Kebahagiaan orang tua terletak pada pencapaian anak-anak. Bukan harus menjadi yang terbaik, tetapi cukup melakukan yang terbaik. Hasil? Itu hak yang di-Atas yang menentukan.Wisnu sudah berangkat ke ibu kota. Dia bersama team kecil untuk mengawali usahanya.“Setelah semua goal, kamu masih akan berkantor di Denpasar?”Sempat aku menangkap keraguan di matanya. Sebelumnya dia memang bersikukuh berkantor di sana, sekaligus melanjutkan usaha kontraktor Bram. Namun, aku merasa mempunyai celah untuk merayunya berada di dekatku.“Wisnu akan bicarakan dengan teman-teman dulu, Pi. Kami berkantor di Jawa atau di Bali,” ucapnya memberikan harapan kepadaku.Memang dia bukan anak kandungku. Akan tetapi kedekatan kami beberapa saat ini menunjukkan dia teman yang aku butuhkan selama ini. Banyak yang tidak bisa aku bicarakan dengan Amelia dan Maharani, tetapi nyaman saat bertukar pikiran dengan anak itu.POV Maharani“Rumah sepi lagi,” ucapku sambil menghela napas.Aku duduk menemani Mas Suma di tera
[Ma. Proposal PKL Amel diterima. Jangan pergi, ya. Sebentar lagi Amel pulang][Amel bawa sesuatu yang spesial untuk Mama]Akhirnya aku ada yang menemani. Rentetan kedatangan Pak Tiok bersambung di hari ini. Dengan alasan melepas masa lajang, Pak Tiok memberikan undangan pesta lajang. Membuatku sendirian di malam ini.“Jangan aneh-aneh!” ucapku tadi saat membantu Mas Suma bersiap.Baju yang sebelumnya dia kenakan, aku paksa untuk ganti. Bagaimana tidak kesal, dia mengenakan baju kaos berkerah yang kerahnya dinaikkan. Dengan potongan pres body yang menunjukkan betapa kerennya penampilannya. Apalagi warnanya hitam, yang menonjolkan kulitnya yang putih kemerahan.Kesal, kan?!“Ran. Kalau ganti baju yang lain kan tidak keren. Masak aku kelihatan seperti bapak-bapak sendiri. Sedangkan Tiok kelihatan ganteng begitu,” ucapnya protes.“Loh, tapi kan Pak Tiok yang punya acara. Wajar donk, kalau dia kelihatan lebih menawan dibandingkan para undangan. Mas Suma mau nyaingi calon mempelai? Jangan-j
“Jadi ini harus Mama yang bilang ke Papi?”“Hu-um,” ucapnya dengan mengangukkan kepala.Sebagai orang tua memang wajib mendukung yang dicita-citakan oleh anak. Namun, bukan berarti meng-iya-kan segala yang dia minta. Termasuk permintaan Amelia untuk meminta bantuanku untuk meminta izin kepada Mas Suma.“Kalau Mama bantu bicara ini kepada Papi, pasti Papi mengerti,” ucap Amelia berusaha merajuk.Bukannya aku tidak ingin membentunya, tetapi aku ingin dia mulai belajar tanggung jawab. Kalau hanya masalah minta izin kepada Papinya dia tidak bisa membereskan, bagaimana mengurus hal besar di luar sana? Orang-orangnya lebih kejam daripada Mas Suma.“Mama pasti membantu rencana Kak Amel.”“Beneran, Ma? Asyik!” ucapnya dengan menunjukkan mata berbinar.“Dengan doa,” sahutku segera.Ucapanku seketika meluruhkan senyumannya. Lantas dia memasang wajah merajuk.“Kak Amelia, Sayang. Seingat Mama ada yang pernah mengatakan kalau ingin mandiri? Nah sekarang waktunya Kak Amelia membuktikan kalau kema
“Bodok!”“Kamu tidak percaya?”“Tidak,” jawabku cepat menolak pembelaan yang dilontarkan Mas Suma.Di kepalaku masih lekat bayangan laki-laki norak itu. Dengan kancing kemeja bagian atas terbuka, dia bergoyang sambil mengangkat tangannya yang berisi lembaran uang. Saking semangatnya, perut buncit berwarna kontras dengan kemejanya menyembul. Bahkan tangan-tangan lentik itu mengusap dan seakan bersorak saat lembaran uang itu berpindah tangan.“Ran. Aku itu buka kancing kemeja saat di mobil. Itu pun karena gerah.” Mas Suma bersikukuh sambil mendekatkan diri kepadaku yang duduk di tepi ranjang. Aku melemparkan pandangan pecuh kecurigaan, kemudian melengos.“Huh! Alasan! Mana ada di mobil terasa gerah. AC nya kan super dingin. Tidak masuk di otak,” ucapku sambil beringsut menjauh. Rasa kantukku sakarang hilang seketika. Padahal jarum jam sudah menunjuk angka satu.Mas Suma beranjak berdiri. Sudut mataku menangkap dia yang menatapku lekat.“Memang kamu tahu dari mana? Kan kamu tidak ikut? B
