"Hay, Kakak ipar," apa kabar," Serena mendekati Renata.Keduanya pun berpelukan layaknya wanita yang sudah lama tidak bertemu."Kamu udah lama di sini?""Sudah dari tadi. Nungguin kamu di sini, kata Mentari kamu di gigi serangga atau nyamuk ya?" Tanya Serena sambil melihat Renata dengan jelas.Renata memegang tengkuknya, dengan perasaan was-was."Nyamuk nakal itu," Mala menimpali sambil meletakkan buah di atas meja makan.Serena menatap Renata penuh intimidasi, kemudian kembali duduk di kursi meja makan."Tari, sarapan apa?" Renata beralih menatap Mentari yang sedang fokus pada makanannya.Mentari makan dengan lahap, terlihat begitu menikmati sarapan pagi nya."Nasi goreng buatan Oma, Mom," jawab Mentari dengan mulutnya yang mengunyah."Ini nasi goreng spesial, buatan Mama sendiri," Mala duduk dan memulai sarapannya juga, "ayo di coba, Zidan mana?" Tanya Mala yang belum melihat wajah putranya."Masih di kamar, Ma," Renata pun mulai mengisi piringnya, perutnya memang sangat lapar dan m
"Zidan, turunkan aku," Renata merasa geli saat Zidan mengangkat nya sambil menaiki anak tangga, bayangkan saja jika terlepas dari tangan Zidan tentu tubuhnya akan menghantam anak tangga dan pastinya sakitnya akan sangat luar biasa sekali.Renata pun masih was-was dengan perlakuan Zidan, dirinya yang terbiasa diperlakukan kasar tampak tidak mengenali perlakuan Zidan kini.Sampai akhirnya Zidan kembali membawanya masuk ke dalam kamar, setelah itu menurunkan Renata di atas ranjang."Zidan, aku harus mencuci piring. Pekerjaan ku belum selesai," Renata mencoba bangun, tatapi Zidan sudah lebih cepat menindihnya.Hingga akhirnya Renata tidak bisa bangun sama sekali."Biarkan saja, itu bukan pekerjaan mu. Kamu bukan pembantu di sini," jelas Zidan."Zidan, aku tidak enak kalau tidak melakukan apapun. Pagi tadi Mama sudah masak, apa iya aku cuci piring juga tidak?" Tanya Renata berusaha melepaskan diri dari kungkungan Zidan, "Zidan, bangun!" Renata mendorong dada bidang Zidan agar bangkit dari
"Kemana bajingan ini?" Dari tadi Adam terus menghubungi Zidan, tetapi sampai sekarang belum juga di jawab sama sekali.Adam sudah kesal sampai di ubun-ubun, saat ini dirinya harus menjadi dokter pengganti Zidan. Sedangkan jam pulang kantor seharusnya sudah beberapa jam yang lalu."Mas, udahlah. Nggak papa, mungkin dia sedang romatis-romantisan sama Renata. Sekali-kali tidak masalah 'kan Mas," Kinanti mengusap lembut punggung Adam, berusaha menenangkan suaminya yang tengah terbakar emosi.Adam beralih menatap Kinanti, menimbang kata-kata istrinya barusan.Kemudian Adam kembali berdebat dengan dirinya sendiri.Benarkah apa yang dikatakan oleh Kinanti, kalau iya sungguh Zidan sangat keterlaluan sekali.Dirinya harus menggantikan pekerjaan Zidan saat ini, sedangkan Zidan bahagia dengan istrinya."Dia itu memang sangat keterlaluan, semalam saja dia mendatangi aku. Meminta solusi, sedangkan hari ini dia malah kurang ajar begini, jangankan kata-kata terima kasih........" Adam mengacak rambu
Saat melihat Ferdian yang berdiri di dekat Zahra, akhirnya Kinanti pun perlahan pergi tanpa sepengetahuan Zahra."Kamu tahu Kinanti, pengen banget itu orang aku cekik biar dia nggak kurang ajar lagi sama aku. Coba kamu pikir kalau aku nggak mau nolongin dia, pasti dia udah malu banget! Tapi, balasannya apa? Aku malah dinodai!" Kesal Zahra tanpa mengetahui bahwa Kinanti sudah pergi.Ferdian tersenyum mendengar curhatan hati Zahra, tetapi memilih diam dan mendengar apa selanjutnya dikatakan oleh istrinya tersebut."Aku baru pingsan, baru sadar, tapi dia udah ngomongin soal hak. Dia punya otak atau tidak? Sepertinya tidak!" Geram Zahra dan melihat ke samping.Kinanti tidak ada, artinya dari tadi dirinya hanya berbicara sendirian saja."Kinan, kamu tega banget sama aku," kesal Zahra dan menangis, "jadi dari tadi aku ngomong sendiri?" Zahra mengusap wajahnya dengan putus asa."Aku, di sini!" Ferdian menepuk pundak Zahra, hingga akhirnya tersadar tidak sendirian.Wajah Zahra yang pucat sema
