Akhirnya Nada pun kembali membuat penantian Tama tidak sia-sia.Bahkan harus mendengarkan penjelasan Nada yang lagi-lagi begitu membingungkan. "Apa sudah selesai?""Hehe," Nada pun cengengesan."Sudah bisa peluk?" Tanya Tama lagi menggoda Nada.Nada pun mengangguk yakin, bibirnya terus saja tersenyum bahagia karena sudah menjadi seorang istri.Hingga akhirnya Tama pun melingkarkan tangannya pada pinggang Nada."Kenapa tegang sekali?" Tanya Tama."Mas, katanya malam pertama itu sakit. Beneran nggak sih?" Nada pun tersenyum kecut setelah bertanya pada Tama, rasanya cukup menegangkan sekali.Hingga Tama pun tertawa mendengar pertanyaan Nada.Ya tetapi, sampai di sini Tama semakin yakin jika istrinya itu benar-benar masih ting-ting.Meskipun sebenarnya Tama tidak perduli pada itu semua, bagi dirinya keperawanan tidak penting karena dirinya juga sudah menyandang status janda.Bahkan ranjang bukan lagi menjadi hal aneh baginya, tetapi semenjak sekarang ini dirinya sudah berjanji akan melup
"Wah, gimana malam pertanyaannya bro," Fikri pun menghampiri Tama yang duduk di sofa yang ada di depan kamarnya.Wajah Tama tampak kesal, di pagi hari ini. Bukankah seharusnya bersinar terang seperti matahari yang sedang menyinari bumi atau mungkin karena malam pertanyaannya gagal.Padahal sudah tidak tahan, namun pinggangnya malah sakit karena ranjang yang roboh."Semangat dong ya?" Tanya Kenan yang juga ikut bergabung.Ketiganya sudah tidak lagi asing, sehingga jika pun menjadi keluarga seperti inipun tidak lagi ada sesuatu yang harus diperkenalkan."Apa baik-baik saja? Seharusnya begitu ya?" Tambah Fikri lagi dengan perasaan puas mengejek Tama habis-habisan.Hingga akhirnya Tama pun menatap Kenan dan Fikri dengan perasaan curiga.Apakah mungkin dua orang itu yang membuatnya menjadi seperti ini?Sial."Ada apa? Kenapa kau menatap kami begitu?" Tanya Kenan."Tau, nih kami tidak ada hubungannya dengan ranjan mu itu," tambah Fikri.Setelah itu Fikri dan Kenan pun tertawa, sementara Tam
"Mas, kita main di pinggir pantai yuk," Nada sudah bersemangat saat sampai di Bali.Lama tidak berlibur membuatnya menjadi lebih baik saat ini, belum lagi bermain ombak adalah sebuah kesenangan tersendiri baginya.Bahkan saat ini begitu berbunga-bunga hanya karena Tama membawanya berlibur."Nanti saja, kita main di sini saja dulu," jawab Tama dengan santai.Nada pun melihat sekelilingnya, tampak tidak begitu menarik.Sebab, di luar sana pantai jauh lebih menarik, mengapa juga harus berada dalam hotel, kenapa bukan tempat yang lebih terbuka saja.Nada benar-benar tidak mengerti."Mas, mau main apa di sini?" "Tangkap nyamuk," jawab Tama sambil menahan tawa.Tau apa yang kini Tama rasakan? Dirinya seperti sedang membawa bocah, kemudian berpikir untuk melakukan sebuah kejahatan.Padahal bocah itu adalah istrinya sendiri, inilah ternyata sikap asli istrinya itu.Tetapi, Tama yakin seiring dengan berjalannya waktu Nada pasti akan berubah menjadi lebih dewasa.Selama ini Adam sangat membata
Tama pun tersenyum melihat wajah Nada yang tampak begitu lelah.Lelah karena sudah merasakan apa itu puncaknya sebuah kepuasan."Mana selimutnya," Nada pun menarik selimut untuk menutupi tubuhnya.Entah kapan Tama melepas semuanya, bahkan Nada pun baru menyadarinya.Sungguh sangat memalukan sekali, mengapa bisa tanpa sehelai benang pun di hadapan Tama."Aku sudah melihatnya," Tama pun langsung ikut masuk ke bawah selimut, memeluk Nada dengan eratnya."Mas, malu tau.""Kenapa malu? Kita sudah menikah.""Ya, tapi malu!""Ahahahhaha....""Kok ketawa sih?""Nggak papa, tapi rasanya yang tadi enakkan?"Wajah Nada pun memerah kemudian menggelengkan kepalanya."Benarkah?" Tama pun tersenyum menggoda istrinya tersebut."Apa sih!" Kata Nada berusaha untuk menepis apa yang dipikirkan oleh Tama.Meskipun sebenarnya benar barusan merasakan sesuatu yang begitu nikmat hingga Nada pun sejenak seakan lupa dengan segalanya."Nggak papa," Tama pun semakin erat memeluk Nada, bahkan tidak ingin melepas.