Antara keinginan mempunyai anak yang hebat, dan kasih sayang yang sangat kepadanya, di posisi yang berseberangan.Kasih sayang yang bersarang pada kekawatiran dan keinginan untuk selalu melindunginya. Aku diharuskan menggadaikan rasa ini demi ke kemajuan Amelia.“Papi tidak percaya dengan Amel?” Anak gadisku itu mengerjapkan matanya yang lebar, tersirat ada kekecewaan di sana.Bukannya aku tidak percaya, tetapi keinginannya untuk di Korea saat masa liburan, membuatku was-was. Yang diutarakan memang ide yang baik, tetapi apa tidak ada tempat yang dekat-dekat di sini?“Mas Suma. Dengarkan dulu Amelia,” ucap Maharani sambil duduk mensejajariku,“Korea itu negara orang, Ran. Beda budaya dan bahasa. Tidak mudah beradaptasi di sana.”“Amelia sudah belajar bahasa Korea,” sahut anakku langsung. Menunjukkan kesiapan pada rencananya itu.“Tapi, Mel. Ini bukan hal yang seperti main di mall, ya. Ini ke negara yang Papi pun tidak tahu benar, orang di sana seperti apa. Di sana tidak seinndah sepert
“Amelia! Buka pintunya, Sayang. Papi minta maaf.”Aku mengetuk pintu berkali-kali, tetapi tidak ada jawaban sama sekali. Maharani yang menyusul, menepuk punggung ini. Tersenyum dan mengangguk, seakan mengerti keadaan apa yang terjadi.“Mas Suma. Kasih waktu Amelia. Saat ini hatinya masih belum stabil.”“Tapi, Ran. Aku berbuat salah kepadanya.”“Iya. Aku mengerti, Mas. Justru itu, tenangkan Mas Suma dulu dan kasih waktu Amelia untuk menenangkan diri. Nanti kalau sudah mereda kita bicara lagi,” ucapnya sambil menarik lenganku.Mengantarku ke sofa kembali, dan beranjak meninggalkan aku.Aku menghela napas panjang. Kekawatiran dan kasih sayangku kepada Ameliaku, justru menyakiti hatinya. Ungkapan yang aku sampaikan menoreh luka. Teringat jelas sesaat sebelum pintu tertutup, matanya menyorot kepadaku. Kilatan luka tersirat dalam netra yang mengambang air mata.“Ran. Bagaimana Amelia. Aku menyakitinya. Aku tidak sengaja,” ucapku saat Maharani menghampiriku kembali. Dia tersenyum dan mensej
“Mas Suma mau kemana?”“Ada yang harus aku lakukan,” ucapnya tanpa memberikan penjelasan lagi.Dia melanhkah cepat, seakan enggan mendapat pertanyaan susulan. Kemudian menyambar kunci mobil dan bergegas keluar rumah.Sering kali sebagai orang tua, menganggap anak sebagai miliknya. Dengan dalih kasih sayang, tidak jarang orang tua memenjarakan mereka dalam nama kekawatiran.Padahal anak adalah titipan yang saat waktunya nanti, dia akan memisahkan diri dari kita. Saat kecil dulu mereka suka dimanja, dicium, dan dipeluk. Nanti tiba saatnya mereka mulai terlihat enggan untuk dekat dengan kita. Mereka tidak lagi menunjukkan sikap manja, bahkan mulai jarang terlihat di rumah.Ini fase yang pasti akan datang.Pertanyaannya, apakah kita sudah siap dan sadar diri?Jawaban yang enggan aku pikirkan. Mungkin juga Mas Suma demikian. Dalam kepala ini, Wisnu dan Amelia masih tetap seorang anak yang ingin aku peluk selalu. Berpikirpun enggan untuk melepas mereka, apalagi menghadapinya?“Sikap tega di
Kalau tidak saling usil, kedua orang di depanku ini kayaknya kurang lengkap. Sebenarnya aku menunggu berapa lama Amelia mempertahankan aktingnya, dan Mas Suma menahan kesabaran. Sengaja aku berdiam diri, tidak seperti biasanya yang membantu Mas Suma merayu Amelia. Bahkan aku tidak memedulikan panggilan dan tatapan memohon dari suamiku itu.“Ran ….” Dia menunjuk Amelia yang membelakanginya. Ucapan kata ‘tolong’ tanpa suara, aku jawab dengan menaikkan kedua bahuku. Hatiku tersenyum, saat mendapati Amelia yang melirikku sambil tersenyum. Seakan merasa puas membalas Mas Suma dengan keusilannya ini.Namun, kedatangan Wisnu menghentikan semuanya.Kepala anak lelakiku yang melongok di pintu, mematik teriakan senang Amelia. “ Kak Wisnu datang!” serunya langsung beranjak.Dia tidak memedulikan Papinya yang masih menunggu senyumannya. Mas Suma masih bingung dengan ice cream coklat di tangannya. Seakan belum sadar kalau sedari tadi Amelia hanya pura-pura.“Papi dan Mama kenapa di kamar Amelia? L