Aku menghormati keputusan suamiku. Dia membutuhkan ruang dan waktu untuk berdamai dengan apa yang terjadi, seperti aku dulu. Proses menerima penghianatan Mas Bram membutuhkan waktu yang lama, dan tidak mudah. Karenanya, aku mewanti-wanti Amelia supaya tidak keceplosan lagi.“Jadi Amelia tidak boleh bilang nama Tante Rita?”“Sst…!” Spontan jari telunjukku mengajung di depan bibir. Baru saja aku mengatakan jangan keceplosan, dia justru mengulang kesalahannya lagi. Dia pun seperti terkejut, dan buru-buru membungkam mulut dengan tangan.Dalam hati aku ingin tertawa, melihat mata bulat Amelia yang mengerjap. Dia beringsut mendekat sambil berbisik. “Maaf, Ma. Aku keceplosan lagi bilang__” Ucapannya terhenti saat sekali lagi aku mengacungkan jari telunjuk.Dengan wajahnya yang polos dia menggerakkan jari di depan mulut, pertanda tutup mulut.“Kalau begitu Amel berangkat saja dulu, ah. Sebelum ketemu Papi. Sarapannya Amel bungkus saja, ya?” ucapnya kemudian beranjak dari duduk. Dia mengambil
Ada yang bilang masa SMA, masa yang paling indah. Mungkin ini dikarenakan, ini masa terakhir mereka disebut remaja. Dimana kesalahan bisa dimaklumi dan dibenarkan tidak dengan hukuman. Masa terakhir memiliki kebebasan, yang nantinya menuju menjadi orang dewasa yang sudah memikul tanggung jawab penuh.Hari ini hari perpisahan. Perayaan sebagai tanda menuju tahapan berikutnya. Tinggal menunggu pengumuman hasil tes untuk melanjutkan sekolah.Amelia sudah bersiap. Team Claudia didatangkan untuk merias Amelia. Dandanan yang cantik, tetapi tidak meninggalkan usia. Dia mengenakan kebaya modern dengan potongan sederhana tetapi elegan. Ciri khas design butik milik Claudia.Tidak hanya aku dan Mas Suma yang mendampingi acara ini, Nyonya Besar juga ikut.“Mami, undangan untuk orang tua hanya untuk dua orang.” Mas Suma berusaha memberi pengertian, tetapi mertuaku tetap bersikukuh. Saat itu kami datang mengunjungi Mami untuk mendengarkan lantunan lagu ciptaannya.“Mas Suma. Kalau begitu Mas Suma d
“Amelia ingin apa? Eyang akan beri apapun.” Nyonya Besar mengulurkan tangan, meraih kepala Amelia yang menjulang. Memakai alas kaki berhak tinggi, membuatnya lebih tinggi.”Eyang jangan gini. Amel malu,” ucap Amelia sambil menggerakkan kepala ke pasangan Atmaja. Pasti dia tidak mau dikatakan manja oleh orang tua Rangga.Aku dan Mas Suma saling bersitatap, tersenyum melihat Amelia yang sudah menjadi gadis.“Oh, ini putrinya,” seru Pak Atmaja.“Iya. Ini anak saya. Tingginya sudah sesaya.” Mas Suma merangkul Amelia, terlihat gerakan Amelia yang sedikit menjauh.“Iya. Kadang kita tidak sadar kalau sudah tua,” celetuk Pak Atmaja sambil tertawa. Mereka terlihat berusaha mencairkan suasana. Kalau dilihat gayanya, mereka mirip. Kaku menghadapi orang baru, walaupun entah nantinya kalau sudah saling kenal.“Malam, Om, Tante,” ucap Amelia sambil mengangguk hormat.“Oh, ini Amelia temannya Rangga,” ucap wanita ayu berkulit putih itu.“Kamu tahu?”“I-iya. Rangga beberapa kali dijemput dan minta iz
Hatiku kesal, sungguh kesal. Yang di hadapanku berbeda sekali dengan yang diucapkan beberapa waktu lalu.“Aku paling tidak mau membuang waktu bersenda gurau tidak jelas. Apalagi dengan perempuan.”“Termasuk denganku?”“Kamu pengecualian, Amelia. Kamu tahu kan, bagaimana aku terhadapmu?”Ucapannya yang membuatku bangga dan hati ini berbunga-bunga seketika. Siapa yang tidak suka saat idola sekolah menspesialkan diri ini. Dia tidak hanya keren, tetapi juga pintar. Yang membuatku tidak bisa berpaling darinya, adalah sikap gentelmen. Kalau ingat dia dengan beraninya menghadapi Papi yang terkenal galak. Dia nyatakan kalau ingin berteman lebih dekat denganku. Senyumku langsung tercipta kembali dengan sempurna, walaupun terasa geli karena ingat kejadian setelahnya.Namun yang aku dapati di perpustakaan, dia berduaan dengan Siska. Saat itu sudah tidak ada pelajaran, kami mengisi waktu dengan ke kantin dan aku memilih ke perpustakaan. Mereka berbincang, bahkan bibirnya menyunggingkan senyuman
