Apa yang harus aku lakukan?Lebih baik aku beri waktu dia sejenak untuk mengurai rasa kekesalannya. Di waktu emosi tidak stabil, kata apapun tidak akan didengar. Biarlah, aku harus mengalah dan lebih bersabar. Dia pasti membutuhkan ruang untuk menenangkan pikiran. Anggap saja, ini memberi jeda kami berdua untuk meredakan emosi. Jujur, aku merasa serba salah dan tidak mengerti kenapa di bereaksi seperti ini.Aku yang semula duduk di sebelahnya, kemudian merosot duduk di lantai sembari bersandar di sofa. Dengan lengan tertumpu pada satu lutut yang tertekuk, aku menerawang tatapan ke arah tirai yang menyorot sedikit sinar. Menghadapi istri yang sedang ngambek, seribu kali membingungkan dibandingkan menghadapi client yang rewel. Sungguh, sebenarnya aku merasa kesal karena tidak mengerti salahku dimana, sehingga dia beraksi seperti ini.“Kenapa Mas Suma ke sini. Aku kan ingin sendiri,” ucapnya setelah sekian waktu terdiam. Terdengar dia beringsut dan membalikkan tubuh. Segera aku balikkan
POV MaharaniDalam keterbatasan, ternyata kami masih bisa menikmati kebersamaan ini. Walaupun sempat terjeda, tetap saja hasrat yang sudah terpaut enggan untuk disudahi.Sofa ini menjadi korban pelampisan kami, bantal yang semula berjajar rapi terlempar entah kemana demi memberi ruang kami berdua. Sembari manata napas, tangannya memeluk pinggang ini dengan sesekali masih mengenduskan hidung di tengkukku yang masih lembab karena keringat. Untung saja ada kain rajut berukuran lebar yang biasa aku letakkan di sandaran sofa. Sekarang, berguna melindungi kami yang sudah kehilangan pakaian yang entah tercecer dimana.“Sebentar, Ran. Aku masih ingin peluk seperti ini,” bisiknya ketika aku hendak mengurai tangannya.“Tapi, Mas. Nanti ada yang datang.”“Tidak mungkin. Wisnu pasti mencegahnya. Dia tahu aku menyusulmu ke sini.”Sontak, aku kaget dan membalikkan tubuh ke arahnya. “Jadi dia tahu kita—““Wisnu sudah gede. Bukan anak kecil lagi, Honey. Dia juga anak yang pengertian, memberi waktu Ma
Sejak kejadian itu seperti awal pembebasanku pada tugas di keluarga ini. Mas Suma seakan membiarkan apa yang akan aku lakukan. Dia tidak berkomentar apalagi cerewet melarangku ini dan itu. Begitu juga semua pekerja di sini. Tidak ada lagi kata-kata yang menyiratkan perintah dari suamiku untuk membatasi aktifitasku. Entah itu memasak, bermain dengan kedua balitaku, bahkan kerja seharian di kantor, walaupun berakhir dengan badan lemas kehabisan tenaga.Lega di hati ini, bisa bebas melakukan apapun. Namun, ada rasa kehilangan perhatian darinya yang sering membuatku sebal. Mas Suma seperti membuat jarak di antara kami.Aku merasa diabaikan.“Pagi, Ma. Hmm … baunya harum.” Suara Amelia menghentikanku mengaduk nasi goreng dan menoleh ke belakang. Amelia sudah siap berangkat sekolah. Dia sudah duduk di meja makan bersiap untuk makan pagi.“Pagi, Sayang. Ini Mama bikinkan nasi goreng kesukaanmu,” ucapku sembari melanjutkan kegiatan masak yang sudah hampir selesai. Bik Inah sudah yang sedari m
“Rani!”Teriakan yang membuatku menghentian langkah dan mendongak ke atas. Sosok yang selama ini mendukungku, tanpa berharap balasan. Dia, Pak Tiok yang sedang berdiri di balkon dengan secepat kilat turun menghampiriku yang baru saja turun dari mobil. Sempat terhenyak dengan penampilannya yang selalu memesona.Usianya memang tidak muda lagi. Namun, tubuhnya yang terjaga tidak menggembung, membuat dia tetap memesona. Apalagi ditunjang penampilannya yang nyentrik, baju panjang dengan lengan digulung dan celana jeans. Rambut panjang sebahu dibiarkan terurai dan bergerak bebas membingkai wajahnya yang terlihat bersemangat menyambutku.Mungkin karena semangatnya, dia lupa menyematkan kata ‘bu’ saat memanggilku. Satu dari beberapa persyaratan dari Mas Suma saat memberi izin kerjasama ini. Walaupun kami dulu berteman, tetapi untuk menjaga jarak, kami harus bersikap formal. Termasuk dalam hal panggilan.“Kalau Bu Rani bilang akan datang, pasti aku jemput,” ucapnya seraya mengulurkan tangan u
