Di layar ponsel, terlihat wajah Mas Suma yang memberiku tatapan menyelidik. Aroma kecurigaan menguar dari sorot matanya. Kalau sudah seperti ini, aku tidak bisa menyembunyikan apapun darinya.“Tadi di sana aku juga bertemu teman SMP. Kebetulan dia yang bertanggung jawab pada pengusaha kecil di kampung,” jelasku, tetapi tidak merubah ekspresinya yang masih kaku.“Lalu?” ucapnya dengan masih terdengar nada datar.“Pertemuan tadi, aku hanya sharing pengalaman saja sama para pengrajin. Didampingi Wisnu, kok. Karena nantinya saat operasional, Wisnu yang terjun langsung. Termasuk kunjungan ke tempat-tempat pengrajin.”“Bersama teman SMPmu itu?”“Iya. Dia kan yang memang menangani itu. Hanya, aku tidak ikut berkeliling. Wisnu yang mewakili aku nantinya.”“Kenapa?”Aku membalas tatapan Mas Suma. Masih dengan sorot yang menandakan kecurigaan, dahinya pun masih berkerut.“Mas Suma cemburu?” ucapku berganti melempar pertanyaan, sambil menampilkan senyuman.Wajahnya yang tidak dihiasai senyuman,
Rasa terkejutku belum mereda, sudah ada pesan yang masuk kembali. Secepatnya aku membuka pesan yang masuk, mungkin pesan lanjutan dari pengirim gelap itu. Ternyata pesan dari Mas Suma.[Ran, aku tidak bisa ke sana. Ada meeting penting dari penanam modal.][I Love You]Seketika otakku bergulir liar. Satu persatu peristiwa tergabung dengan penghubung sebab akibat. Pengalaman buruk saat perkawinanku yang pertama dengan Mas Bram, mencuat kembali. Dia pun dulu memberikan alasan yang sama, meeting bersama penanam modal.Kepercayaan penuh yang aku berikan kepada Mas Bram, justru berakhir dengan meeting yang menyebabkan si penanam modal berbadan dua. Yang gilanya lagi, aku baru mengetahuinya setelah mereka sudah menikah siri dan dikaruniai anak dua.Aku tidak mau menjadi wanita bodoh lagi seperti dulu. Laki-laki walaupun bersikap manis, tetapi bisa jadi di belakang berbuat yang tidak kita pikirkan. Begitu juga Mas Bram dulu. Sikap manisnya tidak berubah sama sekali, bahkan Wisnu pun tidak mer
Kepala ini terasa berat. Aku berusaha membuka mata dan mengingat apa yang terjadi.“Tuan! Tuan Kusuma sudah sadar?” ucap supir perusahaan langsung menghampiriku.Aku mengerjapkan mata dan berusaha mendudukkan diri. Pandangan aku edarkan ke sekeliling. Ini seperti di kamar. Iya, terakhir aku melakukan pertemuan dengan penanam modal. Apakah ini masih di hotel?“Tuan Kusuma pingsan. Tapi dari pihak hotel memberitahu saya di bawah. Saya juga bertemu dengan tamunya Tuan Kusuma,” jelasnya dengan masih menunjukkan wajah kawatir.Aku menyingkap selimut, berniat akan turun dari ranjang. Betapa terkejutnya aku melihat baju yang aku kenakan berantakan. Ikat pinggang terbuka dan kancing kemejapun terlepas.“Kok saya begini?” tanyaku sambil mengernyitkan dahi. Aku tidak mengerti, kenapa aku sampai pingsan?“Ta-tadi ada dokter yang memeriksa Tuan Kusuma. Bapak-bapak tadi memanggilnya untuk memeriksa keadaan Tuan. A-apa ada yang hilang, Tuan? Dompet atau handphone?” tanyanya dengan menunjukkan wajah
“Ran, kamu pasti terkejut dengan kedatanganku, kan? Kangen, ya?”Mas Suma menunjukkan senyuman, dan melakukan gerakan yang akan meraih pinggang ini. Aku segera menjauh dengan menutup gerbang, mengelak pada kebiasaan dia yang mencium kening ini.Huuft!Seberapa kuat aku mencoba menerima, tapi membayangkan dia sudah menyentuh wanita lain….“Masuk, Mas. Pasti belum makan pagi, kan?” ucapku kemudian melangkahkan kaki mendahuluinya.Sekilas aku melihat tatapan keheranan. Sesekali aku mengembuskan napas, tidak memedulikaan apa yang dia pikirkan. Toh, aku tidak mencecarnya dengan pertanyaan apapun. Aku hanya minta waktu untuk berusaha menerima bahwa suamiku tidak lebih seperti lelaki di luar sana.Aku menyibukkan diri dengan menyiapkan makanan untuknya. Ini lebih baik daripada berhadapan dengannya, dan membuat hati ini semakin sakit.Masih jelas diingatan. Setiap detail foto aku amati tadi malam, untuk meyakinkan itu adalah Mas Suma. Berkali-kali aku zoom untuk mencari celah kalau itu foto
