Diabaikan memang tidak menyenangkan. Rasanya seperti terlihat dekat, tetapi ketika digapai hanya mendapati ruangan kosong. Berdekatan, tetapi tidak bersama. Kesal! Seperti pagi ini. Jarum jam masih menunjukkan angka sembilan, sudah tidak aku dapati Maharani. Saat aku hubungi melalui ponsel, justru pesan yang menjadi balasannya. [Mas Suma. Nanti aku telpon balik. Ini baru mulai meeting. See U] Seakan mulut ini sudah akan berucap, bahkan kata-kata sudah diujung bibir. Namun, langsung terhenti karena kata stop. “Iya betul. Bu Rani menjadwalkan setiap pagi meeting untuk membicarakan target di setiap harinya.” “Setiap pagi seperti itu?” tanyaku kepada Desi sekretaris. “Iya betul. Nanti sebelum pulang, kami berkumpul lagi untuk membicarakan pencapaian,” jelasnya kembali saat aku hubungi untuk menuntaskan penasaranku. Aku menghela napas. Dalam hitungan hari, Maharani istriku sudah bertindak jauh di perusahaan. Bahkan dia menggunakan cara kepemimpinannya sendiri. Sebenarnya aku bangg
Kalau ada yang mencoba menjatuhkanmu, terbanglah setinggi mungkin. Tinggi dan lebih tinggi lagi, sampai mereka tidak mampu menggapaimu lagi.Itu lebih baik dari pada disibukkan dengan usaha menjatuhkan mereka.*Mulai kaki ini menapak di pelataran, tidak henti-hentinya sapaan dari karyawan. Bahkan telinga ini menangkap ucapan syukur dari staff cleaning service yang terlihat segan menyapaku dari dekat. Merasa dirindukan, ternyata aku seorang boss yang kedatangannya dinantikan.Aku menunjukkan telunjuk di bibir, saat Desi sekretaris akan menyapaku. Kalau dia berucap, bisa jadi kedatanganku tidak menjadi kejutan bagi Maharani.Pintu aku buka sedikit.Senyumku mengembang melihat istriku berkutat dengan tumpukan map-map di depannya. Wajahnya mengernyit menunjukkan keseriusan. Memang, sebagai pimpinan kami tidak melakukan langsung dengan kedua tangan ini. Terlihat tinggal asal tunjuk sana dan sini, atau sekadar tanda tangan.Ada tanggung jawab di sana. Satu tanda tangan sama saja mengucurk
Kalau jarang bertemu, kangen. Namun, kalau sudah berkumpul bertengkar. Orang zaman sekarang bilang, beradu pendapat atau diskusi. Seperti aku dan Maharani sekarang.“Kalau kita tidak pantau terus, ada yang meleset kita tidak tahu. Makanya aku kumpulkan mereka di setiap pagi dan sore,” timpal istriku itu bersikukuh dengan pendapatnya.Aku menilai yang dilakukan hanya buang waktu dan pikiran. Seorang pimpinan seposisi dia sekarang, tidak perlu melakukan hal ini. Pantas saja, waktunya habis di kantor dan membiarkan aku kesepian di rumah sakit.“Maharani istriku sayang. Kalau kita biasakan pekerjaan mereka dipantau terus-menerus, nanti dia tidak akan mandiri. Biarkan mereka memikirkan sesuai dengan tugasnya. Biarkan mereka mandiri.”“Tapi, Mas Suma. Ini saja banyak laporan yang aku kasih note, karena kurang ini dan itu.” Dia menunjuk tumpukan berkas yang tadi dikerjakan.“Iya. Tapi bukan berarti kamu pantau terus dan melakukan meeting sampai sehari dua kali. Kamu akan kecapekan, Sayang,
Baru kali ini, ketukan pintu membuatku jengkel setengah mati. Seperti kita sedang asyik menuju puncak, tetapi dipaksa untuk turun. Kesal, kan?“Sabar…,” ucapnya seraya menepuk dada ini.Maharani mengusap bibirku. Setelahnya, menunjukkan jari yang ternoda dengan lisptik. Matanya mengerling seakan menunjukkan keberhasilan menjahiliku. Bibir yang warna lipstiknya sudah pudar karena ulahku, tersenyum sebelum dia membalikkan badan.“Mau kemana?”“Buka pintu, lah. Kan Mas Suma kunci.”Sekarang berganti aku tertawa kecil menunjukkan ejekan padanya. Dengan mata memicing aku berkata, “Apa yang di pikiran Desi kalau melihatmu seperti itu?”Dia mengernyit tidak mengerti. Kemudian matanya mengikuti telunjukku.“Mas Suma!” teriaknya kesal sambil mengancingkan baju bagian atas.Gila!Bekerja bersama istri memang menyenangkan. Namun, harus siap menahan diri saat hasrat terpatik. Apalagi bersamaan dengan gangguan seperti sekarang ini. Aku melongokkan kepala melihat siapa yang berani mengetuk pintu.