Aku tidak mau sahabatku ini terjebak kembali dalam perasaan yang tidak mungkin berbalas. Bagiku, Pak Tiok tidak sekadar sahabat, tetapi sudah seperti saudara.“Pak Tiok ….”“E, maksudku. Saya tetap perhatian kepadamu,” ucapnya sambil memutar kepala ke arahku. “Bukankan kita. Maksud saya, kamu, Pak Kusuma, dan anak-anak sudah menjadi lebih dekat? Kalian sudah aku anggap saudara sendiri. Kamu tahu kan, aku tidak punya saudara.”“Oh, begitu,” ucapku dengan lega dan kembali menyeruput kopi sampai tandas.Kami pun melanjutkan berbincang ringan tentang gallery. Sesekali diselingi dengan kenangan kami yang membuat tawa tercipta. Aku akui, dia memang jago mencairkan suasana dan membuatku lupa pada masalah yang sebelumnya menghantui hati ini.“Sebentar, ya,” ucapnya kemudian mengambil ponsel di saku celananya.Ternyata mode getar menandakan ada pesan yang masuk. Wajahnya mengernyit saat membacanya, kemudian menatapku sekilas dan menulis sesuatu di sana. Ah, mungkin saja itu dari wanita yang la
Seketika, menyeruak aroma tubuhnya di penciumanku. Ya, aroma yang sangat aku hafal dari mana datangnya.“Mas Suma ….” Kata itu yang sempat terlontar dari mulut ini sebelum pandanganku menggelap dengan sempurna.***Aku melihat Mas Suma di antara tingginya ilalang yang bergerak tertiup angin, menghalangi pandangan mataku. Seperti biasa sosok yang sangat aku kenal ini memasukkan kedua tangan ke saku celana dengan posisi membelakangiku.Dengan menyibak halangan langkah ini, aku berusaha mendekatinya. Namun entah kenapa, semakin aku mendekat, jarak kami semakin jauh. Perih kaki dan tangan ini terkena goresan daun ilalang yang tajam. Semakin kaki ini berusaha mendekat, semakin tenagaku seakan terkuras habis.Aku harus memanggilnya supaya dia yang mendekatiku seperti yang biasa dia lakukan. Ada di sampingku selalu dan menggangu, bahkan terkadangmembuat hati ini kesal.“Mas Suma! Mas Suma!” Teriakanku seperti lenyap begitu saja oleh angin. Terbang dan hilang tanpa sempat menyapa pendengaran
”Mama!” Amelia menyambut kedatanganku. Dia langsung menghambur memelukku. Dengan semangat, tubuhnya yang sudah besar membuatku terhuyun. Untung saja, Papinya dengan sigap memegang tubuh ini. “Amelia! Jangan asal nubruk. Mama masih sakit!” teriak Mas Suma dengan kesal. Amelia yang merasa bersalah langsung beringsut dan menggandeng lenganku di sisi lainnya. Bersama mereka berdua, aku dipapah masuk ke kamar. “Amelia! Biarkan Mama istirahat. Jangan ganggu Mama! Kamu ini nempel aja. Sudah besar, adiknya saja sudah dua!” Mas Suma memberi kode ke anak gadisnya untuk pergi meninggalkan kamar. Wajah Amelia menunjukkan keengganan, bibirnya mengerucut sambil berguman. “Mas Suma. Biarkan Amel di sini sebentar. Mama juga kangen dengan Amel, kok,” ucapku sembari menariknya untuk berbaring di sebelahku. “Boleh. Tapi sebentar, ya!” Sambil menunjukkan senyum kemenangan kepada Papinya, dia memeluk pinggang ini. Kepalanya diselusupkan di ketiak ini, kebiasannya saat merasa kangen kepadaku. Kemanjaa
Perlahan, tangan ini menyelusup masuk di piyama tidurnya. Memberi tanda kalau akupun menginginkannya. Apapun harus aku usahakan demi kebahagiaannya. Kalau perlu, besuk aku mencari tahu suplemen apa yang membuatku bisa kuat seperti sedia kala. Tubuh ini mulai meremang saat dia menangkup tangan ini sembari menciumku dengan lembut. Biasanya, dia akan segera menyambut penawaran seperti ini tanpa membuang waktu. Tidak kusangka, Mas Suma justru merengkuh kepala ini sambil berbisik, “Honey, malam ini aku capek. Kita pelukan saja, ya.” Tanganku diletakkan di pinggangnya. Kemudian dia menyelimuti tubuh kami dan menciumku kembali sebelum terdengar napasnya yang menandakan dia sudah merajut mimpi. Huuft! Syukurlah, malam ini aku bisa beristirahat. *** Hari ini, meja makan terasa lengkap. Wisnu mempercepat rencana kembali ke rumah setelah mendengar aku sakit kembali. Dia yang sudah semester akhir, memutusnya menyelesaikan laporan penelitian di rumah. Toh, perjalanan ke kota tempat dia kuli