Semakin dewasa seorang anak, mata mulai kabur melihat isi kepala mereka. Kemampuan berpikir dan menentukan pilihan sudah menjadi hak miliknya. Tertinggal orang tua untuk berkata ‘iya’, walaupun di hati terdapat ganjalan. Sampai kami bersiap di meja makan, hatiku masih memikirkan apa yang diucapkan Amelia. Apa yang dia inginkan? Sampai-sampai mengatakannya saja mencari waktu yang tepat. “Mamma Akak Amel hapiday?” Denish dengan mata bulatnya yang mengerjap bertanya setelah didudukkan di kursi khusus anak. Sedangkan Anind sudah mengantuk. Kata Mbak Tias, dia sedang ditidurkan oleh Mbak Dwi-perawat Anind sejak bayi. “Ini syukuran, Sayang. Kak Amel sudah berhasil masuk sekolah,” jawabku mengerti apa yang dimaksud. Dia selalu menyebut orang yang ulang tahun dengan kata hapiday, yang seharusnya happy birthday. Dia menoleh ke arahku. Menatapku yang masih mengatur peletakan jajanan pasar yang dititip Ibu dari kampung. Wajahnya terlihat berpikir. Entah isi kepala anak balitaku ini apa.
“Aku semakin tidak mengerti apa isi kepala Amelia. Semua dituruti. Apa sih yang tidak untuk dia? Tapi kenapa dia mencari jalan yang susah.” Mas Suma bergumam dan berakhir menutup wajah dengan telapak tangan. Tidak berkata-kata dan sikap yang tidak berubah. Duduk di kursi kerja dengan tangan tertumpu di atas meja.Tidak ada yang bisa aku lakukan, selain duduk dan mengamatinya. Yang dibutuhkan suamiku ini waktu untuk berpikir dan menenangkan diri. Setelahnya, aku akan mencoba membantu saran tentang masalah Amelia ini.Mereka memandang masalah yang sama, dengan sudut pandang yang berbeda. Kalau seperti ini, sampai kapanpun pendapat Amelia dan Mas Suma tidak akan bertemu.“Ran … Apa aku harus bersikap tegas kepadanya?”“Te-tegas bagaimana?”“Sepertinya kita kurang ketat mendidik Amelia. Apa-apa dituruti, jadinya seperti ini. Dia seenaknya saja. Mau hidup sendiri supaya mandiri. Tanpa dia keluar dari rumah ini, bisa kok. Memang harus seperti itu? Mau jadi apa dia di luar sana?” ucapnya di
Bukan Amelia namanya kalau bicara suka keceplosan. Semakin dirahasiakan, justru kemungkinan terlontar. Seperti beberapa waktu yang lalu tentang Rita, saudara tiri Mas Suma. Walaupun sempat menimbulkan kemarahan papinya, tetapi berakhir dengan kesediaan suamiku itu untuk belajar menerima kenyataan.Nah, sekarang justru dia berkata yang memperlambangkan tentang hubungannya dengan Rangga.Tatapan Mas Suma tidak berpaling dari Amelia. Begitu juga aku yang penasaran dengan apa yang akan dikatakannya. Sedangkan Amelia terlihat terperanjat, dengan mata membulat dan mengerjap menatap kami bergantian.“Maksud Amelia apa mengatakan kalau harus jadi pengusaha yang berhasil. Kamu pacaran dengan Rangga?” ucap Mas Suma dengan tatapan menyelidikAmelia menggeleng dengan gerakan ragu.“Terus apa hubungannya dengan Rangga yang akan jadi tentara?” tanya Mas Suma lagi.“Hmm….”“Amelia! Sudah Papi bilang, berteman boleh. Tetapi jangan pacar-pacaran. Kalian itu masih kecil, masih sekolah. Masih banyak ya
Yang menjadi beban pikiran orang tua selain kesehatan dan pendidikan anak-anak, itu asmara. Terdengar sepele, akan tetapi bisa memporak-porandakan semua yang sudah dipersiapkan sedari mereka kecil.Tidak jarang seseorang rela menghentikan cita-cita demi untuk bersama orang yang dicintai. Tidak meneruskan sekolah, dan menggantungkan hidupnya kepada orang yang belum tentu ada jaminan akan selalu bersamanya. Bahkan, ada yang tega melepas keluarga, demi berkorban untuk asmara.“Amelia tidak seperti itu, Ma. Itu sama saja bunuh diri. Seperti orang naik tebing, melepaskan pegangan tanpa ada pengaman. Dan akhirnya …. Beuum!” ucap Amelia sambil memperagakan tangan yang menukik, kemudian mengelepar.Mas Suma sudah tidak bergabung dengan kami. Dia harus pergi setelah Desi sekretaris menelpon untuk sekian kali. Karennya, percakapan kami mengalir lebih santai.“Kak Amel bilang seperti itu karena belum kesandung cinta. Coba kalau sudah. Apakah masih mau mendengarkan ucapan Papi dan Mama?”Mata A
