Zahra mengerjapkan matanya, perlahan netranya mulai menatap sekitarnya. Menyadari diri di atas ranjang dan di bawah selimut, Zahra pun menarik napas lega."Untung cuma mimpi," Zahra bergumam dan merasa bahagia.Mimpi buruk yang baru saja di alami benar-benar seperti nyata, perlahan mendudukkan tubuhnya dengan rasa kepala yang sedikit pusing."Aku di mana ya? Ini bukan kamar aku?" Zahra baru menyadari bahwa dirinya berada di tempat asing.Namun, dimana?Zahra belum dapat menyimpulkannya."Kau sudah sadar?" Suara berat itu membuat Zahra tersentak, seketika menatap ke arah jendela mencari asal suara.Ferdian berdiri di sana, kemeja putih yang di lipat bagian lengannya dan dua kancing kemeja yang terbuka seakan menatapnya tajam."Kenapa anda berada di sini, Dok?" Tanya Zahra kesal.Tentunya tidak baik seorang wanita dan pria dalam satu ruangan hanya berdua saja, itulah yang dipikirkan oleh Zahra."Apa pernikahan tadi membuat mu amnesia?" Tanya Ferdian."Apa?" Pekik Zahra shock, "pernika
Di langit yang sama namun, tempat berbeda. Renata duduk termenung di sudut kamar. Menatap keluar dari jendela kaca yang masih terbuka lebar.Akhirnya setelah sekian Tahun kini kembali lagi ke rumah yang sama, rumah yang banyak menyisakan kenangan luka.Tidak ada yang berbeda dari sebelumnya, semua masih sama. Bahkan, pakaian miliknya yang dulu tertinggal masih tersusun rapi di lemari.Hanya saja Renata masih terlalu larut dalam bayang-bayang masa lalu, andai saja bisa mungkin Renata memilih tidak tinggal di rumah itu.Tetapi, apalah daya Mentari kini memilih berada di sana. Bersama sang Ayah dengan rasa bahagia tanpa mengetahui perasaannya.Setitik air mata Renata tumpah, kini pikirannya melayang mengarah pada Irma.Entah apa yang terjadi setelah dirinya memutuskan untuk pergi meninggalkan acara pernikahan yang sudah di persiapkan.Entah bagaimana keadaan Irma setelah itu, apakah masih baik-baik saja atau mungkin sudah terbaring lemah karena serangan jantung.Renata merasa serba suli
Pagi harinya Zidan terbangun, pertama kalinya dirinya langsung melihat ke samping.Ternyata Renata sudah tidak di sana, tampaknya sudah bangun lebih awal."Daddy," Mentari ikut terbangun setelah merasa ada pergerakan.Zidan tersenyum dan mencium kening Mentari, pagi yang begitu membahagiakan melihat dua Mentari secara langsung bersinar.Sinar Mentari putri kandungnya tidak kalah cerah dengan mentari yang bersinar di langit pagi ini."Daddy, gosok gigi dulu. Mau ngantor," Zidan bergegas turun menuju kamar mandi.Sedangkan Mentari kembali merebahkan dirinya, hingga akhirnya Renata memasuki kamar berniat ingin membangunkan putrinya."Anak Mom, sudah bangun?" Renata pun naik ke atas ranjang dan memeluk Mentari."Mom, hari ini Tari, ke sekolah di antar Dad?" Renata tidak tahu untuk itu, tetapi wajah Mentari terlihat begitu berharap. Entah apa yang harus Renata katakan pada putrinya itu."Mom?" Mentari menggerakkan lengan Renata hingga beberapa kali."Sama Mom juga bisa 'kan?" Tanya Renata
Siang harinya Mentari pulang dari sekolah di jemput oleh Mala, kini Mentari begitu bahagia bisa berkumpul dengan keluarga Daddy-nya.Bahkan hari ini Mala mengajaknya untuk mengunjungi Serena, setelah itu berlanjut malamnya mengikuti acara perayaan ulang tahun teman Mala dan Mentari masih di bawa juga.Seharian penuh Renata hanya di rumah saja, sibuk dalam pekerjaan rumah untuk melupakan traumanya tinggal kembali di dalam rumah tersebut.Setelah tidak ada lagi yang bisa di kerjakan Renata pun membersihkan diri, sejak pagi tadi baru sore menjelang malam dirinya membersikan tubuhnya.Setelah selesai mandi, Renata memilih berdiam diri di sudut kamar. Memeluk lututnya sambil menatap keluar.Sebenarnya tidak masalah jika menyalakan lampu, hanya saja saat semua tampak jelas Renata kembali mengingat kejadian kasar saat bersama Zidan dulu di tempat tersebut.Sehingga gelap adalah pilihan yang tepat, hingga tanpa sadar terlelap dalam duduknya sambil bersandar pada dinding.Sedangkan di lantai d
