Kalau jarang bertemu, kangen. Namun, kalau sudah berkumpul bertengkar. Orang zaman sekarang bilang, beradu pendapat atau diskusi. Seperti aku dan Maharani sekarang.“Kalau kita tidak pantau terus, ada yang meleset kita tidak tahu. Makanya aku kumpulkan mereka di setiap pagi dan sore,” timpal istriku itu bersikukuh dengan pendapatnya.Aku menilai yang dilakukan hanya buang waktu dan pikiran. Seorang pimpinan seposisi dia sekarang, tidak perlu melakukan hal ini. Pantas saja, waktunya habis di kantor dan membiarkan aku kesepian di rumah sakit.“Maharani istriku sayang. Kalau kita biasakan pekerjaan mereka dipantau terus-menerus, nanti dia tidak akan mandiri. Biarkan mereka memikirkan sesuai dengan tugasnya. Biarkan mereka mandiri.”“Tapi, Mas Suma. Ini saja banyak laporan yang aku kasih note, karena kurang ini dan itu.” Dia menunjuk tumpukan berkas yang tadi dikerjakan.“Iya. Tapi bukan berarti kamu pantau terus dan melakukan meeting sampai sehari dua kali. Kamu akan kecapekan, Sayang,
Baru kali ini, ketukan pintu membuatku jengkel setengah mati. Seperti kita sedang asyik menuju puncak, tetapi dipaksa untuk turun. Kesal, kan?“Sabar…,” ucapnya seraya menepuk dada ini.Maharani mengusap bibirku. Setelahnya, menunjukkan jari yang ternoda dengan lisptik. Matanya mengerling seakan menunjukkan keberhasilan menjahiliku. Bibir yang warna lipstiknya sudah pudar karena ulahku, tersenyum sebelum dia membalikkan badan.“Mau kemana?”“Buka pintu, lah. Kan Mas Suma kunci.”Sekarang berganti aku tertawa kecil menunjukkan ejekan padanya. Dengan mata memicing aku berkata, “Apa yang di pikiran Desi kalau melihatmu seperti itu?”Dia mengernyit tidak mengerti. Kemudian matanya mengikuti telunjukku.“Mas Suma!” teriaknya kesal sambil mengancingkan baju bagian atas.Gila!Bekerja bersama istri memang menyenangkan. Namun, harus siap menahan diri saat hasrat terpatik. Apalagi bersamaan dengan gangguan seperti sekarang ini. Aku melongokkan kepala melihat siapa yang berani mengetuk pintu.
“Baiklah, usulanmu aku terima. Aku akan pikirkan yang terbaik untuk masalah Catherine,” ucap Mas Suma sambil menutup map yang berisi berkas Catherine.Watak seseorang tidak menunjukkan hati yang sebenarnya. Ada yang terlihat tidak peduli, keras kepala, kasar, dan acuh tak acuh. Seperti Mas Suma yang terlihat kaku dan susah di dekati.Namun kenyataannya, dia memiliki banyak emosi dan terpengaruh. Kalau sudah mengenal dekat, saat itulah kita mengetahui bahwa dia yang paling peduli dan memelihara.Aku akan peduli dengan siapapun. Namun, saat mereka menunjukkan ketidaklayakan menerima perhatianku, namanya tercoret dari daftar makhluk hidup yang aku kenal. Sadis, ya?Itulah aku.Karenanya kesal dengan sikap Mas Suma yang tidak tegaan ini.Dia begitu peduli dengan orang lain, seperti kepada karyawan atau kepada Catherine yang jelas-jelas bertindak tidak adil kepadanya. Padahal, mereka belum tentu peduli dengan dirinya. Iya, kan?Orang pabrik yang terbukti menjadi informan komplotan preman d
“Siapa ini? Kenapa Mas Suma mencari identitas laki-laki ini?” Aku bergumam sambil berpikir.Aku mendapati sesuatu yang mengejutkan. Jemari ini menemukan riwayat pencarian Mas Suma di internet. Semuanya tentang orang ini. Mas Suma bukan laki-laki yang ingin tahu tentang orang lain, apalagi tidak mengenal.Tunggu sebentar! Bukankah foto ini mirip dengan sketsa wajah yang disodorkan penyidik kapan hari yang lalu? Aku mengambil ponselku dan menyocokkan foto dan gambar itu. Sangat mirip.Ini menandakan suamiku sudah mengetahui tersangka penculikan selain Catherine. Pasti Mas Suma mempunyai rencana sendiri, buktinya tidak mengatakan kepada kami apalagi ke pihak berwajib. Dan kalau aku bertanya sekarang, bisa dipastikan dia akan merubah langkah. Lebih baik aku diam dan mengamati apa yang akan dilakukan.“Kangen aku sama mereka! Kita pulang sekarang!” seru Mas Suma mengagetkan aku.Duh, bagaimana ini?Terlalu konsentrasi memperhatikan ponsel, sampai tidak menyadari kalau dia datang. Secepatny
