Bagaimana kita bisa melupakan kenangan buruk? Memang otak seperti komputer? Tinggal tekan tombol ‘delete’, semua menjadi tidak berbekas. Itu pun sebenarnya masih bisa dipulihkan dengan mengambil data di tempat bergambar keranjang sampah.Seorang anak tidak bisa memilih dia dilahirkan pada keluarga bagaimana. Akan tetapi, orang tua bisa menyiapkan kondisi yang terbaik.Itu seharusnya.Pertanyaannya, konsep kata ‘terbaik’ di setiap kepala berbeda-beda. Mungkin saja ibunya Rita ingin memberikan keluarga yang penuh dengan keajaiban cinta. Kisah cintanya yang tertunda bersatu, dan dipertemukan oleh waktu. Walaupun pada kondisi tidak tepat. Seperti pertemuannya dengan papinya Mas Suma. “Kalau Mas Suma bersikap seperti itu, sama saja Mas Suma tidak memaafkan dia.”“Untuk apa aku memaafkan dia? Aku tidak menuduhnya bersalah, dan tidak membencinya. Akan tetapi, melihatnya membuatku ingat akan orang yang sangat aku tidak suka. Ibunya. Yang sok mengatakan kalau cinta itu suci dan harus diperjua
Yang diucapkan Mas Suma ternyata tidak main-main. Dia membawaku ke tempat yang spesial. Katanya mumpung Amelia masih di rumah besar, juga Anind dan Denish tidak rewel. Bisa ditinggal.“Ini untuk merayakan hari kasih sayang, Ran.”“Sudah lewat juga. Untuk apa kita gitu-gituan, Mas?”“Yah, anggap saja sebagai alasan mentraktir istri. Kalau tidak gitu, kapan kita ada kesempatan makan malam berdua,” jawabnya sambil tergelak.Kesempatan kalau sudah lewat, harus kita ciptakan sendiri. Ucapnya bersikukuh dengan rencananya.Matahari sudah digantikan rembulan. Lampu jalanan semakin terang, begitu juga kerlap-kerlip hiasan di taman pembatas jalan menunjukkan keindahan. Jalanan agak padat, tidak seperti biasanya. Apa mungkin karena ini minggu malam? Seakan enggan melepas kenikmatan liburan, mereka berusaha mereguk sisa waktu rehat dengan menghabiskan malam.“Kita kemana?”“Lihat saja nanti. Aku sudah pesan tempat.”“Kita pernah ke sana?”“Belum. Ini restoran baru. Bagus, kok.”Aku menunjukkan se
Usaha yang dia lakukan membuatku merasa menjadi wanita yang dipentingkan. Sepanjang makan malam, dia memperlakukan aku dengan manis. Entah, dapat rumus dari mana sampai-sampai Mas Suma bertindak demikian.Mulai sebelum makan, dia segera beranjak, memindah kursi duduknya mensejajari aku. Seperti di film-film, dia membuka kain napkin dan membantuku meletakkan di pangkuan. “Jangan sampai aku iri sama noda, yang menempel pada dirimu. Padahal itu kan harusnya aku. Apalagi sampai waiter deket-deket sama kamu.”Nyaris aku tertawa mendengarkan gombalannya. Akan tetapi melihat raut wajahnya yang tidak menunjukkan bercanda, aku memilih menyajikan senyuman. Walaupun, yang ini terdengar kaku dan seperti hapalan.Makanan yang tersaji menggugah selera. Piring-piring kecil berjajar dan masih mengepulkan asap, seakan menunjukkan dia yang terenak. Seperti atmosfer yang ditawarkan saat memasuki area ini, yang dihadapanku semuanya makanan Indonesia.“Kamu pasti suka,” ucapnya sambil mengambil bakul na
Sesuatu akan terasa seru ketika kita tidak terbiasa melakukan atau mendapatinya. Bukan karena itu luar biasa atau tidak. Seperti orang kota yang berlibur kepedesaan. Mereka mendapati sawah hijau terhampar luas saja sudah merasa senang. Bahkan main lumpur dengan membajak sawah pun menjadi kegiatan yang seru. Begitu juga sebaliknya.Seperti tadi malam. Kami saling lempar gombalan konyol yang ternyata mengasyikkan. Alih-alih menciptakan suasana romantis seperti yang direncanakan. Ini justru berubah menjadi acara lucu-lucuan. Sampai selesai makan malam, gelak tawa mewarnai. Bahkan di mobilpun masih berlanjut.Aku tersenyum mengingat kekonyolan kami, dan memilih kembali menyelusup di pelukannya. Tidurku masih terasa kurang.“Hmm…sudah bangun?” Suara serak itu aku jawab dengan gelengan kepala, dan kembali menikmati bau keringat yang membuai. Dada lembab yang mengalun seiring napas berembus.Kepala ini merasakan tangan besarnya membelai rambutku, menarik sedikit mempererat pelukan.“Belum