"Coba berikan aku sedikit cara agar kami bisa dekat kembali, agar Renata tidak menganggap dirinya asing untuk ku.""Baiklah, tunggu sebentar," Adam sejenak pergi kemudian kembali lagi dengan sebotol minuman."Kau gila!" Zidan seketika berdiri saat melihat Adam membawa sebotol minuman, Zidan tidak mungkin meminumnya dan pasti Renata malah membencinya."Kau dan Renata harus selayaknya suami istri, dan tunjukkan cinta mu padanya. Perhatian kecil sangat penting dalam berumah tangga," Adam pun memberikan minuman di tangannya pada Zidan, "minum!"Zidan menggeleng dan berusaha untuk menjauh, dirinya ingin berdamai dengan Renata bukan malah menciptakan masalah baru.Sedangkan apa yang di perintahkan Adam kini adalah masalah."Minum, sedikit tidak banyak goblok!" Geram Adam, "kau mau di tolong atau tidak?" "Iya, tapi-""Cepat, atau aku tidak bisa membantu mu! Sedikit saja!"Zidan menatap botol minuman yang diberikan oleh Adam."Kau yakin Adam?" Tanya Zidan masih dengan ragu."Jangan banyak, a
"Apa harus aku tiada terlebih dahulu agar kau paham aku juga punya hati dan perasaan? Apa harus, setelah aku tiada membawa Mentari baru kamu mengerti tentang keadaan ku yang lemah ini?" Tanya Renata di sela-sela tangisnya yang terdengar memilukan hati."Renata, jangan katakan itu lagi. Aku benar-benar sudah berubah, aku tidak lagi seperti dulu. Aku mohon jangan pergi tinggalkan aku, jangan pernah mencoba untuk nekat. Aku mohon," Zidan terus mendekap Renata dalam pelukannya, tidak ingin melepaskan walaupun hanya sedetik saja.Semua kerinduan yang di pendam Zidan tidak ingin melepaskan begitu saja, apa lagi di saat Renata masih menangis tanpa jeda."Sudah terlalu banyak air mata mu mengalir karena aku, tolong jangan lagi. Aku akan sangat bersalah, aku mohon," pinta Zidan.Semua kenangan seakan kembali berputar di kepala Zidan, saat awal berusaha mendekati Renata yang masih berstatus kekasih Adam.Sampai akhirnya Zidan menjebak Renata dengan minuman hingga tidak sadarkan diri, di saat it
Tangan Zidan terus meremas dua gunung kembar secara bergantian, hingga akhirnya menghisapnya secara bergantian pula.Zidan seperti seorang bayi yang kehausan, mencari asi dengan penuh kebahagiaan. Sejenak membuat tenggorokan yang kering menjadi basah.Setelah menikmati gunung kembar besar dan kenyal tersebut."Sssstttt......." Renata menggigit bibir bawahnya, menahan suara yang mungkin ingin keluar dengan kencangnya.Renata belum pernah diperlakukan dengan baik seperti saat ini, biasanya Zidan hanya mementingkan dirinya sendiri tanpa memikirkan dirinya yang menangis menahan sakit karena Zidan bermain kasar.Kali ini Zidan benar-benar menepati perkataan untuk menyentuhkan dengan lembut."Renata, tolong jangan minta aku untuk berhenti lagi, aku mohon," pinta Zidan sambil menatap manik mata indah Renata.Renata terdiam sambil menatap Zidan yang masih berada di atas tubuhnya yang terlentang, melihat raut wajah Zidan dengan penuh pengharapan.Renata pun menatap penuh pertimbangan."Aku moh
Pagi ini Serena mengunjungi kediaman kedua orang tuanya, sebenarnya tujuan utamanya ingin bertemu dengan Renata yang sudah kembali tinggal bersama Zidan.Serena tentunya bahagia, apa lagi keponakan nya yang lucu dan menggemaskan bisa membuatnya rindu berat."Tante, kapan datang?" Tanya Mentari saat melihat kedatangan Serena ke kamar barunya.Serena tersenyum dan mengusap pipi Mentari yang sangat tembem itu."Baru saja, Om Bayu sedang ada pekerjaan. Tante, hari ini main sama Tari, boleh nggak?" Tanya Serena dengan suara anak kecil agar lebih mudah dimengerti oleh Mentari."Boleh dong," Mentari tersenyum sambil menunjukan dua baris gigi ompong nya, seakan dirinya begitu bahagia menyambut kedatangan Serena yang diketahuinya sebagai adik dari Daddy Zidan."Mommy di mana? Di dapur ya?" Tanya Serena lagi ingin segera bertemu dengan Renata, setelah sekian lama tidak bertemu."Nggak tahu Tante, kan Tari juga baru bangun tidur.""Oh, iya. Tante lupa," Serena pun menepuk dahinya membenarkan jaw