“Beneran, Pi. Amelia tidak janjian dengan dia! Itu saja ini baru pertama dia kesini sendirian.” Nada suara Amelia ditekankan. Dia tetap bersikukuh kalau tidak mengundang teman laki-laki yang sekarang di ruang tamu.Apartemen ini seperti rumah kecil. Inipun terdapat dua kamar tidur. Kata Mas Suma, bisa dipakai dia atau aku kalau ingin menginap menemani Amelia. Lengkap dengan dapur, ruang tengah, dan ruang tamu.Aku yang sedang menyiapkan minuman, menepuk lengan Mas Suma dan mengarahkan dagu ke depan. Kekawatirannya pasti sama dengan apa yang aku rasakan. Amelia sendirian di apartemen, dan didatangi laki-laki yang memesona seperti itu. Pemikiranku dengan liar mulai bergulir, apalagi zaman sekarang prilaku anak remaja tidak bisa ditebak.Namun, kalau dibiarkan mereka bertitegang, bisa jadi mereka berselisih paham lagi. Malu.“Ya, sudah. Papi ke depan saja. Tanya langsung ke dia.” Mas Suma menyudahi pembicaraan dan menggeloyor ke depan.“Silakan kalau tidak percaya Amel,” jawab Amelia den
Hampir saja Mas Suma tidak mau pulang. Dia justru ingin tidur di aparteman Amelia.“Ran. Kalau kita pulang terus anak itu balik lagi ke sini, bagaimana? Kamu mau jadi nenek secepatnya?”Aku dan Mas Suma sudah ada di dalam kamar depan, sedangkan Amelia merapikan bekas minuman dan toples-toples kue. Wajah suamiku ini terlihat kawatir. Kevin memang anak temannya, tetapi itu tidak menjamin kalau dia lelaki yang bisa dipercaya.Mataku menatap Mas Suma, dan kedua tangan ini menangkup lengannya. Kekawatirannya memang beralasan. Akan tetapi kalau itu dibiarkan bersarang dan menimbulkan pemikiran negatif, bukankah itu tidak tepat.“Mas Suma. Justru sekarang ini saatnya kita memastikan bahwa Amelia anak yang bisa dipercaya. Bukankah kita sudah tidak kurang-kurang memberikan nasehat dan pelajaran kepadanya?”“Aku tahu, Ran. Tetapi kalau sudah namanya cinta dan ada kesempatan, terus setan lewat. Habis sudah! Nasehat tidak akan tersisa di kepala” ucap Mas Suma sambil menggelengkan kepala.“Coba ka
“Ran! Lihat ini?” Mas Suma muncul di hadapanku. Wajahnya menunjukkan senyuman lebar, dengan kedua tangan menunjukkan tas kresek bawaannya. Pasti itu bubur ayam, buat sogokan karena membuatku kesal.“Papi!” seru Denish yang sedang bermain lego denganku. Dia meletakkan hasil rakitannya, kemudian berlari dengan merentangkan kedua tangan kecilnya.Aku mengambil bawaannya, dan membiarkan Denish melompat ke gendongan Mas Suma. Seperti tidak mau kalah, Anind pun mendekat mengikuti kakaknya.“Anak-anak Papi pasti kangen, ya,” serunya, kemudian menggendong keduanya. Mengikuti aku yang ke dapur membawa bawaannya tadi.Empat porsi bubur ayam spesial.“Kok empat?”“Iya. Aku mau makan lagi. Yang dua, untuk Denish dan Anind,” jawab Mas Suma. Dan, Mbak Tias dan Mbak Dwi, dengan sigap ikut menyiapkan makanan untuk kedua balitaku ini.“Denish, Anind. Ikut Mbaknya, ya. Setelah itu siap-siap sekolah. Siapa yang mau sekolah?”“Atu!” seru Denish dan Anind.Mas Suma tertawa, kemudian mengajukan pertanyaan
Berkali-kali aku tersenyum sendiri. Ingin menghentikannya, tetapi saat kejadian tadi pagi terlitas, bibir ini membentuk lengkungan dengan sendirinya. Tadi, kami bergegas merapikan diri. Puncak yang hampir tercapai, terpaksa disudahi.Kebiasaan Denish dan Anind, kalau akan berangkat sekolah aku tekankan untuk pamit. Nah, saat ini justru menjadi bumerang bagi kami. Denish dan Anind tidak akan berhenti mengetuk pintu sebelum aku keluar kamar. Terlebih kalau dia tahu mama dan papinya di rumah. "Ma-maaf, Bu Rani, Tuan. Adek tidak mau berangkat kalau belum salim," ucap Mbak Tias dengan tergagap. Matanya terlihat kaget, kemudian menunduk. Sibuk merapikan tas bawaan mereka. "Eis dan adek belangkat sekolah, Mam, Pappi," ucap Denish diikuti adiknya, kemudian cium tangan. "Belajar yang rajin, ya.""Ciap, Pappi!" sahut mereka cepat. Wajah suamiku yang tadinya penuh senyuman, kembali datar setelah membalas lambaian tangan kedua balitaku itu. Pintu kamar tertutup kembali. Langkah Mas Suma t