Ini pertemuan yang mengaitkan hubungan pertemanan yang sempat terjeda. Bukan untuk berniat membangun kisah romansa yang pernah aku rasa, karena itu belum tentu benar adanya. Bukankah terlalu tinggi meletakkan harapan hanya membuang waktu saja? Bahkan memperlebar kemungkinan kecewa dengan kenyataan yang belum tentu berpihak padanya. “Kak Wisnu harum.” Amelia tetap mengikutiku sampai garasi, walaupun sudah bersedia untuk di rumah membantu Mama. Tentu saja dengan iming-iming masak bareng. Katanya mereka akan membuat lasagna. Tanganku yang akan membuka pintu mobil terhenti, saat mendapati Amelia menatapku dari kepala sampai ujung kaki. Tangannya bersendekap dengan kepala dimiringkan. Matanya memicing dengan bibir menyunggingkan senyum. “Ada apa, Mel.” “Kak Wisnu dandan, ya?” “Dandan apaan, sih. Enggak, ah! Memang kamu. Kalau keluar harus ini dan itu.” “Sama kayak Kak Wisnu sekarang,” ucapnya kemudian dia mendekat. “Tuh, mukaknya jadi bening, rambut juga pake pomade. Hmm, bibirnya K
“Kak. Bagaimana? Cerita, dong.” Amelia sudah menghadang di depan pintu. Dia senyum-senyum dengan alis mata yang digerak-gerakkan ke atas.‘Ngeselin!’“Apaan, sih. Anak kecil tidak boleh kepo! Nih, pesenanmu.”Satu kantong berisi makanan pesanannya, aku serahkan. Matanya langsung berbinar dan senyumnya merekah sempurna. Dengan cepat, kantong berpindah tangan. Dia menghidu dalam-dalam sambil memejamkan mata, saat tas berisi makanan dibuka. Aroma pizza dan ayam goreng, menyeruak keras, dan terselip bau coklat pekat dari satu slice chocolate mude cake.‘Dasar Amelia tukang makan. Ingin diet, tapi remnya blong kalau menyangkut makanan,’ gerutukku dalam hati, sambil meneruskan langkah.Bukannya menikmati makanan pesanannya, Amelia justru mengekori aku sambil mencecar pertanyaan. “Tadi ketemu dengan Kak Rima?”“Iya.”“Kak Rima tambah cantik, Kak?”“Hu-um.”“Trus ngapain?”“Ngobrol.”“Cie … cie …. Yang habis ketemuan sama cewek cantik,” ucapnya sambil tertawa.“Apaan, sih, Mel.”“Kok lama b
“Anak Papi ternyata sudah besar!”Setelah membuka pintu, yang aku dapati tidak hanya Mama, akan tetapi ada Papi Suma yang menatapku dengan senyuman. Dengan pasrah aku digiring ke ruang tengah.Mata ini menangkap Amelia yang asyik makan ayam goreng. Dengan menampilkan senyuman, dia menaruh makanannya ke nampan dan berpindah ke teras belakang. Aku mengernyit, melihat gelagat Amelia yang mencurigakan ini.“E, maksud Papi apa? Kok tiba-tiba bilang seperti itu? Wisnu kan memang sudah besar,” jawabku masih menerka-nerka. Otakku mulai bergulir, jangan-jangan Amelia mengatakan yang tidak-tidak. Apalagi wajah Papi Suma dan Mama yang senyum-senyum.“Sudah besar usianya saja. Akan tetapi dalam hidup itu kan ada step-stepnya, nah hari ini sepertinya Wisnu sudah melangkah ke step berikutnya.”“Papi apaan, sih. Wisnu kan__”“Tidak usah rahasia-rahasiaan sama Papi,” sahutnya sambil menerima teh hangat yang disodorkan Mama. “Ya, Ran?”“Mama dan Papi ikut bahagia kalau Kak Wisnu sudah menentukan pil
Hampir tengah malam aku tidak bisa tidur. Padahal jadwal pesawatku pukul enam pagi. Ini berarti setelah subuh, aku harus langsung bersiap karena pukul lima harus berangkat. Yang dikatakan Mama, Papi Suma, dan Rima, bergantian muncul di kepala. Terus terang aku benar-benar bingung dengan perasaanku. “Mas Wisnu tidak suka sama aku?” ucap Rima dengan sorot mata meredup. Keceriaan yang terlihat diawal pertemuan kami mulai memudar. Ini yang yang tidak aku inginkan. Untuk apa menjalin sebuah hubungan, kalau hanya menimbulkan kesedihan. Aku ingin gadis di depanku ini selalu berbinar dan tersenyum lebar. Mampukah aku melakukan hal ini? “Justru aku suka, bahkan sangat suka. Kamu cantik, pintar, dan teman yang asyik untuk mengobrol. Kitapun punya hobi yang sama,” ucapku kemudian menghela napas. Mengambil jeda untuk mencari kata-kata yang tepat. “Ini bukan karena kamu Rima, tetapi karena aku yang belum mampu. Aku kawatir tidak bisa memberimu kebahagiaan. Aku__” “Aku bahagia saat bersama den
