“Ran. Kamu tahu kan dia itu siapa? Dan bagaimana aku menganggapnya dia itu apa?”“Iya, Mas. Aku tahu. Tapi__”“Kamu sengaja membodohi aku?”“Mas Suma!”“Kalau tahu, kenapa kamu biarkan aku meminum pemberian orang itu? Kalau kalian ingin minuman itu, beli saja. Pernah aku membatasi untuk belanja ini itu? Tidak kan? Kenapa justru menerima barang gratisan dari orang itu?!” seru Mas Suma memotong ucapanku. Wajah memerah, terlihat dia marah besar. Amelia sudah aku suruh masuk kamar ketika melihat gelagat kemarahan papinya ini.Aku menghela napas, berusaha tidak ikut terpantik amarah. Kalau dia marah dan aku tidak bisa mengendalikan emosi, justru bertambah runyam.Hati kecilku merasa ini tidak adil untukku. Yang memberikan ini bukannya Nyonya Besar, ibunya sendiri. Dan, pesan mertuaku itu untuk merahasiakan dari siapa bingkisan ini. Ini sama saja dilema untukku. Berada di tengah-tengan suami dan mertua.“Pokoknya, aku tidak mau melihat ini barang di depanku. Buang semuanya! Kita mampu kok
Wajah Mami terlihat ceria dia layar ponsel. Dia sedang memainkan piano, dengan ponsel dijapit di standing holder. Untung ada Maharani, dia dengan sigap menghidupkan lampu sebelum aku menerima panggilan ini.Pikiranku yang sudah dipenuhi prasangka ternyata meleset. Mami tidak mempertanyakan titipan, dia justru memamerkan lagu ciptaannya. Jemari menari dengan lincah, dan wajah Mami yang menyiratkan senyuman membuat hatiku ikut merasa bahagia.“Bagus?”“Bagus, Mami.” Aku dan Maharani tepuk tangan. Lantunan yang ditunjukkan Mami terdengar indah. Di telinga terdengar damai.“Mami masih siapkan lagunya. Nanti kalau kamu sudah longgar, main ke sini, ya. Kita duet. Terus Rani yang menilai. Gimana. Sekalian kalian bantu Mami menyusun syair.”“Mami akan ambil tema apa? Cinta-cintaan?” seloroh Maharani sambil tertawa dan menggerakkan dagu. Aku tahu, dia berusaha mencairkan suasana. Melempar guyonan untuk mengusir ketegangan yang masih tersisa.“Bukanlah. Memang Mami anak remaja yang dimabok cin
Aku menghormati keputusan suamiku. Dia membutuhkan ruang dan waktu untuk berdamai dengan apa yang terjadi, seperti aku dulu. Proses menerima penghianatan Mas Bram membutuhkan waktu yang lama, dan tidak mudah. Karenanya, aku mewanti-wanti Amelia supaya tidak keceplosan lagi.“Jadi Amelia tidak boleh bilang nama Tante Rita?”“Sst…!” Spontan jari telunjukku mengajung di depan bibir. Baru saja aku mengatakan jangan keceplosan, dia justru mengulang kesalahannya lagi. Dia pun seperti terkejut, dan buru-buru membungkam mulut dengan tangan.Dalam hati aku ingin tertawa, melihat mata bulat Amelia yang mengerjap. Dia beringsut mendekat sambil berbisik. “Maaf, Ma. Aku keceplosan lagi bilang__” Ucapannya terhenti saat sekali lagi aku mengacungkan jari telunjuk.Dengan wajahnya yang polos dia menggerakkan jari di depan mulut, pertanda tutup mulut.“Kalau begitu Amel berangkat saja dulu, ah. Sebelum ketemu Papi. Sarapannya Amel bungkus saja, ya?” ucapnya kemudian beranjak dari duduk. Dia mengambil
Ada yang bilang masa SMA, masa yang paling indah. Mungkin ini dikarenakan, ini masa terakhir mereka disebut remaja. Dimana kesalahan bisa dimaklumi dan dibenarkan tidak dengan hukuman. Masa terakhir memiliki kebebasan, yang nantinya menuju menjadi orang dewasa yang sudah memikul tanggung jawab penuh.Hari ini hari perpisahan. Perayaan sebagai tanda menuju tahapan berikutnya. Tinggal menunggu pengumuman hasil tes untuk melanjutkan sekolah.Amelia sudah bersiap. Team Claudia didatangkan untuk merias Amelia. Dandanan yang cantik, tetapi tidak meninggalkan usia. Dia mengenakan kebaya modern dengan potongan sederhana tetapi elegan. Ciri khas design butik milik Claudia.Tidak hanya aku dan Mas Suma yang mendampingi acara ini, Nyonya Besar juga ikut.“Mami, undangan untuk orang tua hanya untuk dua orang.” Mas Suma berusaha memberi pengertian, tetapi mertuaku tetap bersikukuh. Saat itu kami datang mengunjungi Mami untuk mendengarkan lantunan lagu ciptaannya.“Mas Suma. Kalau begitu Mas Suma d
