“Siapa ini? Kenapa Mas Suma mencari identitas laki-laki ini?” Aku bergumam sambil berpikir.Aku mendapati sesuatu yang mengejutkan. Jemari ini menemukan riwayat pencarian Mas Suma di internet. Semuanya tentang orang ini. Mas Suma bukan laki-laki yang ingin tahu tentang orang lain, apalagi tidak mengenal.Tunggu sebentar! Bukankah foto ini mirip dengan sketsa wajah yang disodorkan penyidik kapan hari yang lalu? Aku mengambil ponselku dan menyocokkan foto dan gambar itu. Sangat mirip.Ini menandakan suamiku sudah mengetahui tersangka penculikan selain Catherine. Pasti Mas Suma mempunyai rencana sendiri, buktinya tidak mengatakan kepada kami apalagi ke pihak berwajib. Dan kalau aku bertanya sekarang, bisa dipastikan dia akan merubah langkah. Lebih baik aku diam dan mengamati apa yang akan dilakukan.“Kangen aku sama mereka! Kita pulang sekarang!” seru Mas Suma mengagetkan aku.Duh, bagaimana ini?Terlalu konsentrasi memperhatikan ponsel, sampai tidak menyadari kalau dia datang. Secepatny
Secepatnya aku berganti jubah mandi, dan menghidupkan air bath tub. Baru kemudian membuka pintu.“Kamu belum selesai?” tanyanya sambil mengernyitkan dahi. Aroma kecurigaan menguar dari wajahnya.Pintu aku buka sedikit, dan kami berbincang terhalang pintu. “Aku baru masuk. Trus Mas Suma ketuk pintu.”“Tidak ada yang kamu sembunyikan, kan?” Matanya menunjukkan tatapan menyelidik. “Atau…kamu mempersiapkan kejutan untukku?” “Eeem…. Sudah tahu begitu, masih bertanya,” jawabku sambil mengerjapkan mata, seolah mengiyakan yang ada di pikirannya.Tidak ada pertanyaan lagi. Tertinggal tatapan mata yang tidak terlepas dari diri ini. Keningnya masih berkerut, menandakan otaknya masih memikirkan sesuatu.Hmm…kalau dibiarkan, bisa jadi pemikirannya semakin jauh dan mendapati apa yang aku sembunyikan. Sejujurnya, menyembunyikan sesuatu dari Mas Suma membutuhkan tenaga ekstra.“Tidak ada lagi, kan? Aku mau mandi.” Tanpa menunggu jawabannya aku menutup pintu. Namun, dengan cepat tangannya mencegah n
Kata ‘nanti lagi’ dengan penafsiran yang abigu, hanya berhenti pada piring yang kedua saja. Tidak ada tuntutan ‘nanti lagi’ yang lain, karena Pak Tiok sudah datang dan menyandera waktu Mas Suma.Dia datang seperti janjinya. Dengan dalih menjenguk Mas Suma yang baru keluar dari rumah sakit. Pria yang berbalut pakaian santai dengan rambut panjang yang diikat rapi ini, melakukan tanpa menyinggung namaku.“Sudah makan?”“Barusan dari rumah Kalila. Ini perut sampai kekenyangan.” Dia menunjuk perut dan senyuman yang menyebabkan mata semakin menyipit.Senang rasanya. Akhirnya hubungan mereka mulai dekat. Memang belum ada rencana undangan peresmian, tetapi makan bersama merekatkan hubungan. Dari urusan perut, mengukuhkan perasaan hati.“Sudah mulai yakin, Pak Tiok?” ucapku melontarkan godaan.“Dalam proses. Pingin segera mengejar ketertinggalan,” serunya disambut tawa Mas Suma.Kami bertiga berbincang sebentar. Kemudian aku tinggal untuk menyiapkan minuman dan camilan untuk mereka. Bisa dipa
Tidak ada masalah yang diselesaikan dengan dasar kebencian. Kalaupun iya, itu hanya terlihat padam di permukaan saja. Seperti bara di dalam sekam, suatu saat akan berkobar kembali.Aku tidak mau hal itu terjadi.Apapun masalahnya, harus dihentikan sampai di sini. Aku tidak mau anak keturunanku menuai masalah akibat langkahku yang tidak tepat. Karenanya, aku langsung menolak usulan Tiok.“Kita kasih umpan dia supaya menunjukkan diri tanpa diminta. Kemudian serahkan ke pihak berwajib untuk memprosesnya. Beres, kan?” ucapnya dengan diakhiri menengadahkan kedua tangannya. Terdengar mudah, tetapi bisa berakibat panjang.Bagaimana aku menghadapi Dewi, kalau aku yang menjebloskan suaminya. Apalagi mereka sudah mempunyai anak. Apa tidak justru menimbulkan masalah baru? Terus apa yang akan dikatakan oleh orang tua Dewi?“Semua pasti ada akibat yang tidak kita harapkan. Harusnya, itu dipikirkan Patrick sebelum bertindak. Bukan justru Pak Kusuma yang memikirkan keluarganya?”“Benar ucapanmu. Itu
