Tidak biasanya Papa Bram seperti ini. Beberapa kali dia datang mengunjungiku di Denpasar dengan keadaan yang sama. Memang kadang aku mendapati Papa yang terlihat resah. Namun, jawabannya sama."Papa tidak apa-apa, Wisnu. Papa baik-baik saja. Mungkin karena capek dan sudah tidak sekuat dulu." Sebenarnya aku tidak percaya, terlebih kebiasaan Pap merokok kambuh lagi. Berkali-kali aku ingatkan, tetapi dia menjawab iya dan melanjutkan aktifitasnya. Dulu aku sangat bangga melihat Papa Bram. Tampilan maskulin dengan kulit agak gelap. Apalagi saat kami menghabiskan dengan memancing, dia juga menyelipkan rokok yang mengepul di sudut bibirnya. Keren.Namun, jangan ditanya kalau ada Mama, Papa Bram akan segera membuangnya sebelum Mama mendapatinya.Aku menilik kembali pesan yang dikirim Papa Bram.[Wisnu. Bantu Papa sedikit] Pesan pertama yang diikuti pesan lainnya. Tercantum nominal yang tidak bisa dikatakan sedikit.[Projek yang Papa tangani akan ada pembayaran diakhir bulan ini. Pasti Papa
"Ma. aku memilih Rangga atau Kevin?" Pertanyaan Amelia yang membuatku tertawa. Dia yang memutuskan dengan seseorang, kenapa bertanya pada orang lain?"Kak Amelia bingung?""Hu-um, Ma. Akhir-akhir ini Rangga menyebalkan," ucapnya dengan bibir mengerucut."Kenapa?""Kan ada fotonya Amel dengan Kevin, eh, Rangga marah-marah. Padahal Amel tidak pernah melarang Rangga ini dan itu. Dia foto atau jalan dengan temannya yang cewek, Amel tidak protes. Kenapa dia malah protes. Marah-marah lagi," ucapnya sambil mendengus kesal.Baru beberapa hari yang lalu dipusingkan dengan hubungan Wisnu dan Rima, sekarang Amelia menyusul. Kalau Wisnu hanya menyakinkan kesungguhan hatinya. Ini malah lebih parah, Amelia bingung memilih yang mana."Ini pertanda Rangga merasa Kevin adalah ancaman. Kamu akan memilih dekat dengan Kevin daripada dengannya. Memang Kak Amel suka siapa? Rangga atau Kevin?"Wajahnya dia dongakkan, bola mata berputar dan jari telunjuk mengetuk-ketuk dagu. Kebiasaan dia saat berpikir."Seb
Selalu begini. Setiap ada yang tidak diterima di otakku, dengan sendirinya pikiran ini bergulir. Semakin tidak menemukan jawabannya, semakin liar asumsi yang dilahirkan. Aku melirik jam dinding kembali. Sudah lebih dari empat jam Wisnu pergi, tetapi tidak kunjung kembali. Amelia saja terpaksa pergi lagi, karena sudah tiba jadwal kuliah "Kok belum pulang, ya? Amel kan mau kuliah. Kak Wisnu beli alat tulisnya ke Mars, Ma? ," ucapnya sambil tertawaDia sudah makan minum, bahkan membahas surat cinta, demi menunggu Wisnu, tapi yang dinanti tidak kunjung datang. "Mungkin, Kak. Ke tokonya Elon Musk," sahutku menanggapi banyolannya. "Ya udah, Ma. Amel ke kampus saja. Tapi nanti sore pulang dan tidur di rumah. See you, Mama," serunya sambil salim dan mencium pipiku. Sekarang tertinggal aku yang berkutat dengan pikiran yang belum ada jawabannya. Biasanya, apapun tentang Wisnu aku mengetahuinya. Ini seperti ada yang disembunyikan. Apa ini ada hubungannya dengan Rima? Hati ini was-was seket
Uang memang adalah standar pengukur nilai yang sah. Akan tetapi, apakah nilai seseorang berdasarkan uang? Termasuk aku di mata Papa Bram.Aku sebenarnya penasaran. Bagaimana Papa Bram menilaiku seandainya menolak permintaannya meminjamkan uang. Apakah dia masih membanggakan aku? Atau, justru mengutukku sebagai anak yang tidak tahu diri?Biarlah. Itu sekadar uang yang bisa dicari. Yang terpenting, aku masih dibanggakan oleh Papa Bram. Tidak peduli karena apa alasannya, lebih baik aku menutup mata.“Wisnu! Sini!” Suara Papi Kusuma, memaksaku untuk mendongak. Papi melambaikan tangan, memintaku untuk segera menghampirinya di roof top. Gegas, aku menapaki tangga dengan setengah berlari.“Kamu dari mana? Mama dan Amelia mencari kamu sedari tadi,” tanya Papi Suma kemudian terdiam dan memberi tatapan menyelidik kepadaku.“Katanya Mama kamu pergi ke toko buku? Kok tidak ada belanjaannya?”Duh! Seketika aku ingat apa yang aku jadikan alasan menutupi kepergianku ke bank. Tadi antriannya panjang,