Nada pun langsung tertidur pulas setelah merasa cukup lelah, hingga akhirnya pada sore harinya Nada pun terbangun dengan perasaan perutnya yang lapar."Kamu udah bangun?" Nada pun mengangguk."Sekarang kamu mandi ya, kita harus kembali ke Jakarta. Barusan, Papa memberitahukan kalau Mama di larikan ke rumah sakit. Keadaan Mama kritis," kata Tama dengan raut wajah yang tampak begitu serius.Nada langsung mengangguk dan melakukan apa yang dipertahankan oleh Tama, karena dirinya juga bisa melihat wajah Tama yang begitu khawatir. "Kamu kesulitan jalan?""Sedikit."Tama langsung mengangkat tubuh Nada dan menurunkannya pada bak mandi.Hingga terdengar suara ponsel Tama yang diletakkan di atas meja pun kembali berdering."Sayang, segeralah mandi. Mas, angkat telpon dulu ya," Tama pun mencium kening Nada.Kemudian segera keluar dari kamar mandi untuk menerima panggilan.Nada terdiam sejenak, merasa tidak nyaman. Entah mengapa perasaannya mendadak tidak menentu entah apa penyebabnya.Mungkin
Nada dan Tama pun sampai di Jakarta, keduanya langsung menuju rumah sakit dimana kini Mira sedang di rawat.Wajahnya tampak begitu pucat membuat perasaan Tama menjadi tidak karuan, antara takut kehilangan ibunya dan juga simpatik melihatnya.Tama sudah pernah melihat Mira yang terbaring lemah seperti ini, dan berharap tidak lagi menyaksikan kesedihan yang sama.Namun tidak, kali ini pun Mira masih juga mengalami hal yang sama.Sementara itu Nada sebagai seorang istri tampaknya dapat merasakan apa yang dirasakan oleh Tama saat ini.Dengan erat menggenggam tangan suaminya itu seakan memberikan sebuah kekuatan.Kini keduanya berdiri tegak melihat Mira di sana, seketika itu Tama mengingat kembali hal yang pernah diucapkan oleh Mira.Yang mengatakan bahwa dirinya ingin melihat kebahagiaan Tama terlebih dahulu sebelum tiada.Apakah itu yang kini terjadi pada Mira, tapi bagaimana dengan Tama yang belum siap kehilangan Mamanya.Dirinya juga ingin bahagia disaksikan oleh kedua orang tuanya."K
"Untuk apa kau datang ke sini?" Tanya Handoko pada Keyla yang tampak tidak mengharapkan kedatangan Keyla sama sekali.Keyla pun beralih menatap Handoko yang tampak begitu dingin menatapnya."Pa--""--Kau bukan lagi menantu di keluarga kami dan bahkan kami tidak mengharapkan kedatangan mu sama sekali!" Keyla pun terdiam saat mendengar apa yang dikatakan oleh mantan mertuanya tersebut, tetapi sesaat kemudian bibir Keyla pun tertarik pada masing-masing sudut bibirnya."Jangan sombong Pa, takutnya suatu hari anda yang malu sendiri," kata Keyla seakan dirinya begitu yakin."Sebaiknya kau pergi, karena kami sama sekali tidak membutuhkan kehadiran mu!" Tegas Handoko.Keyla pun tersenyum kemudian beralih menatap Mira, kemudian pergi begitu saja.Handoko pun tersadar dari lamunanya setelah Tama menyadarkannya.Handoko hanya sedang mengingat saat Keyla tiba-tiba datang menjemput istrinya beberapa saat lalu "Papa, memikirkan apa?""Keyla, kenapa dia datang ke sini?" Tanya Handoko lagi."Sepert
Kini Nada dan Tama pun sudah berada di apartemen, Nada mungkin tidak asing lagi dengan tempat tersebut.Karena sebelum menikah pun Tama pernah beberapa kali membawanya ke sana, sehingga dirinya sudah sangat tahu di mana kamar Tama."Mas, Nada ke kamar langsung ya.""Ya sayang," Tama pun tersenyum pada istrinya.Sementara itu Tama duduk di sofa dan membuka laptopnya.Pikirannya benar-benar bercabang memikirkan keadaan Mira.Tama pun memutuskan untuk melihat beberapa pekerjaannya, beberapa hari ini dirinya sibuk dengan Nada hingga membuat pekerjaannya terbengkalai.Namun, saat malam harinya Nada pun terbangun dari tidurnya.Ternyata Tama belum juga masuk ke dalam kamar.Membuatnya segera mencari keberadaan suaminya tersebut.Ternyata Tama masih duduk di sofa dengan laptop yang menyala."Mas," Nada langsung memeluk Tama dari belakang.Membuat Tama pun tersentak, mungkin karena terlalu fokus."Sayang, kamu kenapa bangun lagi? Tadi, Mas intip dari pintu kamu udah tidur, pulas banget. Kecap