“Mas Suma mau kemana?”“Ada yang harus aku lakukan,” ucapnya tanpa memberikan penjelasan lagi.Dia melanhkah cepat, seakan enggan mendapat pertanyaan susulan. Kemudian menyambar kunci mobil dan bergegas keluar rumah.Sering kali sebagai orang tua, menganggap anak sebagai miliknya. Dengan dalih kasih sayang, tidak jarang orang tua memenjarakan mereka dalam nama kekawatiran.Padahal anak adalah titipan yang saat waktunya nanti, dia akan memisahkan diri dari kita. Saat kecil dulu mereka suka dimanja, dicium, dan dipeluk. Nanti tiba saatnya mereka mulai terlihat enggan untuk dekat dengan kita. Mereka tidak lagi menunjukkan sikap manja, bahkan mulai jarang terlihat di rumah.Ini fase yang pasti akan datang.Pertanyaannya, apakah kita sudah siap dan sadar diri?Jawaban yang enggan aku pikirkan. Mungkin juga Mas Suma demikian. Dalam kepala ini, Wisnu dan Amelia masih tetap seorang anak yang ingin aku peluk selalu. Berpikirpun enggan untuk melepas mereka, apalagi menghadapinya?“Sikap tega di
Kalau tidak saling usil, kedua orang di depanku ini kayaknya kurang lengkap. Sebenarnya aku menunggu berapa lama Amelia mempertahankan aktingnya, dan Mas Suma menahan kesabaran. Sengaja aku berdiam diri, tidak seperti biasanya yang membantu Mas Suma merayu Amelia. Bahkan aku tidak memedulikan panggilan dan tatapan memohon dari suamiku itu.“Ran ….” Dia menunjuk Amelia yang membelakanginya. Ucapan kata ‘tolong’ tanpa suara, aku jawab dengan menaikkan kedua bahuku. Hatiku tersenyum, saat mendapati Amelia yang melirikku sambil tersenyum. Seakan merasa puas membalas Mas Suma dengan keusilannya ini.Namun, kedatangan Wisnu menghentikan semuanya.Kepala anak lelakiku yang melongok di pintu, mematik teriakan senang Amelia. “ Kak Wisnu datang!” serunya langsung beranjak.Dia tidak memedulikan Papinya yang masih menunggu senyumannya. Mas Suma masih bingung dengan ice cream coklat di tangannya. Seakan belum sadar kalau sedari tadi Amelia hanya pura-pura.“Papi dan Mama kenapa di kamar Amelia? L
Sering ada yang bilang, menikah itu harapannya satu kali seumur hidup. Jadi perayaannya harus sesempurna mungkin. Karena itu akan dikenang seumur hidup.Namun, itu dari kaca mata orang kebanyakan yang merayakan pernikahan sampai menjual aset, bahkan mengajukan pinjaman. Adalagi alasan yang hanya merugikan diri sendiri: demi mendapat pandangan baik dari orang sekitar.Bukankah itu berarti mencari penyakit saja?“Kalau Wisnu maunya yang sederhana saja. Yang penting dihadiri keluarga kedua belah pihak, itu sudah cukup. Dari pada uangnya dihambur-hamburkan, lebih baik untuk tambahan modal usaha,” celetuk Wisnu. Sudut mata yang digunakan Wisnu, dari segi efiensi.“Tapi kalau datangin keluarga Mama, orang sekampung yang datang, Kak,” celetuk Amelia diikuti menyebut semua orang yang dia kenal sebagai kerabatku. “Banyak! Tapi kalau tidak rame-rame kan tidak asyik, Kak? Padahal ini spesial momen.”“Justru spesial momen itu, Mel, kita harus berpikir spesial juga. Menikah itu ibaratnya pintu ge
Para penjaga yang berseragam di depan langsung merangsek ke dalam. Namun, langkah mereka terhenti karena laki-laki itu mengayunkan tongkat ke segala arah. “Kalila kurang ajar. Perempuan tidak tahu diri! Berani melawanku, ya! Sini kalian maju semua!” teriak laki-laki itu dengan wajah memerah dan mata memandang ke segala arah. Seorang laki-laki setengah baya yang berpakaian rapi, terlihat mendekat. Dia menggerakkan tangan seakan menyuruh pembuat onar itu untuk tenang. Bukannya sesuai harapan, tindakannya justru memantik keonaran yang lebih. “Aku tidak akan berhenti sebelum Kalila keluar menemuiku. Dia harus tahu kalau aku masih mencintainya. Aku tidak rela melepaskan dia,” ucapnya sambil tergugu. “Orang itu mantannya Kalila?” “Sepertinya iya,” jawab Mas Suma tanpa mengalihkan pandangan dari orang itu. Dia terhuyun dan terduduk di bangku. Tangan kanannya masih bertumpu pada tongkat. Kepalanya menunduk dengan satu tangan meremat rambutnya yang berantakan. Seakan melihat peluang, lak
