Terima kasih sudah membaca kisah Maharani dan Tuan Kusuma. Memang terkesan cerita ini panjang. Namun, dengan inilah saya mencoba berbagi cara bersikap di setiap peristiwa pada sebuah pernikahan. Kata cinta tidak cukup menguatkan hubungan seiring pertambahnya usia. Ikuti cerita ini, ya. Terima kasih, dan jangan lupa untuk berbahagia.
POV MAHARANIAku poles riasan tipis-tipis. Hanya sekadar terlihat segar dan menutupi wajahku yang masih pucat. Tak lupa, aku bubuhkan wewangian shea butter yang lembut ini.Di depan cermin, aku tersenyum sambil memastikan penampilanku tidak menyedihkan. Pesan dari suamiku membangkitkan semangat diri ini. Memancarkan aura kebahagiaan dengan senyum yang berbayang. Aku harus bangkit, demi anak-anak, suami, dan terlebih untuk diriku sendiri.Kekuatan yang terbesar untuk menjadi baik, bukan dari orang lain. Namun, dari diri sendirilah awalnya. Karenanya, aku bertekad untuk cepat pulih, dan langkah pertama adalah makan.“Ma! Ini yang mancing Amel, lo. Trus itu juga yang petik sayurnya juga Amel.” Suara Amel menyambutku yang baru keluar dari kamar.Dia menunjuk makanan yang tersaji di meja makan. Ada gurami pesmol, tumis pucuk labu, dan urap sayur. Ada juga di piring satunya, tempe goreng dan tahu bacem. Semuanya kesukaanku. Entah kenapa, rasa tempe di kampung berbeda dengan tempe di kota.
Aku mengetatkan selimut di tubuhku. Udara di kampung terasa sejuk, walaupun tanpa pendingin udara. Angin semilir menyelusup di sela kisi-kisi jendela. Huuft, seandainya ada Mas Suma, pasti akan udara tidak sedingin ini. Justru akan membuat kami semakin merapat untuk berbagi kehangatan. Tangannya yang hangat menimbulkan kehangatan yang membuatku nyaman. Itu yang menyebabkan, kenapa kami selalu berpelukan saat tidur bersama. Apa yang dilakukan dia sekarang, ya? Apakah dia sudah tertidur? Tadi, setelah membersihkan diri dan berganti baju tidur, aku merebahkan diri. Tidak lupa melaksanakan anjuran Ibu, minum jamu yang sudah disiapkan di meja. Sempat menghubungi suamiku, tapi tidak diangkat ponselnya. Aku kirim pesan juga tidak dibalas. Mungkin, dia sudah tertidur pulas karena kecapekan seharian bekerja. Aku segera menyambar ponsel di atas nakas ketika ada pesan masuk. Tadi setelah tidak bisa menghubungi Mas Suma, aku mencari tahu pada Pak Satpam yang bertugas malam ini. Dia tidak bisa
Sembari memberikan tatapan yang nakal, kedua tanganku mengalung di lehernya. Gerakan ini menyingkap selimut dan menunjukkan bagian atasku yang tanpa tertutup selembar benangpun.Aku beringsut ke atas sembari berbisik, “Aku juga masih ingin.”Gayung pun tersambut. Raut wajahnya menunjukkan keterkejutan sejenak, kemudian pudar dengan senyuman dan tatapan mulai mendamba.“Aku juga masih sanggup,” ucapnya sesaat sebelum kami kembali larut.Seperti sepasang kekasih yang lama terpisah, kami pun saling berpaut kembali mengikis jeda dan kembali tenggelam menghabiskan sisa malam. Dingin dan heningnya kamar ini sudah berganti dengan deru napas yang saling bersautan. Ucapan sayang, cinta, dan pekikkan nama menandakan kelegaan yang sangat. Diri ini seakan membumbung tinggi bersama dan berakhir terkulai di dalam pelukan hangatnya.Sungguh, ini malam yang indah.***Walaupun kami yang mempunyai waktu tidur yang tidak lama, tapi suasana di kampung membuat kami terjaga pagi-pagi. Kokok ayam jantan d
“Mas Suma yakin akan kembali sekarang? Atau Wisnu ikut saja supaya ada menemani di perjalanan?” Aku menunggui Mas Suma yang berganti pakaian di kamar. Dia bersiap untuk kembali. Katanya, ada yang harus diselesaikan tentang pengucuran dana talangan untuk oprasional perusahaan.“Tidak usah. Biarkan dia stand by di sini. Mengawasi adik-adiknya terutama Amelia. Tadi mereka berdua sudah aku kasih arahan supaya tidak melakukan hal yang membahayakan.”“Tapi Mas, aku---““Kenapa? Atau kamu yang tidak memperbolehkan aku pergi. Masih kangen, ya,” ucapnya sembari meraih pinggang ini.Wajahnya menunjukkan senyuman jahil dengan menggerak-gerakkan alis mata. Kalau tidak karena dia sudah bersiap, pasti aku meluncurkan jurus yang memabukkan. Sayangnya, keharusan tanggung jawab yang memaksanya harus pergi.“Bilang saja Mas Suma yang pingin lagi,” bisikku sembari mengalungkan kedua tangan di lehernya.Aku tersenyum melihat dia yang menelan ludah, terlihat dari jakunnya yang bergerak naik turun. Ternyat