“Ma! Ada titipan dari Eyang!” Amelia datang menyelamatkan aku. Tidak peduli dengan raut wajah Mas Suma yang masih menunjukkan tanda tanya, aku berjalan melewatinya. Pura-pura tidak ingat, dan menerima bingkisan yang ditunjukkan Amelia. Bingkisan berwarna merah berlogo dan bertuliskan huruf kotak-kotak. Entah ini tulisan Mandarin atau Korea. “Eyang bawain Amel tiga dus. Yang dua tuh dibawa sama Pak Maman,” ucapnya sambil menunjuk suami Bik inah yang meletakkan dua dus merah di atas meja. “Apa ini, Kak?” Aku membaca tulisan yang bisa aku baca, ‘Hong Sam__’. “Ini gingseng merah, Ma. Itu ada tulisannya di bawah. Ini.” Amelia menunjuk, dan mata ini memicing dan menangkap apa yang dia baca. “Bagaimana masaknya, Kak? Mama tidak pernah makan ginian.” Aku tahu gingseng itu apa, dari bacaan yang aku baca. Setahuku itu seperti akar yang digunakan untuk obat atau menunjang stamina tubuh. “Mama pasti mikirnya ini akar gingseng, ya. Bukan, Ma. Ini minuman kemasan dari ekstrak gingseng. Kita ti
Aku bernapas lega. Akhirnya bisa memberangkatkan Mas Suma setelah sekian drama terlewati. Desi, sekretaris saja sudah berkali-kali mengingatkan lewat ponselku, karena suamiku justru asyik berbincang dengan Amelia.“Oke, kita lanjutkan nanti sepulang Papi, ya!” seru Mas Suma setelah sekian kali aku ingatkan.“Kalian bicara apa, Kak Amel. Kok kelihatan asyik sekali. Sampai-sampai tobe continued, disambung nanti malam?” tanyaku penasaran setelah mengantar Mas Suma ke depan.“Biasa, Ma. Bisnis. Ya karena minuman gingseng merah itu. Tahu kan, kalau sudah ngomongin tentang bisnis, Papi tidak ada titiknya,” jawab Amelia sambil tertawa.“Mumpung Kak Amel di rumah, ikut Mama ke galeri, yuk. Mama mau cek kerjaan.”“Maaf, Ma. Amel ada zoom meeting satu jam lagi. Tidak apa-apa, ya. Kalau Amel tidak ikutan.”“Tidak apa-apa. Kalau begitu Mama siap-siap sekarang,” ucapku kemudian kami beranjak ke kamar masing-masing.Zaman sekarang apa-apa dimudahkan.Dulu untuk telpon saja harus ke watel-warung tel
“Benar kata buku yang aku baca.” Aku yang sedang memasang sabuk pengaman, menoleh ke arahnya dengan heran. Mas Suma yang siap dengan tangan di kemudi, menoleh sebentar sambil menunjukkan senyuman tipis.Dengan pelan, mobil mulai berjalan keluar dari pelataran parkir galeri. Tadi suamiku ini menelponku untuk memastikan, sudah bisa dijemput tidak.“Apa katanya?” Aku bertanya setelah mobil berjalan di jalan yang lurus.“Ibu rumah tangga itu walaupun terlihat bahagia di rumah, dan dipenuhi kebutuhannya. Namun juga butuh waktu me time. Waktu untuk dirinya sendiri. Tidak hanya belanja atau jalan-jalan, bekerja sesuai keinginannya juga bisa membuat hatinya senang. Pokoknya yang untuk kepuasan hatinya dah.”“Memang apa yang dibaca Mas Suma?”Ada kekawatiran ada buku jurus-jurus yang lain, selain buku Raja Gombal. Entah kenapa akhir-akhir ini Mas Suma beralih bacaan. Yang biasanya berkutat dengan buku ekonomi dan filsafat, sekarang menaruh pilihan ke buku di luar kebiasaannya.“Bukunya bagus
Hati ini ingin tertawa, tapi harus aku tahan melihat kesungguhan Mas Suma. Walaupun terlihat jelas raut wajahnya setelah melihat hidangan yang dia pesan.“Saya pesan makanan yang paling laris di sini,” jawab Mas Suma saat ditanya pelayan. Aku juga mengangguk menyetujuinya. Bagaimana tidak, nama-nama yang tertera membuatku pusing. Tidak ada nama yang pernah aku dengar di telinga.Di depan kami tersaji gelas berkuping berukuran besar, dengan mie yang tenggelam di air berwarna coklat gelap dan diatasnya terdapat busa putih.“Ran, ini makanan atau minuman?” Pertanyaan yang mewakili yang ada di otakku. Tiba-tiba terbersit ingin menjahilinya.Aku memasang wajah serius. “Ini ramuan untuk melupakan usia, Mas. Makan ini, kita langsung lebih muda dua puluh tahun.”“Ah, kamu ngaco. Ini seperti mie yang dimasukkan beer, ya?” sahutnya dengan mata masih memindahi apa yang di depannya. Memang iya, tampilannya serupa dengan bir dingin lengkap dengan busa di atasnya.Dengan gerakan ragu-ragu, Mas Suma