Ferdian pun benar-benar membiarkan Zahra untuk beristirahat di kamar sendirian, memilih memberikan waktu untuk mencerna setiap kata yang barusan disampaikannya.Ferdian bukan seorang pria romantis, apa lagi pandai dalam merangkai kata. Setiap kata yang di ucapannya hanya sebuah keseriusan, kebenaran yang nyata, walaupun kadang menyakitkan bagi sebagian orang yang mendengarnya.Namun, itulah dirinya. Hidup serius tanpa ada gurauan jenaka.Sadar dirinya sudah salah, namun lebih baik mengakuinya sebelum Zahra mengetahui dengan sendirinya.Semua hanya rekayasa saja, sejak awal Ferdian sudah merencanakan semua dengan matang. Mengingat Ajeng begitu memaksanya menikahi Renata.Ferdian tahu keadaan Renata yang terguncang, sebagai dokter yang menangani Renata dalam memulihkan mentalnya sudah pasti Ferdian tahu segalanya.Melihat kerasnya Ajeng tidak mungkin membantah dengan keras, sadar Mamanya itu baru saja pulih dari kangker payudara yang hampir merenggut nyawa.Harta paling berharga adalah
Mungkin Zahra benar-benar mampu membuat Ferdian merasa tertarik, sehingga tidak perlu menunggu lama sudah langsung jatuh hati."Mas, di sini?" Kinanti dari tadi mencari keberadaan suaminya itu, dan ternyata ada di gazebo taman belakang. Puas Kinanti mencari dari timur ke barat, selatan dan juga utara.Ternyata suaminya ada di depan mata, terlalu lebay juga memang tidak baik. Sehingga lebih baik sedang-sedang saja."Kamu nyariin Mas?" "Iya. Kinan, pengen makan nasi goreng di pinggir jalan."Mulut Kinanti mengerucut, mengingat Adam baru saja pulang bekerja tentunya masih cukup lelah.Ada rasa takut juga untuk meminta, tetapi dirinya juga ingin makan ditemani oleh suaminya.Adam sejenak terdiam memperhatikan wajah Kinanti, wajah wanitanya yang menggemaskan itu terlihat memohon padanya.Mungkin nanti ada waktunya Adam akan menunjukkan wajah Kinanti saat seperti ini, dengan tujuan agar Ferdian pusing dan semakin mempercepat proses mendapatkan gelar sebagai seorang Ayah."Mas," Kinanti me
Di desa inilah Kinanti di lahirkan, sebuah desa terpencil yang terletak di sudut kota. Jauh dari kata elit seperti kehidupannya saat ini, bahkan di sini hanya terlihat hamparan sawah yang luas.Lama sudah tidak melihat desanya tersebut, membuatnya merasa kerinduan kian semakin dalam.Sebuah sawah yang kini di pandangi dulu adalah tempat nya bermain bersama dengan teman-teman, salah satunya adalah Bayu.Mandi di sungai bersama tanpa rasa takut, pulang saat hari mulai petang. Itu pun karena, orang tua mereka datang dengan membawa sebilah kayu yang mampu membuat jantung berdebar kencang.Merasa kayu tersebut adalah sebuah ancaman yang sangat menyakitkan, padahal pada dasarnya hanya sebagai alat agar segera pulang yang di bawa orang tua mereka.Sehingga ketakutan dan memilih segera pulang, semua itu hanya sebuah kenangan indah yang tidak mungkin bisa di ulang kembali.Ternyata keputusan ini adalah tepat, pulang ke kampung halaman adalah sebuah kebahagiaan yang luar biasa.Seketika bayanga
"Sayang, buka pintunya dong. Jangan ngambek dong. Malu kalau Ayah tau," kata Adam dari depan pintu kamar.Kinanti tidak perduli sama sekali, hanya diam dan memilih berdiri di depan jendela kamar yang terbuka.Malam ini terasa begitu indah, suasana desa yang sunyi benar-benar menciptakan sebuah ketenangan."Sayang," panggil Adam lagi dari depan pintu kamar dengan gorden yang terurai."Ayah ngapain? Ngeronda?" Seloroh Fikri.Adam menatap Fikri penuh permusuhan, sejak tadi anak sulungnya itu terus saja menjengkelkan."Mas Adam, sedang menunggu jemputan Mbak Kinan," celetuk Kenan, sambil berjalan memasuki kamar.Begitu juga Fikri yang ikut masuk ke dalam kamar dengan ukuran 2×2 tersebut.Adam sampai melongo saat melihat kedua anaknya yang masuk begitu saja, awalnya Adam berpikir jika pintunya di kunci.Seketika itu juga Adam ikut masuk, ternyata kamar tersebut tidak memiliki pintu. Hanya gorden yang menjadi penutup daruratnya.Sial! Adam benar-benar merutuki kebodohannya sendiri.Percuma