Bukan Nyonya Besar kalau tidak membuat kejutan. Niatnya membuat syukuran kecil-kecilan, ternyata tidak seperti yang aku bayangkan.“Pokoknya ya, Ran. Semua aku atur. Kalian tinggal beresnya saja.”“Saya bantu ya, Mami?”“Tidak usah.”“Mami tidak capek?” tanyaku melalui video call. Padahal Amelia sempat melontarkan kalau enggan melakukan perayaan yang berlebihan. Ini dikarenakan dia masih menunggu pengumuman kelulusan test masuk sekolah.“Aku itu kalau diam saja, justru capek. Seperti tidak ada gunanya. Pokoknya, ini saya buat perfect! Spesial untuk cucuku Amelia!” serunya seraya menunjukkan ibu jari.“Em….”“Ada apa, Ran?”“Amelia sempat bilang ke saya kalau tidak mau pesta besar.”“Oh itu. Dia juga ngomong sama Mami. Pokoknya beres. Mami hanya mengundang orang terdekat. Serahkan kepada Mami!”Kalau sudah seperti ini, apalagi sudah keluar kata ‘pokoknya’. Ibaratnya ada perang dunia ketiga pun, tidak bakalan menyurutkan niat mertuaku itu.Baru saja aku menyudahi pembicaraan dengan Nyon
“Mama….” Amelia menatapku, seakan meminta pertimbangan dan aku mengangguk sambil menunjukkan telapak tangan. Memintanya untuk tenang.Perkiraanku meleset. Nyonya Besar bisa menghadirkan Rangga tanpa menghubungiku atau mencari tahu kepada Amelia. Aku lupa kalau mertuaku ini mampu berbuat apapun asal dia berniat.“Dia Rangga. Teman sekolah Amelia,” sahut Nyonya Besar menjawab pertanyaan Ibuku.Aku akui, Rangga memang mempunyai prilaku yang baik. Dengan tenangnya dia menuju Nyonya Besar, bersalaman termasuk dengan kami semua yang hadir. Dari penampilannya, terlihat jelas kalau mertuaku tidak sekadar mengundang. Dia juga mengirim pakaian seperti yang kami kenakanm hanya warnanya berbeda. Rambutnya disisir ke belakang, yang menunjukkan kedewasaannya. Aku akui, dia anak muda yang tampan.“Eyang mengundang dia?”“Iya. Dia sebagai wakil dari teman-temanmu di sekolah. Ya, Nak Rangga?” Amelia melotot ke arahnya. “Bukannya kamu selalu sibuk di rumah? Kamu sebentar saja, terus pulang.”“Loh, Nak
Makanya aku dulu sering kesal mendengar teman-teman yang menceritakan keseruan dengan saudaranya. Namun terlahir di keluarga yang hanya ada Papi dan Eyang, membuatku akrab dengan kesendirian. Aku lebih banyak menghabiskan waktu bersama suster, pelayan, dan selebihnya hanya dengan ponsel.Itu pun sering kesal saat bersliweran di beranda media sosial tentang keluarga. Indahnya rasa kekeluargaan, kasih sayang, bahkan kekesalan karena berselisih paham. Aku melihatnya menjadi penasaran, karena aku tidak memiliki siapapun. Papi sibuk dengan perusahaan, sedangkan Eyang tak kalah sibuknya.Akan tetapi itu dulu, sebelum Mama datang di keluarga ini. Terlebih dengan kedatangan Kak Wisnu.Hidupku lebih berwarna. Seperti teman-teman lainnya. Aku sungguh menikmati diomeli Kak Wisnu, atau dilarang ini dan itu. Aku merasa, itulah kebahagiaan bersaudara yang sebenarnya. Seorang Amelia memiliki seseorang yang siap membela dan memastikan aku baik-baik saja.Seperti sekarang.Kak Wisnu berhadapan dengan
Entah sejak kapan Eyang mengenal Rangga. Setahuku, mereka hanya bertemu saat acara di sekolah malam itu. Sebenarnya, pertanyaan sudah berjubel di kepala ini semenjak dia menampakkan diri di awal tadi. Apa Eyang mencari tahu tentang Rangga? Atau, bahkan Rangga dipanggil oleh Eyang?Kecurigaanku sebenarnya berawal dari baju yang dikenakan oleh Rangga. Aku tahu benar baju apa yang selalu dia kenakan, bahkan hapal. Kalau tidak kemeja flanel kotak-kotak, ya kaos berkerah garis-garis, selebihnya hanya kaus oblong. Pernah aku berseloroh tentang penampiannya.“Baju kamu ini ada doanya, ya. Atau, ada syarat supaya kamu pintar? Sampai-sampai tidak ganti-ganti?”“Memang bajuku untuk keluar hanya ini saja,” jawabnya dengan santai.Kala itu aku berpikir, membandingkan dengan kebiasaan di keluarga. Setiap ada acara selalu membuat baju baru, itupun keluaran dari butik. Katanya, karena sering mengikuti berpindah tugas ayahnya yang tentara, jadi keluarga menekankan hidup minimalis. Membeli hanya yang