Tubuh ini luruh ke lantai. Tak kuasa menahan sesak di dada, dan air mata pun berderai. Aku bagaikan daun kering yang tanpa tenaga dan hanya bisa terkulai. Tidak kuhiraukan gedoran pintu dan panggilan dari Mas Suma. Niatku untuk memendam rasa sakit seperti wanita kuat di luar sana, gagal. Saat dia menyentuhku, di dalam kepala ini seperti berputar film kebersamaan dia dengan wanita itu. Diri ini tidak kuat membayangkan mereka saling berpagut, dan berbagi peluh di dalam lautan gairah. Sungguh, aku menyerah dan kembali pada ketidakrelaan. Perlahan aku membuka pintu kamar mandi. Mengedarkan kesekeliling dan tidak aku dapati sosok suamiku. Mungkin dia sudah lelah, atau sudah bosan menghadapi wanita tua sepertiku. Toh, yang masih muda siap sedia melebarkan tangan dan kaki untuknya.\ “Ran, kamu kenapa, sih?!” suara Mas Suma setelah pintu kamar terbuka. Aku menoleh sekilas dan kembali membuang pandangan ke arah lain. Tidak kupedulikan raut wajahnya yang mengetat. Biarlah dia semarah-marahn
“Kamar hotel..,” gumam Mas Suma lirih. “Iya, kamar hotel. Sekarang Mas Suma ingat, kan?” sahutku dengan melempar senyuman sinis. Pasti ingat, lah. Bagaimana rasanya pun pasti masih lekat di ingatan. Melihat dia yang terdiam termangu, aku semakin yakin kalau sekarang Mas Suma berpikir keras untuk mengingkarinya. Secepatnya aku beranjak dari duduk. Berlama-lama dengan penghianatan membuatku semakin mual. “Ran, tunggu!” ucapnya sembari mencekal tangan ini, dan aku pun terduduk kembali. “Apalagi sih, Mas?! Semua sudah jelas sekarang. Biarkan aku sendiri. Tenang saja, aku akan diam dan tidak membuat masalah yang menyebabkan nilai saham perusahaan turun. Aku bukan wanita yang ‘doyan’ dengan harta ataupun skandal!” seruku memberikan tatapan kebencian. “Tunggu sebentar. Darimana kamu mendapat cerita konyol ini? Aku tidak pernah melakukan seperti yang kamu tuduhkan!” ucapnya bersikukuh dengan tatapan terlihat serius. “Jawab, Ran. Darimana kamu tahu hal seperti itu!” Wajah dan tatapan Mas
Kukerjapkan mata berkali-kali mencoba mempercayai apa yang aku lihat. Mas Suma terkulai lemas didalam gulungan berwarna hitam kecoklatan. Matanya terpejam dengan kepala mendongak ke atas. Wajahnya meringis seakan menahan rasa sakit.Aku mengernyitkan dahi dan menajamkan penglihatanku. Gulungan itu bergerak dan terlihat kepala menyeringai ke arahku. Kepala dengan rambut berwarna merah, mendesis dan matanya menyorot tajam. Sontak aku terkejut dan menjerit, sekilas aku melihat Mas Suma yang tersengal-sengal.Tidak! Ini tidak boleh terjadi pada suamiku. Makhluk apa ini? Manusia bukan, ular pun bukan. Segera aku mencari senjata dan menyerangnya dengan menepis rasa takut. Yang ada di pikiranku hanya keselamatan Mas Suma. Bagaimana anak-anak kalau Mas Suma celaka? Aku tidak mau kedua balitaku kehilangan sosok ayah.Dengan menyingsingkan lengan baju, aku meraih tongkat dan menghujam tepat ke mulutnya yang sedang menyeringai. Seketika lilitannya melonggar, dan secepatnya aku menarik tangan Ma
Tanpa bekal dariku sebagai istri, Mas Suma kembali ke kota. Aku belum bisa memberikan nafkah batin sebelum semuanya jelas. Hati ini belum iklas mendapatkan sentuhannya, apalagi di kepala ini masih mencatat kalau dia sudah menyentuh wanita lain. Memang, sopir Mas Suma datang pagi-pagi memberikan penjelasan sebagai saksi. Namun, itu tidak mewakili kejadian seutuhnya. Dia hanya tahu setelah semuanya terjadi. “Sa-saya datang ke kamar saat Tuan Kusuma sudah tidur di ranjang. Dan, orang-orang itu sudah bersiap pergi.” Itu yang dikatakan setelah aku mencecarnya dengan banyak pertanyaan. Sebenarnya bisa saja aku menunjukkan foto mesra itu, tapi semarah-marahnya aku, tidak mungkin menurunkan harga diri suamiku. Kalau orang lain tahu tentang foto ini, bukankah akan menimbulkan gosip skandal yang hanya merugikan keluargaku saja. “Sudah percaya dengan saya, kan? Kalau ada komplotan yang berniat menjebak dan merusak nama baikku?” ucap Mas Suma setelah bersiap akan pergi. Aku menarik kedua uju