Sering ada yang bilang, menikah itu harapannya satu kali seumur hidup. Jadi perayaannya harus sesempurna mungkin. Karena itu akan dikenang seumur hidup.Namun, itu dari kaca mata orang kebanyakan yang merayakan pernikahan sampai menjual aset, bahkan mengajukan pinjaman. Adalagi alasan yang hanya merugikan diri sendiri: demi mendapat pandangan baik dari orang sekitar.Bukankah itu berarti mencari penyakit saja?“Kalau Wisnu maunya yang sederhana saja. Yang penting dihadiri keluarga kedua belah pihak, itu sudah cukup. Dari pada uangnya dihambur-hamburkan, lebih baik untuk tambahan modal usaha,” celetuk Wisnu. Sudut mata yang digunakan Wisnu, dari segi efiensi.“Tapi kalau datangin keluarga Mama, orang sekampung yang datang, Kak,” celetuk Amelia diikuti menyebut semua orang yang dia kenal sebagai kerabatku. “Banyak! Tapi kalau tidak rame-rame kan tidak asyik, Kak? Padahal ini spesial momen.”“Justru spesial momen itu, Mel, kita harus berpikir spesial juga. Menikah itu ibaratnya pintu ge
Para penjaga yang berseragam di depan langsung merangsek ke dalam. Namun, langkah mereka terhenti karena laki-laki itu mengayunkan tongkat ke segala arah. “Kalila kurang ajar. Perempuan tidak tahu diri! Berani melawanku, ya! Sini kalian maju semua!” teriak laki-laki itu dengan wajah memerah dan mata memandang ke segala arah. Seorang laki-laki setengah baya yang berpakaian rapi, terlihat mendekat. Dia menggerakkan tangan seakan menyuruh pembuat onar itu untuk tenang. Bukannya sesuai harapan, tindakannya justru memantik keonaran yang lebih. “Aku tidak akan berhenti sebelum Kalila keluar menemuiku. Dia harus tahu kalau aku masih mencintainya. Aku tidak rela melepaskan dia,” ucapnya sambil tergugu. “Orang itu mantannya Kalila?” “Sepertinya iya,” jawab Mas Suma tanpa mengalihkan pandangan dari orang itu. Dia terhuyun dan terduduk di bangku. Tangan kanannya masih bertumpu pada tongkat. Kepalanya menunduk dengan satu tangan meremat rambutnya yang berantakan. Seakan melihat peluang, lak
Pernah tidak, merasa bersalah kepada seseorang yang terlalu setia kepada kita? Karena setianya, sampai-sampai dia tidak mengindahkan kebahagiaan yang harusnya dia raih. Dia lebih mengutamakan orang yang dengan jelas-jelas tidak bisa menyambut hatinya.Itu yang selama ini aku rasakan saat bersama Pak Tiok.“Kalau kamu tidak bisa menjawab cintaku, aku sudah cukup bahagia menjadi sahabatmu. Jangan usir aku yang sedang memastikan kebahagiaanmu.”Ucapan senada yang sering dia katakan. Bahkan dia berani meminta izin kepada Mas Suma, dan disambut suamiku sebagai sikap ksatria“Cara dia mencintaimu, bukan rasa yang dibiarkan egois. Dia menghormati kamu dan itu yang membuatku respek kepadanya. Aku percaya Tiok. Dia tidak akan melukaimu, bahkan akan menjagamu,” ucap Mas Suma saat memberi persetujuan saat aku bekerja dengannya.“Aku akan membantu usahamu yang sudah lama kamu cita-citakan. Jangan pikirkan kamu berhutang atau bagaimana, cukup membiarkan aku ada di sisimu saja sudah cukup.”Namun,
“Upayaku ini menandakan Amelia mendoakan Kak Wisnu. Aku keren, kan? Walaupun tidak lolos jadi grup basket, aku bisa loncat dan merebut ini.” Wajah adikku ini menyiratkan kebanggakan. Amelia itu lucu, nekad, dan kadang terdengar begitu polos. Tadi, dia terlihat berupaya sekali untuk menangkap buket bunga tangan yang dilempar pengantin. Tidak peduli dia menubruk orang di depannya. “Ini kan kamu yang dapet, jadi dipastikan sebentar lagi kamu mendapat kesempatan untuk menikah. Memang sudah memutuskan milih yang mana? Kevin atau Rangga?” sahutku sambil mengacungkan dan menggerak-gerakkan telunjuk. Mengodanya, karena ini katanya berarti si penangkap bunga akan mendapat giliran menikah. “Bunga ini memang artinya kesempatan menikah. Dengan ini, aku serahkan kesempatan ini kepada kakakku, Kak Wisnu yang paling keren,” ucapnya dengan menyerahkan buket kecil itu kepadaku. Aku tertawa, dan terpaksa menerima, mengingat begitu dia mengupayakannya. *** Di dalam kamar, mata ini tidak lepas dar