“Amelia ingin apa? Eyang akan beri apapun.” Nyonya Besar mengulurkan tangan, meraih kepala Amelia yang menjulang. Memakai alas kaki berhak tinggi, membuatnya lebih tinggi.”Eyang jangan gini. Amel malu,” ucap Amelia sambil menggerakkan kepala ke pasangan Atmaja. Pasti dia tidak mau dikatakan manja oleh orang tua Rangga.Aku dan Mas Suma saling bersitatap, tersenyum melihat Amelia yang sudah menjadi gadis.“Oh, ini putrinya,” seru Pak Atmaja.“Iya. Ini anak saya. Tingginya sudah sesaya.” Mas Suma merangkul Amelia, terlihat gerakan Amelia yang sedikit menjauh.“Iya. Kadang kita tidak sadar kalau sudah tua,” celetuk Pak Atmaja sambil tertawa. Mereka terlihat berusaha mencairkan suasana. Kalau dilihat gayanya, mereka mirip. Kaku menghadapi orang baru, walaupun entah nantinya kalau sudah saling kenal.“Malam, Om, Tante,” ucap Amelia sambil mengangguk hormat.“Oh, ini Amelia temannya Rangga,” ucap wanita ayu berkulit putih itu.“Kamu tahu?”“I-iya. Rangga beberapa kali dijemput dan minta iz
Hatiku kesal, sungguh kesal. Yang di hadapanku berbeda sekali dengan yang diucapkan beberapa waktu lalu.“Aku paling tidak mau membuang waktu bersenda gurau tidak jelas. Apalagi dengan perempuan.”“Termasuk denganku?”“Kamu pengecualian, Amelia. Kamu tahu kan, bagaimana aku terhadapmu?”Ucapannya yang membuatku bangga dan hati ini berbunga-bunga seketika. Siapa yang tidak suka saat idola sekolah menspesialkan diri ini. Dia tidak hanya keren, tetapi juga pintar. Yang membuatku tidak bisa berpaling darinya, adalah sikap gentelmen. Kalau ingat dia dengan beraninya menghadapi Papi yang terkenal galak. Dia nyatakan kalau ingin berteman lebih dekat denganku. Senyumku langsung tercipta kembali dengan sempurna, walaupun terasa geli karena ingat kejadian setelahnya.Namun yang aku dapati di perpustakaan, dia berduaan dengan Siska. Saat itu sudah tidak ada pelajaran, kami mengisi waktu dengan ke kantin dan aku memilih ke perpustakaan. Mereka berbincang, bahkan bibirnya menyunggingkan senyuman
Bukan Nyonya Besar kalau tidak membuat kejutan. Niatnya membuat syukuran kecil-kecilan, ternyata tidak seperti yang aku bayangkan.“Pokoknya ya, Ran. Semua aku atur. Kalian tinggal beresnya saja.”“Saya bantu ya, Mami?”“Tidak usah.”“Mami tidak capek?” tanyaku melalui video call. Padahal Amelia sempat melontarkan kalau enggan melakukan perayaan yang berlebihan. Ini dikarenakan dia masih menunggu pengumuman kelulusan test masuk sekolah.“Aku itu kalau diam saja, justru capek. Seperti tidak ada gunanya. Pokoknya, ini saya buat perfect! Spesial untuk cucuku Amelia!” serunya seraya menunjukkan ibu jari.“Em….”“Ada apa, Ran?”“Amelia sempat bilang ke saya kalau tidak mau pesta besar.”“Oh itu. Dia juga ngomong sama Mami. Pokoknya beres. Mami hanya mengundang orang terdekat. Serahkan kepada Mami!”Kalau sudah seperti ini, apalagi sudah keluar kata ‘pokoknya’. Ibaratnya ada perang dunia ketiga pun, tidak bakalan menyurutkan niat mertuaku itu.Baru saja aku menyudahi pembicaraan dengan Nyon
“Mama….” Amelia menatapku, seakan meminta pertimbangan dan aku mengangguk sambil menunjukkan telapak tangan. Memintanya untuk tenang.Perkiraanku meleset. Nyonya Besar bisa menghadirkan Rangga tanpa menghubungiku atau mencari tahu kepada Amelia. Aku lupa kalau mertuaku ini mampu berbuat apapun asal dia berniat.“Dia Rangga. Teman sekolah Amelia,” sahut Nyonya Besar menjawab pertanyaan Ibuku.Aku akui, Rangga memang mempunyai prilaku yang baik. Dengan tenangnya dia menuju Nyonya Besar, bersalaman termasuk dengan kami semua yang hadir. Dari penampilannya, terlihat jelas kalau mertuaku tidak sekadar mengundang. Dia juga mengirim pakaian seperti yang kami kenakanm hanya warnanya berbeda. Rambutnya disisir ke belakang, yang menunjukkan kedewasaannya. Aku akui, dia anak muda yang tampan.“Eyang mengundang dia?”“Iya. Dia sebagai wakil dari teman-temanmu di sekolah. Ya, Nak Rangga?” Amelia melotot ke arahnya. “Bukannya kamu selalu sibuk di rumah? Kamu sebentar saja, terus pulang.”“Loh, Nak