Aku dulu termasuk anak tomboy. Temanku kebanyakan laki-laki, termasuk si Sapto ini.Ketika SMP dulu, dia termasuk idola di sekolah. Dia pintar, tidak nakal, penampilannya bersih, dan tinggi. Yang membuatnya semakin populer, dia itu ketua OSIS.Sebenarnya, dia saingan terberatku dalam memperebutkan juara satu dan dua. Namun, karena dia nyambung kalau diajak bicara, jadinya kami berteman. Apalagi, kami sering dipasangkan untuk mengikuti lomba akademik mewakili sekolah.Namun semenjak dia menyelipkan surat cinta, aku berusaha menjaga jarak. Aneh aja kalau pacaran sama laki-laki bercelana pendek. Tidak ada minat. Sekarang, penasaran sih, bagaimana sosok teman SMP ku ini.“Ma, sudah sampai. Kita langsung masuk halaman kantor desa?” seru Wisnu menyadarkan aku dari lamunan masa remaja.“Paklik, gimana? Parkir di dalam? Kalau bisa di tempat yang agak tersembunyi.” Aku melempar pertanyaan kepada Paklik Totok yang duduk di depan.Sebenarnya aku merasa kurang nyaman diantar Wisnu menggunakan mob
Menghadapi teman lama yang dahulu pernah menaruh hati, harus ekstra menjaga sikap. Jangan terlihat terlalu menjaga jarak, yang bisa jadi menimbulkan kesan sombong. Namun, juga kesan seperti memberikan harapan, apalagi dengan status yang aku perkirakan dia seorang duda. Percakapan santai kami, akhirnya dilanjutkan ke gedung pertemuan yang sudah mulai didatangi para pelaku pengrajin. Tidak banyak yang hadir dibandingkan jumlah data yang tadi dia sodornya. “Sebenarnya ini bukan karena mereka tidak ingin maju, tetapi mereka enggan dengan pertemuan seperti ini.” “Kenapa?” “Mereka seperti mulai kehilangan harapan. Karena pertemuan seperti ini sering dilakukan tapi tidak ada ujung kejelasannya.” “Memang sering dilakukan seperti ini?” “Sering kalau dari pusat ada program. Ya aku tidak bisa menyalahkan mereka, sih. Karena pertemuan dari dinas hanya sekadar seperti ceramah saja tanpa bukti nyata. Yah, paling banter dari pusat mengucurkan bantuan cicilan ringan, kemudian mengadakan kunjunga
“Apa karena aku? Kamu tidak nyaman dan menghindar seperti dulu? Sikapmu sama seperti saat aku menyelipkan surat itu?”Pertanyaannya menunjukkan apa yang terjadi pada kami dulu masih lekat di ingatan. Bisa jadi yang dulu itu bukan sekedar cinta monyet, apalagi saat aku kuliah dia sempat mencariku. Itu yang dia sampaikan sekilas. Dia juga menceritakan penyesalan kenapa dia tidak berupaya lebih untuk menemuiku.“Ah, itu masa lalu. Maaf, ya. Aku hanya mengungkapkan yang aku rasakan. Sesuatu yang tidak sempat tersampaikan dan diperjuangkan,” ungkapnya sambil merapikan berkas yang dia tunjukkan tentang data pengrajin.Untung saja, percakapan ini tidak dilanjutkan setelah kedatangan Wisnu yang tadi menemani Paklik Totok. Dia mengalihkan pembicaraaan teknis kunjungan bersama Wisnu. Aankku itu terlihat antusias, apalagi dia sebagai calon arsitek yang juga menyukai pekerjaan kreatif ini. Aku yakin, perbincanganku selama ini dengannya, dan seringnya dia mengobrol dengan Mas Suma menjadi amunisi
Di layar ponsel, terlihat wajah Mas Suma yang memberiku tatapan menyelidik. Aroma kecurigaan menguar dari sorot matanya. Kalau sudah seperti ini, aku tidak bisa menyembunyikan apapun darinya.“Tadi di sana aku juga bertemu teman SMP. Kebetulan dia yang bertanggung jawab pada pengusaha kecil di kampung,” jelasku, tetapi tidak merubah ekspresinya yang masih kaku.“Lalu?” ucapnya dengan masih terdengar nada datar.“Pertemuan tadi, aku hanya sharing pengalaman saja sama para pengrajin. Didampingi Wisnu, kok. Karena nantinya saat operasional, Wisnu yang terjun langsung. Termasuk kunjungan ke tempat-tempat pengrajin.”“Bersama teman SMPmu itu?”“Iya. Dia kan yang memang menangani itu. Hanya, aku tidak ikut berkeliling. Wisnu yang mewakili aku nantinya.”“Kenapa?”Aku membalas tatapan Mas Suma. Masih dengan sorot yang menandakan kecurigaan, dahinya pun masih berkerut.“Mas Suma cemburu?” ucapku berganti melempar pertanyaan, sambil menampilkan senyuman.Wajahnya yang tidak dihiasai senyuman,