Bab 162. Ibu
Yang lebih menyakitkan, ada satu foto yang memperlihatkan tatapan Mas Suma yang tertuju pada dada si wanita yang terlihat sesak itu. Duh!

“Rani!”

Teriakan Ibu dari teras menyadarkan aku. Segera, aku menghela napas panjang dan berusaha tersenyum untuk menutupi rasa resah ini. Biarlah, tentang pesan yang masuk ini aku pikirkan nanti. Toh, apa yang terjadi sebenarnya aku pun tidak tahu.

“Ayuk turun, Ma. Eyang Sastro sudah tidak sabar, tuh!” seru Wisnu yang sudah menghampiriku. Dari mulutnya yang masih mengunyah makanan, bisa dipastikan dia sudah sampai sedari tadi.

“Mama kelihatan pucat. Apa terasa lemas?” Anakku itu mengulurkan tangan dengan menunjukkan raut wajah kawatir. “Tangan Mama juga dingin dan berkeringat,” imbuhnya saat meraih tanganku yang terulur.

“Mama tidak apa-apa. Cuma pegal karena duduk terlalu lama. Yuk! Kasihan tuh, Eyang sudah nungguin.”

Akupun mengeratkan genggaman tangan, dan dengan bertumpu kepadanya, kami pun menghampiri Ibu yang mengulurkan kedua tangannya.
Astika Buana

Meletakkan sakit hati, lebih baik daripada memelihara rasa yang hanya merugikan saja. Pasrah dan iklas yang bisa aku lakukan, mencari mana yang benar atau salah, hanya membuat keadaan semakin runyam. 'Kebenaran tergantung dari sudut mana dan waktu kapan kita menilai sesuatu. Hanya kebenaran Tuhan yang mutlak.' **** Pemikiran ini yang menjadi penguat langkah Fika. Cerita ini ada di cerbung 'Ipar Pergi Saat Kami Tak Punya Uang lagi" Terima kasih

| 2
Capítulos gratis disponibles en la App >

Capítulos relacionados

Último capítulo