Aku seperti pulang ke rumah. Di depanku tidak hanya Mas Suma, tetapi ada Amelia yang menggendong Anind, dan Wisnu yang memanggul Danish.Mata ini berkaca-kaca saat Amelia dan Wisnu berhambur dan menyodorkan adik-adiknya kepadaku. Kerinduan yang membuncah terjawab sudah. Tak henti-hentinya aku menciumi mereka.“Mam-ma… Mamam.” Suara keluar dari bibir mungil Anind. Seketika rasa haru menyeruak. Gadis kecilku tidak melupakan aku, bahkan mampu memanggilku mama.“Mas Suma! Anind sudah bisa memanggilku!” Aku menatap suamiku yang tertatih mendekat. Kemudian mengusap lembut kepala mungil. Dia mengulurkan tangan, tetapi Amelia tidak memperbolehkan.“Kan Amel yang ngajari Adek Anind ngomong,” celetuk Amelia sambil menggerak-gerakkan alis.“Hmm…. Anakku ini sayang sama adik-adiknya, ya.” Mas Suma mengacak rambut Amelia sambil tersenyum. Terlihat senang. Walaupun lahir dari rahim yang berbeda, tetapi dia menyayangi adik-adiknya.“Danish juga sudah bisa pegang pencil. Semuanya dicoret-coret,” tamb
Tangan ini terkepal seketika mendengar apa yang diceritakan Mas Suma.Kemesraan kami memicu ingatannya. Seperti serpihan puzzel, perlakuan Catherine yang menjijikkan itu menarik bagian lainnya yang terlupakan.Sesekali dia menekan kepala untuk meredakan nyeri yang kadang-kadang hadir. Namun, ini tidak menyurutkan dia untuk melanjutkan rentetan ingatan yang sudah kembali. “Aku tidak apa-apa. Dengan menceritakan ini semua, aku merasa lebih ringan,” ucapnya bersikukuh saat aku minta untuk tidak melanjutkan cerita miris ini.Sesekali tangan ini diraihnya, menautkan jemari seakan mencari kekuatan.Kata demi kata mengeraskan hati, menambah geram dan membulatkan niat untuk pembalasan. Dan, itu harus melibatkan pihak berwajib.“Mas Suma. Aku tidak terima perlakuan mereka. Selama ini kita selalu mencari alasan untuk memaklumi perbuatan mereka. Namun, bukan sadar, justru semakin menjadi,” ucapku sambil menyusut air mata yang sempat tergulir.Suamiku menghela napas. Mengusap lembut punggung in
Setahuku walaupun dia belagu, tetapi dia bukan orang jahat. Tidak pernah mata ini melihatnya sebagai musuh, apalagi pesaing. Bahkan kehadirannya tidak berpengaruh apa-apa, bahkan menggelikan.“You know, saya lulusan dari luar negeri. Memang saya dilahirkan di sini, but in my body mengalir darah Papa saya yang asli dari Eropa,” ucapnya setelah mengenalkan diri. Dia menyodorkan kartu nama dengan nama dia sebagai CEO. Entah kenapa, laki-laki sok bule ini selalu mengikuti dan tidak berhenti bicara.Aku meliriknya sebentar. Laki-laki lebih muda dariku, berambut berwarna coklat. Wajahnya yang terlihat mencolok, karena tanpa bertanyapun kita tahu dia blasteran luar negeri.Tersenyum aku mendengar kalimat yang menggelikan. Memang apa hebatnya lulusan luar negeri dan keturunan orang sana? Tanpa ada pembuktian bisa bertahan dan bertarung di dunia bisnis, semuanya hanya bualan semata. Zero.“I know you, Mister Kusuma. Saya mengagumi anda yang masih muda tetapi sudah mencapai keberhasilan.”“Te
Diabaikan memang tidak menyenangkan. Rasanya seperti terlihat dekat, tetapi ketika digapai hanya mendapati ruangan kosong. Berdekatan, tetapi tidak bersama. Kesal! Seperti pagi ini. Jarum jam masih menunjukkan angka sembilan, sudah tidak aku dapati Maharani. Saat aku hubungi melalui ponsel, justru pesan yang menjadi balasannya. [Mas Suma. Nanti aku telpon balik. Ini baru mulai meeting. See U] Seakan mulut ini sudah akan berucap, bahkan kata-kata sudah diujung bibir. Namun, langsung terhenti karena kata stop. “Iya betul. Bu Rani menjadwalkan setiap pagi meeting untuk membicarakan target di setiap harinya.” “Setiap pagi seperti itu?” tanyaku kepada Desi sekretaris. “Iya betul. Nanti sebelum pulang, kami berkumpul lagi untuk membicarakan pencapaian,” jelasnya kembali saat aku hubungi untuk menuntaskan penasaranku. Aku menghela napas. Dalam hitungan hari, Maharani istriku sudah bertindak jauh di perusahaan. Bahkan dia menggunakan cara kepemimpinannya sendiri. Sebenarnya aku bangg