Gila! Itu sebutanku untuk kenekatan Tiok. Aku saja tidak terpikirnya seekstrim itu. Seperti dalam film-film, laki-laki ceking ini membeberkan rencananya.“Apa ini tidak termasuk penculikan?” tanyaku dengan memberikan tatapan kawatir. Niat baik kalau jalannya tidak tepat, sama saja itu tidak benar. Bisa-bisa kita kesasar.“Jangan pakai kosa kata penculikan, Pak. Kita gunakan istilah acara kejutan. Seperti gaya anak sekarang yang memberikan kejutan ulang tahun dengan menutup mata. Tidak jauh beda, kan?”Aku tertawa mendengar ucapannya yang memaksakan persamaan istilah. Aku katakan berbeda, tapi dia bersikukuh kalau itu sama. Ternyata ada orang yang lebih ngeyel dibandingkan aku.“Aku tidak mau ada korban, atau keributan.”“Siap! Kita hanya meminjam waktunya sebentar. Itu pun setelah acara selesai. Saya akan gunakan cara halus. Tidak ada tonjokkan, apalagi tendangan. Semua akan damai seperti harapan Pak Kusuma,” tambahnya sambil tertawa.Ya udah. Aku setujui rencananya. Yang aku butuhkan
Saat anak kita beranjak dewasa, yang dia butuhkan pada orang tua adalah teman bicara. Dia sudah mampu berpikir dan memutuskan sesuatu. Tidak tepat kalau sebagai orang tua kita mengatur ini dan itu. Walaupun dengan dalih kasih sayang.Sambil berpikir apa dan kemana biduk catur ini dijalankan, kami berbincang santai. Kali saling melontarkan candaan, bahkan ejekan. Terlebih saat aku lontarkan pertanyaan tentang teman perempuan.“Jadi Wisnu sampai sekarang tidak pernah pacaran?” tanyaku dengan tatapan menyelidik. Aku tahu Maharani begitu keras mendidik anaknya, tapi kadang anak laki-laki semakin dilarang justru tergoda untuk melanggar.Dia menggeleng, kemudian mengambil kue kering yang ada di toples.“Beneran? Papi tidak akan bilang Mama. Ini rahasia kita,” desakku sambil mencondongkan tubuh ini ke depan.Dia justru tertawa dan melontarkan tuduhan. “Papi mau jadi mata-mata Mama, ya?’“Untuk apa? Papi Cuma heran, cowok sekeren kamu kok tidak laku.”“Siapa bilang tidak ada yang naksir Wisnu
Waktu itu bersifat relatif. Makanya muncul istilah dilatasi, jarum jam akan terlihat berbeda kecepatan di mata orang yang berbeda aktifitas.Seperti sekarang ini. Aku merasa waktu bergulir dengan cepat. Ngobrol bersama dengan Tiok, kemudian berlanjut nongkrong bareng bersama Wisnu.“Lama sekali?” ucap Maharani yang sudah bergelung dengan selimut. Matanya terlihat berat, dan menatapku sejenak. Kemudian dia tertidur kembali.Syukurlah. Untung saja dia tertidur kembali. Jadi aku terbebas dari cecaran pertanyaan.Aku mendesah pelan. Menatap wajah istriku yang tertidur pulas, melempar ingatanku di masa lalu. Saat memperjuangkan dia untuk menjadi milikku.Saat itu, sempat beberapa orang mencibir. Sebegitu gilanya aku terhadap Maharani yang notabene sebagai pekerja rumah tangga di rumahku. Seperti tidak ada perempuan lain yang layak untuk dinikahi.Bahkan ada lontaran sadis, yang mengatakan Maharani si pembantu rumah tangga menjebak majikan. Slentingan semakin parah saat tahu dia seorang jan
Seorang istri memang tempat berbagi suka dan duka, terlebih saat ada masalah. Namun, itu tidak menurutku. Kalau dihitung jumlah masalah yang aku miliki, melebihi jumlah bulu di tubuhku. Perbandingannya berlebihan, ya?Bukannya tidak percaya. Aku tidak ingin membebani Maharani dengan masalah yang tidak seharusnya dia tahu. Bisa jadi, sifat kawatir yang berlebihan akan mengganggu keseharian yang harusnya damai dan tentram. Apalagi aku tahu, otaknya sering berjalan liar dan menimbulkan pemikiran yang aneh-aneh.Aku lebih suka melihat wajahnya yang tersenyum, dan damai. Dari pada menunjukkan kening berkerut karena memikirkan masalah laki-laki. Seperti sekarang ini. Mataku terbuai menatap wajah yang masih tertidur pulas.“Suma, kecantikan perempuan itu bukan muncul saat berdandan. Tetapi saat tidurlah kecantikannya yang sebenarnya,” ucap Mamiku dulu.Saat itu aku bingung mencari pasangan hidup. Bagaimana tidak bingung, semua model orang cantik ada di sekelilingku. Terus, kalau mengikuti pe