Ada aura kecemburuan yang menguar dari sikap dan ucapannya. Aku tidak boleh terikut dengan apa yang ditunjukkan.Kutunjukan senyuman, kemudian menutup bacaan yang belum terselesaikan. Sejujurnya aku malas berjumpa apalagi bicara dengannya, apalagi dengan keadaan seperti sekarang.“Kamu bicara apa?” tanyaku berusaha bersikap tenang.“Saya pikir, ucapanku begitu jelas untuk wanita yang pintar sepertimu. Aku tahu, cinta pertama memang sulit untuk dilupakan.” Kali ini dia berkata sambil tertawa sinis.“Duduk dulu Wulan. Mau minum apa?”Kalau mengikuti kata hati, wanita di depanku ini pasti habis aku lumat. Semenjak perselingkuhan Mas Bram dengannya aku dapati, tidak pernah sekalipun aku mengumpat atau bersikap kasar kepadanya. Bahkan, mereka sempat aku undang ke rumah saat Wisnu ulang tahun.Bagiku, perselingkuhan menandakan cinta dan janji Mas Bram sudah tidak murni lagi, dan itu aku tidak mau.“Saya ke sini untuk mencari Mas Bram. Suami saya,” ucapnya dengan penekanan di kata terakhir.
Aku menatap kepergian Mas Bram. Dengan berlari kecil dia menyebrang jalan menuju hotel dimana Wulan menunggunya. Bagaimana pun sikap seorang lelaki, saat didatangi istrinya pasti akan bersikap seperti itu.Hmm…. Aku tersenyum sendiri. Memang cinta kami dulu merupakan cinta pertama, tapi pelabuhan terakhir akan menjadi pemenang dan yang utama.“Ran, kamu tadi sengaja mengatakan kita janjian?”“Iya, Pak Tiok. Kalau tidak, Mas Bram akan bersikukuh mengantarku pulang. Aku tidak mau ada kesalahpahaman. Ini saja, istrinya sudah mendatangiku.”Aku menarik tempat duduk, kemudian memanggil pelayan.“Saya coklat panas dan roti lapis yang itu, ya,” pintaku kemudian mendudukkan diri. “Pak Tiok pesan apa?”“Saya kopi hitam tanpa gula ya, Mas.”Pak Tiok memandangku sebentar, kemudian tersenyum simpul seakan menyembunyikan sesuatu.“Jadi perempuan susah ya, Ran. Begini salah, begitu salah. Selalu ada yang dianggap tidak benar,” seru Pak Tiok sambil melepas ikatan rambutnya dan merapikan kembali.“S
“Mau barengan pulang denganku?’Tawaran yang membuatku gamang. Lepas dari Mas Bram, dan sekarang di depanku ada Pak Tiok. Tidak mau aku ada kesalahpahaman pada Mas Suma. Memang, suamiku memperbolehkan aku bergaul dengan lelaki di depanku ini. Namun, untuk dua jam perjalanan berdua saja apakah ini menjadi alasan Mas Suma marah?“Kawatir dengan Pak Suma?” celetuknya dengan tertawa mengejek. “Satunya takut sama istri, sekarang ada istri takut suami. Ini alasan yang membuatku malas untuk menikah lagi.”“Itu Pak Tiok tahu. Saya naik travel atau minta Pak Maman jemput saja.”“Jangan kawatir. Aku menemui Bu Rani, juga karena misi titipan Pak Suma.”“Misi?” tanyaku sambil mengernyit. Sudah kuduga, tidak mungkin Pak Tiok ke sini dan kebetulan bertemu.“Eit, jangan curiga dulu! Aku ke kota ini memang janjian dengan Mas Obet. Tapi, kebetulan Pak Suma meminta saya untuk menemuimu. Siapa tahu membutuhkan pertolongan.” Pak Tiok buru-buru menjelaskan. Mungkin karena melihat kedua alisku yang mulai b
Rasa cinta yang berangkat dari rasa kasihan, merupakan pintu masuk yang paling indah. Karena ini tidak menitikberatkan pada keindahan yang bersifat semu.*Mata ini memindahi laki-laki di sampingku. Sosok yang hampir bernilai sempurna. Secara fisik sudah melebihi kata cukup.Walau tidak muda lagi, tetapi tubuhnya tinggi dan tidak ada gumpalan lemak yang menandakan seorang om-om. Wajahnya apalagi. Di bingkai dengan rambut lurus sebahu dan mata sipit tetapi berkulit gelap. Secara kepintaran juga melebihi laki-laki pada umumnya. Dia lulusan S2 dari Eropa yang menunjukkan seberapa kualitasnya.Dan, yang paling aku acungi jempol, dia memiliki hati yang baik. Aku saksinya.Namun, apa yang dia miliki tidak membuatnya cukup berani untuk menjalin hubungan serius dengan perempuan. Selalu ada kata ‘tapi’ di setiap alasan.“Pak Tiok kenapa kasihan dengan Kalila saja. Banyak perempuan di luar sana yang teraniaya. Bahkan melebihi penderitaan Kalila,” cetusku sambil melihat perubahan raut wajahnya.