Kalau ada yang mencoba menjatuhkanmu, terbanglah setinggi mungkin. Tinggi dan lebih tinggi lagi, sampai mereka tidak mampu menggapaimu lagi.Itu lebih baik dari pada disibukkan dengan usaha menjatuhkan mereka.*Mulai kaki ini menapak di pelataran, tidak henti-hentinya sapaan dari karyawan. Bahkan telinga ini menangkap ucapan syukur dari staff cleaning service yang terlihat segan menyapaku dari dekat. Merasa dirindukan, ternyata aku seorang boss yang kedatangannya dinantikan.Aku menunjukkan telunjuk di bibir, saat Desi sekretaris akan menyapaku. Kalau dia berucap, bisa jadi kedatanganku tidak menjadi kejutan bagi Maharani.Pintu aku buka sedikit.Senyumku mengembang melihat istriku berkutat dengan tumpukan map-map di depannya. Wajahnya mengernyit menunjukkan keseriusan. Memang, sebagai pimpinan kami tidak melakukan langsung dengan kedua tangan ini. Terlihat tinggal asal tunjuk sana dan sini, atau sekadar tanda tangan.Ada tanggung jawab di sana. Satu tanda tangan sama saja mengucurk
Kalau jarang bertemu, kangen. Namun, kalau sudah berkumpul bertengkar. Orang zaman sekarang bilang, beradu pendapat atau diskusi. Seperti aku dan Maharani sekarang.“Kalau kita tidak pantau terus, ada yang meleset kita tidak tahu. Makanya aku kumpulkan mereka di setiap pagi dan sore,” timpal istriku itu bersikukuh dengan pendapatnya.Aku menilai yang dilakukan hanya buang waktu dan pikiran. Seorang pimpinan seposisi dia sekarang, tidak perlu melakukan hal ini. Pantas saja, waktunya habis di kantor dan membiarkan aku kesepian di rumah sakit.“Maharani istriku sayang. Kalau kita biasakan pekerjaan mereka dipantau terus-menerus, nanti dia tidak akan mandiri. Biarkan mereka memikirkan sesuai dengan tugasnya. Biarkan mereka mandiri.”“Tapi, Mas Suma. Ini saja banyak laporan yang aku kasih note, karena kurang ini dan itu.” Dia menunjuk tumpukan berkas yang tadi dikerjakan.“Iya. Tapi bukan berarti kamu pantau terus dan melakukan meeting sampai sehari dua kali. Kamu akan kecapekan, Sayang,
Baru kali ini, ketukan pintu membuatku jengkel setengah mati. Seperti kita sedang asyik menuju puncak, tetapi dipaksa untuk turun. Kesal, kan?“Sabar…,” ucapnya seraya menepuk dada ini.Maharani mengusap bibirku. Setelahnya, menunjukkan jari yang ternoda dengan lisptik. Matanya mengerling seakan menunjukkan keberhasilan menjahiliku. Bibir yang warna lipstiknya sudah pudar karena ulahku, tersenyum sebelum dia membalikkan badan.“Mau kemana?”“Buka pintu, lah. Kan Mas Suma kunci.”Sekarang berganti aku tertawa kecil menunjukkan ejekan padanya. Dengan mata memicing aku berkata, “Apa yang di pikiran Desi kalau melihatmu seperti itu?”Dia mengernyit tidak mengerti. Kemudian matanya mengikuti telunjukku.“Mas Suma!” teriaknya kesal sambil mengancingkan baju bagian atas.Gila!Bekerja bersama istri memang menyenangkan. Namun, harus siap menahan diri saat hasrat terpatik. Apalagi bersamaan dengan gangguan seperti sekarang ini. Aku melongokkan kepala melihat siapa yang berani mengetuk pintu.
“Baiklah, usulanmu aku terima. Aku akan pikirkan yang terbaik untuk masalah Catherine,” ucap Mas Suma sambil menutup map yang berisi berkas Catherine.Watak seseorang tidak menunjukkan hati yang sebenarnya. Ada yang terlihat tidak peduli, keras kepala, kasar, dan acuh tak acuh. Seperti Mas Suma yang terlihat kaku dan susah di dekati.Namun kenyataannya, dia memiliki banyak emosi dan terpengaruh. Kalau sudah mengenal dekat, saat itulah kita mengetahui bahwa dia yang paling peduli dan memelihara.Aku akan peduli dengan siapapun. Namun, saat mereka menunjukkan ketidaklayakan menerima perhatianku, namanya tercoret dari daftar makhluk hidup yang aku kenal. Sadis, ya?Itulah aku.Karenanya kesal dengan sikap Mas Suma yang tidak tegaan ini.Dia begitu peduli dengan orang lain, seperti kepada karyawan atau kepada Catherine yang jelas-jelas bertindak tidak adil kepadanya. Padahal, mereka belum tentu peduli dengan dirinya. Iya, kan?Orang pabrik yang terbukti menjadi informan komplotan preman d