Dulu aku sering kesal kalau Ibuk selalu memberiku wejangan ini itu yang diulang-ulang. Apalagi saat tahu aku berhubungan dengan Mas Bram tidak sekadar teman.“Ibuk tidak percaya dengan Rani? Saya itu sudah besar dan tahu mana yang benar dan salah. Tidak mungkin Rani menghancurkan masa depan,” ucapku saat itu. Kala itu aku dan Mas Bram masih sama-sama kuliah.Namun, namanya seorang ibu tidak berhenti, justru bertambah dengan nasehat yang lain-lain.“Nduk. Ibuk ini kawatir. Jaga sikap dan lisan. Jangan sampai menyakiti hati laki-laki, walaupun statusnya pacar. Dalamnya laut bisa dilihat, tetapi isi hati tidak bisa ditebak. Tuh, lihat ini,” ucapnya sambil menunjukkan koran.“Pelaku kejahatan itu sering kali berasal dari orang dekat. Ini malah pacarnya yang melakukan kejahatan. Tahu tidak gara-gara apa? Sepele. Cuma salah omong, kemudian sakit hati,” jelasnya dengan tatapan kawatir.Saat itu sebenarnya aku sungguh tidak terima, walaupun hanya dalam hati. Ucapan Ibuk seakan tidak percaya k
Yang terberat sebagai seorang ibu adalah keiklasan saat mereka sudah beranjak dewasa. Tidak menganggap anak sebagai milik kita yang bisa diatur, walaupun itu untuk kebaikan. Keiklasan bahwa suatu hari nanti mereka mempunyai keputusan sendiri, bahkan melepaskan diri untuk mandiri.*Seharian ini aku gelisah. Memasak yang biasanya membuatku senang, sekarang tidak mengurai hati mengurai hati yang resah.Ponsel tidak terlepas dari genggaman. Kalaupun terlepas, aku tidak membiarkan jauh. Aku menunggu balasan pesan dari Wisnu. Pagi-pagi tadi sudah aku kirim pesan, tetapi tidak kunjung centrang dua.“Wisnu ke proyek. Mungkin dia langsung ke villa yang bagian bawah. Di sana memang posisi nya di lembah, jadi tidak terjangkau sinyal,” ucap Pak Tiok saat aku hubungi tadi.Namun, sampai jarum jam nyaris menunjuk angka dua belas, status pesan tidak berubah. Bukankah ini berarti dia tidak istirahat sama sekali? Kata Pak Tiok, tempat biasanya mereka berkumpul di bangunan sementara yang digunakan se
Pantas saja Papi Suma mengatakan kalau perempuan itu makhluk yang complicated. Tidak ada rumus pasti dan menghadapinya selalu membuat kepala pusing. “Ini kecuali Mama, ya? Walaupun iya, hanya sesekali kumat,” ucap Papi Suma Begitu juga saat kuliah dulu, teman seasrama kalau sudah mempunyai cewek bukannya terlihat senang, justru sering kening berkerut. Ibaratnya, cicilan tagihan traktiran setelah nembak cewek belum lunas, kebahagiaan sudah tergantikan. Baru aku mulai menyadari sekarang. Masih dalam tahap menjajakan dengan Rima saja, sudah dihadapkan kerumitan. Tidak hanya main tebak-tebakan dengan gadis itu, tetapi juga menghadapi Mama yang berprilaku semakin aneh. Memang aku mengatakan kepada Rima kalau kami bisa saling bertukar kabar, akan tetapi hampir tiga kali sehari dia menghubungiku. Entah telpon atau berkirim pesan. Hanya sekadar sudah makan belum? Atau, mengabarkan keadaan di kampus. Ini belum dari Mama yang berkirim pesan senada. Praktis, ponselku berisi dua nama itu. [Ma
Hanya mendapatkan pilihan kedua, rasanya tidak sesenang kalau bisa mencapai pilihan pertama. Seakan hati tidak terpuaskan seratus persen. Senyum pun hanya sekadar.Padahal, bukankah apa yang terjadi itu jalan yang tertepat? Apa yang tertangkap oleh indera, belum tentu seperti itu adanya. Pastilah, ini adalah rencana-Nya untuk kebaikan.Seperti Amelia sekarang. Dia diterima di fakultas ekonomi jurusan managemen yang terletak di kota ini. Perguruan tinggi swasta dengan kualitas tergolongkan bagus. Senyuman senang yang dia tunjukkan, tidak selebar senyuman Mas Suma.“Ran, aku senang sekali!” seru suamiku setelah aku tarik masuk ke kamar. Dia boleh senang, tetapi kalau tidak sebanding dengan ekspresi Amelia, ini bisa menjadi bumerang.Mas Suma mengepalkan tangan dan mengayunkan dengan wajah gembira.“Sebenarnya aku ingin Amelia di jurusan ini, management. Dia nantinya bisa membantuku. Apalagi dia kuliah di kota ini. Wuih! Aku sangat amat gembira sekali! Pokoknya di atasnya sangat, deh!”