Seperti orang linglung, aku terdiam tidak tahu harus berbuat apa. Pikiranku kosong, bahkan apa yang dikatakan Bik Inah dari seberang saja, tidak aku tangkap dengan jelas. Yang ada di pikiranku, Tias susternya Danish kecelakaan. Bukankah dia bersama Amelia? Terus, bagaimana dengan anakku itu?“Ada apa, Ran?!” Suara keras Pak Tiok mengagetkan aku, menyadarkan dari pikiran jelek yang bergulir di kepala ini.“Amelia. Amelia dan suster kecelakaan,” sahutku. Aku menatapnya dengan tatapan kecemasan, tangan ini pun meremat erat ujung baju, mengurai resah yang mulai membuncah ini.“Tenang, ya. Setelah keluar jalan tol, kita sudah dekat dengan rumah,” serunya, kemudian menambah kecepatan, dan kembali memusatkan pada jalanan yang mulai memadat.Sedangkan aku, sibuk menata hati yang gundah. Apalagi, semua ponsel tidak bisa dihubungi. Pak Maman, Amelia, bahkan nomor ponsel Satpam. Aku menyerah, dan berakhir dengan menatap jendela mobil sambil melantunkan doa agar semua baik-baik saja.Kepadatan
Sahabat itu saudara yang tidak terikat dengan darah. Perhatian mereka tidak hanya sebatas saat kita senang, justru dalam keadaan susah yang menunjukkan kadar ketulusan mereka.Sepert saat ini, saat Mas Suma tidak ada di rumah, Pak Tiok dan Dokter Hendra menjadi sandaranku. Mereka mengambil alih urusan yang berhubungan dengan peristiwa ini. Dokter Hendra fokus dengan korban kecelakaan, sedangkan Pak Tiok melakukan penyelidikan dan pengamanan di rumah.Sesampai di rumah sakit, aku langsung disambut Dokter Hendra. Dia menjelaskan keadaan Amelia yang baik-baik saja, sedangkan Tias sudah stabil tetapi membutuhkan perawatan lebih lanjut. Benturan di kepala mengharuskan dia menjalani banyak test untuk memastikan dia baik-baik saja.“Tolong kasih perawatan yang terbaik untuk Tias.”“Iya, Ran. Dari mereka datang, aku sudah berusaha yang terbaik mungkin. Kalian ini sudah menjadi tanggung jawabku, jadi jangan kawatir. Apalagi Suma tidak ada di tempat, kan?”Mendengar dia menyebut nama suamiku, k
Belum aku menyampaikan yang ada di pikiranku, ponselku dengan panggilan nomor luar negeri masuk. Nomor yang biasanya digunakan oleh Mas Suma.“Rani! Kamu baik-baik saja!” serunya saat aku membuka layar ponsel. Wajah Mas Suma menunjukkan kekawatiran yang sangat. Apa dia tahu kecelakaan ini?“Aku baik-baik saja, Mas. Tapi—““Tapi, apa?”Belum aku sempat menjawab, dia langsung mencecar pertanyaan. Apalagi setelah mendengar suara Dokter Hendra, dan mungkin melihat di belakangku terlihat bukan ada di rumah.“Kamu ada dimana? Tidak ada di rumah, ya? Di rumah sakit? Kok ada suaranya Hendra?!”“Iya. Aku ada di rumah sakit Dokter Hendra.”“Jadi yang foto yang mereka kirim itu benar? Kalian mengalami kecelakaan?!” seru Mas Suma.DEG!Foto? Maksudnya apa? Spontan aku menoleh ke arah Dokter Hendra. Kemudian dia bergabung berbicara online dengan kami.“Coba kamu lihat file yang aku send. Itu yang mereka kirim kepadaku!” Mas Suma menunjukkan wajah tegang.Mas Suma mengirim ke ponsel Dokter Hendra.
“Aku curiga, pelakunya sama dengan yang sebelumnya.” Ucapan Mas Suma yang mematik otakku bergulir liar dengan kejadian yang belum terungkap. Kejadian yang terbersit saat Dokter Hendra bertanya tadi. Ya, orang yang menerorku dengan mengirim foto-foto Mas Suma yang menyebabkan aku berburuk sangka. Sekaligus, orang yang menipu perusahaan dengan berpura-pura menjadi investor dan berujung dengan pemotretan di ranjang. POV Kusuma Hati ini merasa ada yang hilang dan kurang saat jauh dari keluarga. Saat kerinduan akan rumah terbersit, aku mencium syal yang selalu tersematkan di leher ini. Begitu juga saat lelah ataupun pikiran ini penat. Membauinya, melemparkan pikiran ini merasa berada di dekatnya. “Tuan Kusuma, syalnya sudah saya sisihkan, dan saya letakkan di dekat pakaian yang akan dikenakan besuk,” ucap Desi sekretarisku, saat aku mencari baju yang aku pakai sebelumnya. Dia tidak hanya handal dalam pekerjaan, tetapi mengerti apa yang aku sukai. “Kamu tahu aja. Jangan di loundry, ya