Berani mempunyai kekasih, sama saja harus siap melakukan adventure. Terkadang mendapati hamparan pemandangan yang menyejukkan, dilengkapi indahnya berbagai macam bunga liar. Namun, tidak jarang mendapati jurang dan jalanan terjal yang menimbulkan perasaan was-was. Segala emosi akan mencuat, tidak hanya kegembiraan, tetapi juga was-was dan ketakutan.Aku menghela napas, menekan rasa kekawatiran yang mulai kental. Dugaanku benar, Rima sebenarnya marah dan mulai terpantik karena ucapanku yang terkesan memberikan tuduhan.Kalau aku memaksakan menelponnya sekarang, bisa jadi justru membuatnya bertambah kesal. Berbicara dalam keadaan tidak baik-baik saja, lebih baik ditunda.‘Besok aku akan menelponnya lagi.’ ucapku dalam hati sambil meletakkan kembali ponsel yang tidak kunjung menyala.Hatiku bersorak seketika, suara ponsel masuk. Tangan ini terulur cepat, tapi senyumku yang tadi sempat terbit kembali memudar. Bukan nama Rima yang aku harapkan, tetapi Om Tiok.“Halo, Om. Ada apa pengantin
“Aku …,” ucap kami bersamaan. Ucapan pertama setelah beberapa saat terdiam. Wajahnya menunjukkan senyuman, kemudian mengangguk mempersilakan aku berkata terlebih dulu.“Aku ingin tahu kabar kamu. Bagaimana kuliahmu? Lancar?” Pertanyaanku yang terkesan kaku. Aku hanya ingin berlama-lama mendengar suaranya, mengetahui dan mengenal kesehariannya. Karena aku tidak memiliki kesempatan lebih.“Baik. Seperti yang Mas Wisnu katakan dulu, aku tidak boleh menyia-nyiakan kesempatanku ini. Tidak semua orang mendapatkan kesempatan yang luar biasa ini. Cuma untuk kegiatan di unitas tari, aku mulai mengurangi. Banyak tugas dan aku tidak bisa membagi waktu,” ucapnya kemudian melanjutkan menceritakan keseruan di kampus.Bibirnya bergerak-gerak dengan ekspresi yang beragam. Aku tersenyum melihat kekesalannya saat menceritakan dosen yang begitu menjengkelkan. “Rima tadi ingin berkata atau bertanya apa?” ucapku dengan perasaan was-was. Bagaimana kalau dia mempertanyakan perkerjaanku di ibu kota kemarin
[Setiap mata ini terpejam, aku melihat senyummu di sana. Tetapi saat mata ini terbuka, dan tidak melihat apapun, aku menyadari betapa aku merindukanmu. Aku tidak sanggup menanggung ini. Rima kekasih Wisnu, aku tunggu kedatanganmu]Senyumanku terbit seiring dengan tombol send membawa isi hati ini kepadanya. Ungkapan yang hanya bisa dituangkan dalam tulisan. Aku tidak bisa membayangkan kalau aku berucap seperti ini. Pasti terlihat konyol.Balasan darinya langsung masuk. Emoticon bergambar hati yang berdebar-debar. Hanya gambar, tetapi menghangatkan hati ini.Aku membaringkan tubuh, sambil memeluk guling. Bernapas lega karena percakapan kami begitu indah. Sempat terselip kekawatiran kalau Rima menanyakan tentang pekerjaanku, ternyata tidak. Dia bukan wanita biasa yang mencecar laki-laki dengan pertanyaan saat dia enggan bercerita. Justru dia secara tersirat memberiku semangat.Tertinggal bagaimana aku menyampaikan hasil pekerjaanku kepada Papi Kusuma dan Mama. Walaupun aku tahu, mereka p
“Kalau melihat langkahmu, kamu ini bukan sekadar pengusaha. Tetapi seorang entrepreneur.”“Iya, Pi. Wisnu lebih fokus pada upaya pemanfaatan sumber daya manusia, yaitu para arsitek. Cita-cita Wisnu, program ini bisa memudahkan pengguna jasa untuk mendapatkan jasa rancang bangunan. Tentunya dengan biaya yang terjangkau. Mungkin karena Wisnu tidak menitikberatkan pada keuntungan, jadi investor menjadi ragu.”Kami berbincang di rooftop, markas kami. Dengan satu nampan terdiri makanan kecil dan minuman dingin yang dibawakan oleh Mama. Seakan memberi keleluasaan, Mama meninggalkan kami berbincang berdua.“Jalan pemikiran kamu sudah tepat. Motivasi yang kuat seperti kamu ini adalah perasaan menggelitik saat melihat masalah di sekeliling dan mengambil masalah itu untuk dicarikan jalan keluar. Cuma masalahnya ini. Kamu belum berhasil di langkah berikutnya.”“Iya, Pi. Padahal semua sudah Wisnu kaji dari berbagai sudut pandang. Tidak ada yang keliru dan perkiraan prosentase untuk disetujui bes