Terima kasih banyak sudah membaca karya saya. . Jangan lupa untuk terus membaca cerita ini dan daptkan keseruan baru di kehidupan Maharani dan orang-orang tersayangnya. . Mampir juga ke karya saya yang lainnya. Terima kasih
Seketika aku mengenyit sambil tersenyum tersipu. ‘Segitu kangennyakah dia padaku? Ternyata kerinduanku tersambut.’ “Berarti kita hanya berdua saja?” tanya Mas Suma sembari melepas kancing lengan dan menggulungnya sampai siku. Tanpa melihat ke arahku, dia duduk di kursi dan membuka laptop. Aku memperhatikan apa yang dilakukan, ketika dia mengambil flash disk dari kantong saku celana. “Ini rekaman CCTV yang pasti membuatmu percaya kalau aku suami yang setia,” ucapnya lagi dengan perhatian ke layar laptop yang sudah menyala. Ternyata, dia menyeretku masuk ke kamar dengan tergesa untuk ini. Senyumku terbit dengan sendirinya dengan kedua pipiku yang menghangat. Aku pikir dia sudah tidak sabar untuk berduaan denganku. Namun, apa yang diupayakan tidak kalah manisnya. Dia berusaha untuk tetap mendapatkan kepercayaan utuh dariku. Apalagi kalau bukan alasan cinta dan tidak mau berpisah denganku. Iya, kan? “Ran …. Kamu kok diem saja dari tadi? Ini aku mendapatkan bersama Pak Tiok. Apa dia s
“Mas Suma, perutnya bunyi. Laper, ya?” bisikku sembari mendongakkan kepala. Berusaha melepaskan diri dari kungkungan yang menenggelamkan aku di dadanya yang masih lembab karena keringat. Sebenarnya aku masih merasa nyaman mengurai rasa lelah yang mendera sembari menyesap bau keringatnya. Namun, protes yang keluar dari perut suamiku ini menandakan dia belum sempat makan dan terburu dengan menyambut niatku yang sudah mematik hasratnya. Bukannya menjawab, dia justru menyambutku dengan ciuman. Menenggelamkan diri ini pada sentuhannya yang begitu dalam, dan bergelung berdua di balik selimut. Seakan masih tersisa dahaga, akupun ikut terhanyut dengan senyuman. Setelah tadi aku berkata jujur kalau sebenarnya yang aku katakan hanya sekadar alasan, tanpa buang waktu dia melepas hasrat yang tertahan. “Kamu nakal, ya. Ngerjain aku sampai kepala ini pusing. Sekarang, kamu harus terima hukumannya,” bisiknya dan kujawab dengan kerlingan mata. Rasa rindu dan akibat kesal yang mendera beberapa wak
Hubungan kami seakan menjadi baru kembali. Seperti dahan yang pernah patah, sekarang tumbuh tunas-tunas baru yang menandakan cinta kami tak lekang karena masalah yang mengharu biru. Bahkan, Mas Suma memberi instruksi ke kantor untuk tidak menghubunginya selama satu minggu. Kecuali dalam keadaan terpaksa tentunya. “Apa ini tidak apa-apa? Bukankah perusahaan lagi membutuhkan kehadiran Mas Suma?” ucapku melayangkan protes terhadap tindakannya. Membayangkan ini berakibat pada kehidupan para karyawan, aku tidak tega. Mereka sudah mempunyai keluarga yang kebutuhan sehari-harinya tidak bisa ditangguhkan. Iya kalau suamiku karyawan biasa, tinggal minta izin dengan resiko potong gaji. Sedangkan Mas Suma pemilik sekaligus pimpinan yang istilahnya berkedip saja, bisa mengakibatkan masalah besar. “Ran. Kalau melihat mana yang penting, semuanya penting dan membutuhkan kehadiranku. Tapi, sekarang kelangsungan keluargakulah yang menjadi prioritas. Aku tidak mau menua dan tenggelam pada pekerjaan.