“Anak ABG memang sedang lucu-lucunya, ya, Ma.” Wisnu duduk mensejajariku setelah dia pamit kepada Nyonya Besar.Sekarang, tertinggal Amelia dan Rangga yang menemani di depan. Kalau Amelia sih sudah terbiasa menghadapi mertuaku, akan tetapi ini pengalaman kali pertama untuk Rangga. Anggap saja ini ujian untuk calon anggota baru.Eh!Ini sih tidak seberapa, daripada ujian yang aku terima dulu. Sikap Nyonya Besar yang membuatku bertanya-tanya dengan sikapnya yang ini dan itu. Untungnya aku ditanyakan lulus.Wisnu meminta makanan camilan, kemudian pelayan menyajikan di depannya. Jajanan traditional mulai lemper sampai nagasari. Ibu yang tadi berbincang dengan Paklik Totok, bergabung dengan kami. Apalagi suamiku memanggil Paklik untuk berbincang.“Ran. Bagaimanapun tetap awasi mereka,” ucap Ibu sambil mengarahkan pandangan ke Amelia dan Rangga.“Iya, Bu.”“Kamu kan tahu. Anak seumuran mereka itu hormonnya mulai berkembang, dan cenderung tidak stabil. Masih belum bisa mengendalikan diri. M
Dulu awal menginjakkan kaki di pulau Dewata, aku seperti orang buta. Hanya mengikuti Mas Bram, sebagai pasangan muda yang masih idealis. Saat itu demi mendukung usaha Mas Bram, aku bekerja di restoran di bagian managemen.Di bulan pertama, aku ditempatkan di bagian purchasing, pengadaan barang. Sempat terkejut-kejut saat daftar permintaan barang tidak hanya bahan makanan, tetapi juga beer, wine, liquor, bahkan champagne. Minuman beralkohol.“Kita menjual minuman beralkohol? Bukankah itu memabukkan?” Pertanyaan yang membuat mereka tersenyum, bahkan ada yang tertawa.“Nanti kamu akan tahu sendiri.” Itu yang mereka ucapkan, saat apa yang dijelaskan aku tidak mengerti.Kemudian aku ditugaskan menerima karyawan baru, mau tidak mau aku harus tahu seluk beluk pekerjaan mereka. Mulai waiter/ss, karyawan di dapur, sampai bartender. Kemudian merambah pada marketing, dan terakhir sebagai manager yang bertanggung jawab penuh operasional restoran. Dari sini aku mengamati tentang perilaku kebiasaa
Pagi-pagi Wisnu sudah terbang kembali ke Denpasar. Padahal kangennya belum berkurang.Mas Suma saja memintanya untuk mengundur jadwal kepulangan. Katanya, acara ngobrol dengan Wisnu belum selesai. Padahal sepulang dari rumah besar, mereka begadang. Sebelum tidur, aku dapati mereka berhadap-hadapan dengan biduk catur di tengah-tengah. Entah pukul berapa Mas Suma masuk kamar. Aku sudah tidur.Paginya, semua bersiap ingin mengantarkan Wisnu ke bandara. Namun dengan berbagai alasan, Wisnu menolak dan memilih diantar Pak Maman saja.“Wisnupun masih ingin tinggal, Pi. Tetapi pekerjaan tidak boleh ditinggalkan.”“Atau, Papi telpon Tiok?” ucap Mas Suma menawarkan solusi.“Ah. Janganlah, Pi. Itu tidak profesional namanya. Wisnu saja kalau saat kerja berusaha bersikap formal dengan Om Tiok. Hanya kalau kongkow aja, kami bisa santai.”“Ternyata anak Papi sudah menjadi entrepreneur, ya! Papi bangga!” seru Mas Suma sambil menepuk punggung Wisnu. Aku bergabung dengan mereka sambil menghidangkan ro
Kadang kesibukan seperti yang dilakukan Mas Suma bisa untuk refresing. Sejenak keluar dari rutinitas di kantor, yang meeting, meeting, dan meeting.“Aku capek duduk, Ran. Otakku juga penat,” ucap Mas Suma sambil meneruskan corat-coret tentang rencananya.Dia ingin mendirikan tempat kongkow bersama Wisnu. Dan tempatnya di atas garasi.“Nanti kalau aku gitaran dan nyanyi-nyanyi sama Wisnu di halaman belakang, nanti kamu ngomel?” ucapnya memberikan alasan. Iya iyalah. Mereka kalau melakukan keributan selalu saat waktunya orang tidur. “Aku menggunakan bahan-bahan yang cepat untuk dirakit. Pakai struktur baja, kemudian lantai dan dinding dari papan. Praktis dan cepat. Aku ingin kasih kejutan kepada Wisnu!” seru Mas Suma dengan semangat.Benar, agak siangan datang truk pengangkut bahan. Termasuk team pekerja dari perusahaan rekanan perusahaan. Sat-set-sat-set. Bongkar sedikit, kemudian sore hari sudah berdiri struktur baja. Walaupun masih berbentuk kotak. Mereka mengerjakan sampai malam,