuk menutupi rasa resah ini. Biarlah, tentang pesan yang masuk ini aku pikirkan nanti. Toh, apa yang terjadi sebenarnya aku pun tidak tahu. “Ayuk turun, Ma. Eyang Sastro sudah tidak sabar, tuh!” seru Wisnu yang sudah menghampiriku. Dari mulutnya yang masih mengunyah makanan, bisa dipastikan dia sudah sampai sedari tadi. “Mama kelihatan pucat. Apa terasa lemas?” Anakku itu mengulurkan tangan dengan menunjukkan raut wajah kawatir. “Tangan Mama juga dingin dan berkeringat,” imbuhnya saat meraih tanganku yang terulur. “Mama tidak apa-apa. Cuma pegal karena duduk terlalu lama. Yuk! Kasihan tuh, Eyang sudah nungguin.” Akupun mengeratkan genggaman tangan, dan dengan bertumpu kepadanya, kami pun menghampiri Ibu yang mengulurkan kedua tangannya.