Aku tidak bisa melepaskan diri dari Mas Suma. Seharian dia membersamaiku, entah saat bersama anak-anak, di kamar, bahkan dia pun ikut sibuk saat aku di dapur.“Ternyata memasak itu menyenangkan, ya? Aku siap membantumu,” ucapnya sambil memotong sayuran.Keberadaannya bukannya mempercepat pekerjaanku, dia justru membuatku terhambat. Bagaimana tidak, dia memotong kacang panjang dengan membawa penggaris. Katanya biar hasilnya presisi. Belum lagi, mengupas bawang merah dan membersihkan cabai menggunakan kaca mata hitam. Demi keamanan, katanya.Huuft, bikin kesal saja.Belum kalau sudah mulai merecoki di depan kompor. Katanya ingin membantu mengaduk tumisan. Bukannya sibuk dengan spatula, justru dia asyik menggangguku. Entah dengan mencolek, memeluk, bahkan mencium.Beberapa kali, mbak asisten yang biasa membantuku akan mendekat. Namun urung karena keberadaan Mas Suma ini. Kalau seperti ini, bisa jadi kami kelaparan karena masakan tidak cepat matang.“Mas Suma duduk aja sana. Ini bisa goso
Suamiku ini memang mempunyai sikap yang memaksa dan susah untuk dibantah. Seringkali bersikap konyol dan membuat hati ini menjadi kesal. Ya, memang itu bawaan dia, dan aku sudah mengetahuinya semenjak sebelum pernikahan. Walaupun, dibalik sikapnya itu terselip sisi romantis yang membuat hati ini menghangat. Juga, bukankah pernikahan kami juga terjadi karena sikapnya yang tidak terbantahkan. Kalau tidak, aku yang seorang penuh kebimbangan tidak akan bisa membulatkan tekad untuk berbahagia dengannya. Aku bisa bernapas lega saat Wisnu sudah kembali dari kelurahan dan membawa bahan diskusi untuk dibicarakan. Karena ada Mas Suma, dia lebih banyak bicara dengan papi sambungnya itu. “Ini lebih ke pemasaran, Pi. Jadi Wisnu minta saran Papi saja, deh,” ucap Wisnu mencegah niat Mas Suma beranjak dari tempat duduk. Kalau sudah diminta untuk bicara, Mas Suma pasti melakukan dengan senang hati. Dia paling suka berbagi ilmu dan pengetahuan, terutama kepada Wisnu. “Berbagi ilmu dengannya, sama
Kalau aku mencari apa yang tidak ada padanya, maka aku akan selalu merasa kekurangan. Namun, ketika aku bersyukur dengan semua yang ada padanya, kupastikan hati ini berlimpah kebahagiaan. * Aku bergegas berganti pakaian sambil tertawa sendiri, mengingat adegan salah maksud ini. Kata olah raga yang diterjemahkan pikiranku memiliki arti terlalu jauh. Padahal, sudah terbayang bagaimana kami akan bergelung bersama di balik selimut. Huuft! Untung saja Mas Suma tidak menyadari kekeliruanku ini. Namun, bukan kesalahanku sepenuhnya, kan. Seumur-umur, tidak pernah suamiku itu mengajakku berolah-raga di sore hari ini. Apalagi di kampung yang hanya mendapati orang olah raga hanya saat hari minggu pagi. Itu pun jarang. “Mama! Kita sudah siap!” sambut Amelia dengan wajah sumringah. Dia juga sudah bersiap dengan menggunakan baju training berwarna merah. Kalau dia paling antusias dengan rencana Mas Suma yang diluar kebiasaan ini. “Mas, apa tidak aneh kita olah raga sore hari gini. Ini kampung,
Jalan yang kami lewati sudah memasuki kawasan persawahan. Masih saling bergandengan tangan, kami disambut udara sejuk yang tertiup dari hamparan hijau yang terhampar.Sesekali kami mengangguk menyapa para petani yang bersiap menyudahi pekerjaannya. Mereka membersihkan diri dan peralatannya di parit kecil yang mengalirkan air begitu jernih. Noda lumpur menandakan harapan aka hasil panen yang diharapkan melimpah. Senyuman hangat ditujukan kepada kami dengan hati yang tulus.“Tuh, lihat mereka yang terlihat sehat. Itu karena mereka bekerja dengan menggerakkan badan. Berbeda dengan kita yang badannya jarang bergerak, sedangkan kepala diperas habis-habisan. Makanya, untuk mengimbangi, kita harus sering-sering olah raga seperti ini,” seru Mas Suma sambil mengedarkan pandangan ke sekeliling.Dari kejauhan, tampak Amelia dan Wisnu melambaikan tangan. Mereka loncat-loncat sambil melambaikan tangan.“Mereka kenapa?” tanyaku heran.“Tunggu saja. Di sana sudah ada kejutan yang menunggu,” ucap Mas
Aku tersenyum melihat gaya tidur suamiku ini. Belum lama dia memberikan wejangan untuk mengurangi tidur siang dan menggantikan dengan olah raga, eh, ternyata dia berakhir dengan terkapar dengan mulut terbuka. Hmm… usia sering kali menghianati keinginan. Inginnya setelah olah raga menikmati alam terbuka di tengah sawah ini, tapi tidak mampu menolak godaan merajut mimpi. Apa justru sekarang ini wujud kenikmatannya. Tertidur dalam belaian udara sejuk di sela kicauan burung sebagai pengantarnya? Perlahan, aku katupkan rahang Mas Suma. Gerakan sepelan mungkin supaya tidak mengusik tidurnya. Dia memeng terkadang menjengkelkan, tapi waktu terasa kurang saat dia tidak ada di sisiku. Menatap wajahnya yang mulai dihiasi kerutan, dan beberapa rambut putih yang menyeruak di sela warna hitam, pertanda tambahnya usia. Ini menyadarkan aku bahwa kami sudah mengarungi kebersamaan dalam perkawinan dalam waktu yang tidak sebentar. Apalagi yang akan dicari, selain kebahagiaan? Kami sudah tidak muda l