Bukan Nyonya Besar kalau tidak membuat kejutan. Niatnya membuat syukuran kecil-kecilan, ternyata tidak seperti yang aku bayangkan.“Pokoknya ya, Ran. Semua aku atur. Kalian tinggal beresnya saja.”“Saya bantu ya, Mami?”“Tidak usah.”“Mami tidak capek?” tanyaku melalui video call. Padahal Amelia sempat melontarkan kalau enggan melakukan perayaan yang berlebihan. Ini dikarenakan dia masih menunggu pengumuman kelulusan test masuk sekolah.“Aku itu kalau diam saja, justru capek. Seperti tidak ada gunanya. Pokoknya, ini saya buat perfect! Spesial untuk cucuku Amelia!” serunya seraya menunjukkan ibu jari.“Em….”“Ada apa, Ran?”“Amelia sempat bilang ke saya kalau tidak mau pesta besar.”“Oh itu. Dia juga ngomong sama Mami. Pokoknya beres. Mami hanya mengundang orang terdekat. Serahkan kepada Mami!”Kalau sudah seperti ini, apalagi sudah keluar kata ‘pokoknya’. Ibaratnya ada perang dunia ketiga pun, tidak bakalan menyurutkan niat mertuaku itu.Baru saja aku menyudahi pembicaraan dengan Nyon
“Mama….” Amelia menatapku, seakan meminta pertimbangan dan aku mengangguk sambil menunjukkan telapak tangan. Memintanya untuk tenang.Perkiraanku meleset. Nyonya Besar bisa menghadirkan Rangga tanpa menghubungiku atau mencari tahu kepada Amelia. Aku lupa kalau mertuaku ini mampu berbuat apapun asal dia berniat.“Dia Rangga. Teman sekolah Amelia,” sahut Nyonya Besar menjawab pertanyaan Ibuku.Aku akui, Rangga memang mempunyai prilaku yang baik. Dengan tenangnya dia menuju Nyonya Besar, bersalaman termasuk dengan kami semua yang hadir. Dari penampilannya, terlihat jelas kalau mertuaku tidak sekadar mengundang. Dia juga mengirim pakaian seperti yang kami kenakanm hanya warnanya berbeda. Rambutnya disisir ke belakang, yang menunjukkan kedewasaannya. Aku akui, dia anak muda yang tampan.“Eyang mengundang dia?”“Iya. Dia sebagai wakil dari teman-temanmu di sekolah. Ya, Nak Rangga?” Amelia melotot ke arahnya. “Bukannya kamu selalu sibuk di rumah? Kamu sebentar saja, terus pulang.”“Loh, Nak
Makanya aku dulu sering kesal mendengar teman-teman yang menceritakan keseruan dengan saudaranya. Namun terlahir di keluarga yang hanya ada Papi dan Eyang, membuatku akrab dengan kesendirian. Aku lebih banyak menghabiskan waktu bersama suster, pelayan, dan selebihnya hanya dengan ponsel.Itu pun sering kesal saat bersliweran di beranda media sosial tentang keluarga. Indahnya rasa kekeluargaan, kasih sayang, bahkan kekesalan karena berselisih paham. Aku melihatnya menjadi penasaran, karena aku tidak memiliki siapapun. Papi sibuk dengan perusahaan, sedangkan Eyang tak kalah sibuknya.Akan tetapi itu dulu, sebelum Mama datang di keluarga ini. Terlebih dengan kedatangan Kak Wisnu.Hidupku lebih berwarna. Seperti teman-teman lainnya. Aku sungguh menikmati diomeli Kak Wisnu, atau dilarang ini dan itu. Aku merasa, itulah kebahagiaan bersaudara yang sebenarnya. Seorang Amelia memiliki seseorang yang siap membela dan memastikan aku baik-baik saja.Seperti sekarang.Kak Wisnu berhadapan dengan
Entah sejak kapan Eyang mengenal Rangga. Setahuku, mereka hanya bertemu saat acara di sekolah malam itu. Sebenarnya, pertanyaan sudah berjubel di kepala ini semenjak dia menampakkan diri di awal tadi. Apa Eyang mencari tahu tentang Rangga? Atau, bahkan Rangga dipanggil oleh Eyang?Kecurigaanku sebenarnya berawal dari baju yang dikenakan oleh Rangga. Aku tahu benar baju apa yang selalu dia kenakan, bahkan hapal. Kalau tidak kemeja flanel kotak-kotak, ya kaos berkerah garis-garis, selebihnya hanya kaus oblong. Pernah aku berseloroh tentang penampiannya.“Baju kamu ini ada doanya, ya. Atau, ada syarat supaya kamu pintar? Sampai-sampai tidak ganti-ganti?”“Memang bajuku untuk keluar hanya ini saja,” jawabnya dengan santai.Kala itu aku berpikir, membandingkan dengan kebiasaan di keluarga. Setiap ada acara selalu membuat baju baru, itupun keluaran dari butik. Katanya, karena sering mengikuti berpindah tugas ayahnya yang tentara, jadi keluarga menekankan hidup minimalis. Membeli hanya yang