“Baiklah, usulanmu aku terima. Aku akan pikirkan yang terbaik untuk masalah Catherine,” ucap Mas Suma sambil menutup map yang berisi berkas Catherine.Watak seseorang tidak menunjukkan hati yang sebenarnya. Ada yang terlihat tidak peduli, keras kepala, kasar, dan acuh tak acuh. Seperti Mas Suma yang terlihat kaku dan susah di dekati.Namun kenyataannya, dia memiliki banyak emosi dan terpengaruh. Kalau sudah mengenal dekat, saat itulah kita mengetahui bahwa dia yang paling peduli dan memelihara.Aku akan peduli dengan siapapun. Namun, saat mereka menunjukkan ketidaklayakan menerima perhatianku, namanya tercoret dari daftar makhluk hidup yang aku kenal. Sadis, ya?Itulah aku.Karenanya kesal dengan sikap Mas Suma yang tidak tegaan ini.Dia begitu peduli dengan orang lain, seperti kepada karyawan atau kepada Catherine yang jelas-jelas bertindak tidak adil kepadanya. Padahal, mereka belum tentu peduli dengan dirinya. Iya, kan?Orang pabrik yang terbukti menjadi informan komplotan preman d
“Siapa ini? Kenapa Mas Suma mencari identitas laki-laki ini?” Aku bergumam sambil berpikir.Aku mendapati sesuatu yang mengejutkan. Jemari ini menemukan riwayat pencarian Mas Suma di internet. Semuanya tentang orang ini. Mas Suma bukan laki-laki yang ingin tahu tentang orang lain, apalagi tidak mengenal.Tunggu sebentar! Bukankah foto ini mirip dengan sketsa wajah yang disodorkan penyidik kapan hari yang lalu? Aku mengambil ponselku dan menyocokkan foto dan gambar itu. Sangat mirip.Ini menandakan suamiku sudah mengetahui tersangka penculikan selain Catherine. Pasti Mas Suma mempunyai rencana sendiri, buktinya tidak mengatakan kepada kami apalagi ke pihak berwajib. Dan kalau aku bertanya sekarang, bisa dipastikan dia akan merubah langkah. Lebih baik aku diam dan mengamati apa yang akan dilakukan.“Kangen aku sama mereka! Kita pulang sekarang!” seru Mas Suma mengagetkan aku.Duh, bagaimana ini?Terlalu konsentrasi memperhatikan ponsel, sampai tidak menyadari kalau dia datang. Secepatny
Secepatnya aku berganti jubah mandi, dan menghidupkan air bath tub. Baru kemudian membuka pintu.“Kamu belum selesai?” tanyanya sambil mengernyitkan dahi. Aroma kecurigaan menguar dari wajahnya.Pintu aku buka sedikit, dan kami berbincang terhalang pintu. “Aku baru masuk. Trus Mas Suma ketuk pintu.”“Tidak ada yang kamu sembunyikan, kan?” Matanya menunjukkan tatapan menyelidik. “Atau…kamu mempersiapkan kejutan untukku?” “Eeem…. Sudah tahu begitu, masih bertanya,” jawabku sambil mengerjapkan mata, seolah mengiyakan yang ada di pikirannya.Tidak ada pertanyaan lagi. Tertinggal tatapan mata yang tidak terlepas dari diri ini. Keningnya masih berkerut, menandakan otaknya masih memikirkan sesuatu.Hmm…kalau dibiarkan, bisa jadi pemikirannya semakin jauh dan mendapati apa yang aku sembunyikan. Sejujurnya, menyembunyikan sesuatu dari Mas Suma membutuhkan tenaga ekstra.“Tidak ada lagi, kan? Aku mau mandi.” Tanpa menunggu jawabannya aku menutup pintu. Namun, dengan cepat tangannya mencegah n
Kata ‘nanti lagi’ dengan penafsiran yang abigu, hanya berhenti pada piring yang kedua saja. Tidak ada tuntutan ‘nanti lagi’ yang lain, karena Pak Tiok sudah datang dan menyandera waktu Mas Suma.Dia datang seperti janjinya. Dengan dalih menjenguk Mas Suma yang baru keluar dari rumah sakit. Pria yang berbalut pakaian santai dengan rambut panjang yang diikat rapi ini, melakukan tanpa menyinggung namaku.“Sudah makan?”“Barusan dari rumah Kalila. Ini perut sampai kekenyangan.” Dia menunjuk perut dan senyuman yang menyebabkan mata semakin menyipit.Senang rasanya. Akhirnya hubungan mereka mulai dekat. Memang belum ada rencana undangan peresmian, tetapi makan bersama merekatkan hubungan. Dari urusan perut, mengukuhkan perasaan hati.“Sudah mulai yakin, Pak Tiok?” ucapku melontarkan godaan.“Dalam proses. Pingin segera mengejar ketertinggalan,” serunya disambut tawa Mas Suma.Kami bertiga berbincang sebentar. Kemudian aku tinggal untuk menyiapkan minuman dan camilan untuk mereka. Bisa dipa