Secepatnya aku berganti jubah mandi, dan menghidupkan air bath tub. Baru kemudian membuka pintu.“Kamu belum selesai?” tanyanya sambil mengernyitkan dahi. Aroma kecurigaan menguar dari wajahnya.Pintu aku buka sedikit, dan kami berbincang terhalang pintu. “Aku baru masuk. Trus Mas Suma ketuk pintu.”“Tidak ada yang kamu sembunyikan, kan?” Matanya menunjukkan tatapan menyelidik. “Atau…kamu mempersiapkan kejutan untukku?” “Eeem…. Sudah tahu begitu, masih bertanya,” jawabku sambil mengerjapkan mata, seolah mengiyakan yang ada di pikirannya.Tidak ada pertanyaan lagi. Tertinggal tatapan mata yang tidak terlepas dari diri ini. Keningnya masih berkerut, menandakan otaknya masih memikirkan sesuatu.Hmm…kalau dibiarkan, bisa jadi pemikirannya semakin jauh dan mendapati apa yang aku sembunyikan. Sejujurnya, menyembunyikan sesuatu dari Mas Suma membutuhkan tenaga ekstra.“Tidak ada lagi, kan? Aku mau mandi.” Tanpa menunggu jawabannya aku menutup pintu. Namun, dengan cepat tangannya mencegah n
Kata ‘nanti lagi’ dengan penafsiran yang abigu, hanya berhenti pada piring yang kedua saja. Tidak ada tuntutan ‘nanti lagi’ yang lain, karena Pak Tiok sudah datang dan menyandera waktu Mas Suma.Dia datang seperti janjinya. Dengan dalih menjenguk Mas Suma yang baru keluar dari rumah sakit. Pria yang berbalut pakaian santai dengan rambut panjang yang diikat rapi ini, melakukan tanpa menyinggung namaku.“Sudah makan?”“Barusan dari rumah Kalila. Ini perut sampai kekenyangan.” Dia menunjuk perut dan senyuman yang menyebabkan mata semakin menyipit.Senang rasanya. Akhirnya hubungan mereka mulai dekat. Memang belum ada rencana undangan peresmian, tetapi makan bersama merekatkan hubungan. Dari urusan perut, mengukuhkan perasaan hati.“Sudah mulai yakin, Pak Tiok?” ucapku melontarkan godaan.“Dalam proses. Pingin segera mengejar ketertinggalan,” serunya disambut tawa Mas Suma.Kami bertiga berbincang sebentar. Kemudian aku tinggal untuk menyiapkan minuman dan camilan untuk mereka. Bisa dipa
Tidak ada masalah yang diselesaikan dengan dasar kebencian. Kalaupun iya, itu hanya terlihat padam di permukaan saja. Seperti bara di dalam sekam, suatu saat akan berkobar kembali.Aku tidak mau hal itu terjadi.Apapun masalahnya, harus dihentikan sampai di sini. Aku tidak mau anak keturunanku menuai masalah akibat langkahku yang tidak tepat. Karenanya, aku langsung menolak usulan Tiok.“Kita kasih umpan dia supaya menunjukkan diri tanpa diminta. Kemudian serahkan ke pihak berwajib untuk memprosesnya. Beres, kan?” ucapnya dengan diakhiri menengadahkan kedua tangannya. Terdengar mudah, tetapi bisa berakibat panjang.Bagaimana aku menghadapi Dewi, kalau aku yang menjebloskan suaminya. Apalagi mereka sudah mempunyai anak. Apa tidak justru menimbulkan masalah baru? Terus apa yang akan dikatakan oleh orang tua Dewi?“Semua pasti ada akibat yang tidak kita harapkan. Harusnya, itu dipikirkan Patrick sebelum bertindak. Bukan justru Pak Kusuma yang memikirkan keluarganya?”“Benar ucapanmu. Itu
Gila! Itu sebutanku untuk kenekatan Tiok. Aku saja tidak terpikirnya seekstrim itu. Seperti dalam film-film, laki-laki ceking ini membeberkan rencananya.“Apa ini tidak termasuk penculikan?” tanyaku dengan memberikan tatapan kawatir. Niat baik kalau jalannya tidak tepat, sama saja itu tidak benar. Bisa-bisa kita kesasar.“Jangan pakai kosa kata penculikan, Pak. Kita gunakan istilah acara kejutan. Seperti gaya anak sekarang yang memberikan kejutan ulang tahun dengan menutup mata. Tidak jauh beda, kan?”Aku tertawa mendengar ucapannya yang memaksakan persamaan istilah. Aku katakan berbeda, tapi dia bersikukuh kalau itu sama. Ternyata ada orang yang lebih ngeyel dibandingkan aku.“Aku tidak mau ada korban, atau keributan.”“Siap! Kita hanya meminjam waktunya sebentar. Itu pun setelah acara selesai. Saya akan gunakan cara halus. Tidak ada tonjokkan, apalagi tendangan. Semua akan damai seperti harapan Pak Kusuma,” tambahnya sambil tertawa.Ya udah. Aku setujui rencananya. Yang aku butuhkan