Pernah tidak, merasa bersalah kepada seseorang yang terlalu setia kepada kita? Karena setianya, sampai-sampai dia tidak mengindahkan kebahagiaan yang harusnya dia raih. Dia lebih mengutamakan orang yang dengan jelas-jelas tidak bisa menyambut hatinya.Itu yang selama ini aku rasakan saat bersama Pak Tiok.“Kalau kamu tidak bisa menjawab cintaku, aku sudah cukup bahagia menjadi sahabatmu. Jangan usir aku yang sedang memastikan kebahagiaanmu.”Ucapan senada yang sering dia katakan. Bahkan dia berani meminta izin kepada Mas Suma, dan disambut suamiku sebagai sikap ksatria“Cara dia mencintaimu, bukan rasa yang dibiarkan egois. Dia menghormati kamu dan itu yang membuatku respek kepadanya. Aku percaya Tiok. Dia tidak akan melukaimu, bahkan akan menjagamu,” ucap Mas Suma saat memberi persetujuan saat aku bekerja dengannya.“Aku akan membantu usahamu yang sudah lama kamu cita-citakan. Jangan pikirkan kamu berhutang atau bagaimana, cukup membiarkan aku ada di sisimu saja sudah cukup.”Namun,
“Upayaku ini menandakan Amelia mendoakan Kak Wisnu. Aku keren, kan? Walaupun tidak lolos jadi grup basket, aku bisa loncat dan merebut ini.” Wajah adikku ini menyiratkan kebanggakan. Amelia itu lucu, nekad, dan kadang terdengar begitu polos. Tadi, dia terlihat berupaya sekali untuk menangkap buket bunga tangan yang dilempar pengantin. Tidak peduli dia menubruk orang di depannya. “Ini kan kamu yang dapet, jadi dipastikan sebentar lagi kamu mendapat kesempatan untuk menikah. Memang sudah memutuskan milih yang mana? Kevin atau Rangga?” sahutku sambil mengacungkan dan menggerak-gerakkan telunjuk. Mengodanya, karena ini katanya berarti si penangkap bunga akan mendapat giliran menikah. “Bunga ini memang artinya kesempatan menikah. Dengan ini, aku serahkan kesempatan ini kepada kakakku, Kak Wisnu yang paling keren,” ucapnya dengan menyerahkan buket kecil itu kepadaku. Aku tertawa, dan terpaksa menerima, mengingat begitu dia mengupayakannya. *** Di dalam kamar, mata ini tidak lepas dar
Berani mempunyai kekasih, sama saja harus siap melakukan adventure. Terkadang mendapati hamparan pemandangan yang menyejukkan, dilengkapi indahnya berbagai macam bunga liar. Namun, tidak jarang mendapati jurang dan jalanan terjal yang menimbulkan perasaan was-was. Segala emosi akan mencuat, tidak hanya kegembiraan, tetapi juga was-was dan ketakutan.Aku menghela napas, menekan rasa kekawatiran yang mulai kental. Dugaanku benar, Rima sebenarnya marah dan mulai terpantik karena ucapanku yang terkesan memberikan tuduhan.Kalau aku memaksakan menelponnya sekarang, bisa jadi justru membuatnya bertambah kesal. Berbicara dalam keadaan tidak baik-baik saja, lebih baik ditunda.‘Besok aku akan menelponnya lagi.’ ucapku dalam hati sambil meletakkan kembali ponsel yang tidak kunjung menyala.Hatiku bersorak seketika, suara ponsel masuk. Tangan ini terulur cepat, tapi senyumku yang tadi sempat terbit kembali memudar. Bukan nama Rima yang aku harapkan, tetapi Om Tiok.“Halo, Om. Ada apa pengantin
“Aku …,” ucap kami bersamaan. Ucapan pertama setelah beberapa saat terdiam. Wajahnya menunjukkan senyuman, kemudian mengangguk mempersilakan aku berkata terlebih dulu.“Aku ingin tahu kabar kamu. Bagaimana kuliahmu? Lancar?” Pertanyaanku yang terkesan kaku. Aku hanya ingin berlama-lama mendengar suaranya, mengetahui dan mengenal kesehariannya. Karena aku tidak memiliki kesempatan lebih.“Baik. Seperti yang Mas Wisnu katakan dulu, aku tidak boleh menyia-nyiakan kesempatanku ini. Tidak semua orang mendapatkan kesempatan yang luar biasa ini. Cuma untuk kegiatan di unitas tari, aku mulai mengurangi. Banyak tugas dan aku tidak bisa membagi waktu,” ucapnya kemudian melanjutkan menceritakan keseruan di kampus.Bibirnya bergerak-gerak dengan ekspresi yang beragam. Aku tersenyum melihat kekesalannya saat menceritakan dosen yang begitu menjengkelkan. “Rima tadi ingin berkata atau bertanya apa?” ucapku dengan perasaan was-was. Bagaimana kalau dia mempertanyakan perkerjaanku di ibu kota kemarin