Adu kepintaran jangan dengan wanita, apalagi menantang soal ketelitian. Laki-laki tidak bakal akan menang. Walaupun menangpun, hanya karena kerelaan lawan dengan menunjukkan kepintaran pura-pura kalah. “Jadi sebenarnya kemana saja, Kak Wisnu?” Tatapan menyelidik Mama membuatku begidik. Isi kepala yang biasanya encer, membeku seketika. Aku tidak tahu harus menjawab apa. “Ran. Wisnu tadi ke bank,” sahut Papi Suma membuatku terbelalak. Duh! Kenapa Papi justru berkata jujur? “Kenapa harus ke bank? Bukankah semua serba online?” tanya Mama tanpa mengalihkan padangan dariku. Sekilas aku melihat Papi Kusuma berkedip memberi tanda. Namun tanda apa? Sekarang aku sudah tertangkap basah. Tinggal memberikan alasan yang mana, mengirim pinjaman untuk Papa Bram atau kepada teman yang anonim? “Ya bagaimana tidak ke bank, Ran. Kalau untuk membuat ATM baru. Wisnu tadi malam bilang kalau ATMnya salah pin dan tertelan di mesin atm,” seru Papi membuatku lega seketika. “Harusnya kamu mengatakan saja k
Suasana rumah ini kembali sepi, hanya terdengar sesekali kicauan burung liar yang berterbangan disela pohon palem di taman belakang. Bahkan mata ini mendapati sarang di sela dahan pohon itu. Pantas saja sedari tadi Anind berceloteh, “Bulung! Bulung?” Ternyata yang dimaksud ini.Tadi aku sempat bercanda dengan Denish dan Anind, sekarang mereka harus ke kamar untuk istirahat siang. Kedua adikku ini semakin pintar dan lucu.“Kak Inu tidak apa-apa, kan, ditinggal Eis dan Adek?” tanya Denish dengan menunjukkan tatapan iba. Adiknya yang di sampingnya ikut-ikutan sambil mengangguk.Gemas!Ingin aku cubit pipi mereka yang gembul dan aku ‘unyel-unyel’. Memeluk tubuh yang mungil pasti terasa hangat. Pantas saja banyak pasangan muda yang ingin segera dianugerahi anak, ternyata anak kecil sungguh membahagiakan. Mereka meninggalkan aku setelah bergantian memeluk dan menciumku. Aroma anak kecil sungguh menenangkan.Hmm…. Seandainya aku nanti menikah dengan Rima, anakku akan mirip siapa, ya? Aku at
“Kita bukan kuda penarik kereta, yang harus menggunakan kaca mata satu arah saat melaju di jalanan!” seru Papi Kusuma sambil tergelak. Kemudian meneguk air putih dan setelahnya mencondongkan tubuh ke arahku sambil berbisik, “Kita kuda pejantan tangguh!”Aku ikut tertawa, walaupun tidak mengerti sepenuhnya, apa yang dilontarkan Papi. Apa maksudnya kuda penarik kereta dan kuda pejantan? Ilustrasi yang bikin ketawa saja.“Kamu sudah memiliki goal, kan? Tidak perlu kamu menghindari sesuatu yang seharusnya menjadi pemacu.”“Tidak menghindar dari Rima?” tanyaku memastikan.“Betul!” sahut Papi sambil mengacungkan ibu jari.“Wis, ingat yang Papi bilang kapan hari? Mempunyai kekasih itu pastikan tidak merugi, tetapi justru sebagai pemacu semangat. Memang dalam berhubungan tidak merujuk pada untung dan rugi. Tetapi alangkah baiknya, hubungan itu saling memberikan semangat. Saling menguatkan dan menajamkan.”“Maksud Papi, aku boleh menemui Rima sebelum berangkat ke ibu kota?”“Kenapa harus tidak
“Eh, Nak Wisnu. Ayo silakan masuk,” ucap Pak Santoso Lee menyambut kedatanganku. Dia yang sedang duduk santai di teras, yang membukakan pintu untukku. Aku melihatnya dari kisi-kisi pintu gerbang.Benar-benar memunjukkan kekuatan referensi.Referensi tidak hanya diperlukan saat melamar pekerjaan. Ternyata melamar jadi calon menantu pun ini dipentingkan. Kalau referensi kerja adalah rekomendasi atau rujukan yang diberikan oleh pihak yang mengetahui kualitas. Begitu juga sebagai calon menantu.Entah apa yang dikatakan Papi Kusuma kepada Papinya Rima. Pastinya menunjukkan kalau aku layak menjadi pendamping Rima. Semoga saja ini bukan hanya karena nama besar Kusuma Adijaya.Wajah yang di kali pertama pertemuan terlihat kaku, sekarang menyambutku dengan senyuman lebar. Tidak ada bekas senyuman sinis yang pernah menhujam diriku. Sesaat langkah ini ragu mengingat segala ucapan lelaki tua ini. Akan tetapi tepukan tangannya di lengan ini menunjukkan kerelaan seratus persen menerima kedatanganku