"Bunda," teriak Kenan sambil berlari menuju Kinanti."Anak Bunda udah pulang sekolah," Kinanti mencoba mencium pipi Kenan tapi, entah kenapa malah di tolak."Kenan udah gede, Berhenti cium Kenan!" "O," Kinanti pun mangguk-mangguk mengerti, anaknya itu memang lucu dan menggemaskan.Selanjutnya Kinanti mendekati Fikri berniat melakukan hal serupa, sayangnya sama saja.Fikri pun menolak untuk di cium."Alasannya?" Kinanti ingin mendengar alasan anak pertamanya menolak juga untuk di cium juga."Fikri udah gede, dan Fikri nggak mau di cium!""Sok dewasa, sadar bocah!" Kesal Adam."Bunda ketemu Ayah di mana sih?" Fikri menunjukkan raut wajah kesal pada Adam.Kinanti tahu tampaknya akan ada keributan yang terjadi. Akan tetapi, penasaran juga dengan maksud pertanyaan Fikri."Kenapa?""Apa nggak ada orang lain? Yang lebih baik," papar Fikri.Peltak!Adam pun mengetuk kepala Fikri dengan kesal, anaknya itu memang tak kalah konyol dengan keponakan nya Davina."Lihat nih! Ngeselin?" Fikri pun me
"Mbak lempar bolanya, entar Tari yang pukul ya," Tari bersiap untuk memukul bola saat Art pun bersiap untuk melemparkan bola padanya.Bola mulai melayang dan terjatuh di lantai, Mentari kecewa karena, tak dapat memukul bola yang lolos begitu saja.Akhirnya di ulangi hingga beberapa kali, dan untuk kali ini dirinya berhasil memukul bola tersebut sehingga membuatnya bangga bukan main."Mbak, Tari hebat 'kan!"Mentari bersorak gembira, dengan bangganya pada Art."Iya, tapi Non Tari makan dulu ya. Kamu belum makan siang.""Makannya di sini aja ya Mbak, abis makan kita main lagi.""Sip! Mbak ambil dulu dan Non cantik eh salah, Non Tari nggak boleh ke mana-mana, setuju?"Mentari mangguk-mangguk kemudian duduk di salah satu kursi yang tersusun rapi di teras, menunggu Art membawakan makanan untuknya."Tari mau latihan dulu, ah," Mentari kembali mengambil pemukul bola, dan bermain sendiri sambil menunggu.Sampai akhirnya bola kasti miliknya menggelinding ke jalanan, Mentari segera mengambilnya
"Renata, apa yang sedang kamu lakukan?!" Adam terus mencoba membantu Renata untuk bangkit dari tempatnya.Apapun alasannya saat ini Renata tidak pantas untuk berlutut dibawah kaki Zidan.Sayangnya Renata enggan berdiri, dirinya hanya ingin anaknya terselamatkan dan itu hanya dengan Zidan.Apapun akan di lakukan demi sang buah hati terselamatkan.Apapun!"Zidan, aku mohon tolong bantu anak ku," suara Renata bergetar hebat memohon kepada Zidan, semoga saja tak ada penolakan.Dalam hati cemas dan gelisah akan kemungkinan terburuknya."Kau bicara apa?" Zidan pun ikut berjongkok di hadapan Renata, penasaran akan apa selanjutnya dikatakan oleh mantan istrinya tersebut.Renata mengusap air matanya hingga beberapa kali, sekalipun demikian air matanya tak pernah bisa kering. Tangisan yang tak bisa tertahan menggambarkan bertapa hati begitu terluka.Batin pun sangat tersiksa meratapi keadaan anaknya.Takut kehilangan cahaya hidupnya, Mentari adalah penerang saat dalam kegelapan tiada arah da
"Ya, dia memang anak mu. Tapi, kamu mengharapkan kematian nya."Renata belum bila melupakan saat Zidan terus mengatakan bahwa janinnya tak akan bertahan lama, dirinya yang tengah mengandung terus saja di anggap mandul.Sekalipun sudah jelas tengah mengandung, bahkan yang lebih anehnya Zidan secara tak langsung seakan tidak menginginkan anak nya sendiri.Salahkan jika Renata lebih memilih untuk tetap diam dan mengikuti keinginan Irma dan Sindi."Aku Ayahnya! Kenapa malah mengatakan bahwa kau sudah keguguran.""Bukankah kau tidak menginginkan nya?"Flashback on.Beberapa Tahun yang lalu saat Renata tengah duduk bersantai menikmati indahnya sore hari di halaman rumah tiba-tiba meringis kesakitan.Tangannya mencengkram erat perutnya, rasa sakit luar biasa seakan siap untuk menghabisinya saat itu juga.Secepat mungkin Sindi melarikan menuju rumah sakit terdekat, dokter mengatakan bahwa janin Renata berbahaya dan harus di angkat dengan segera.Apa lagi pendarahan yang tak kunjung berhenti s
Keadaan Mentari sudah lebih baik dari kemarin, bahkan hari ini sudah bisa duduk walaupun masih harus di bantu.Paling tidak Renata sudah bisa bernapas lega saat ini."Ma, Om itu kok liatin Tari terus 'sih?" Tanya Mentari sambil melihat pintu di mana Zidan berdiri di sana menatapnya.Renata pun melihat Zidan di sana, dari kemarin hari Zidan hanya menatap dari kejauhan saja.Entah apa yang sebenarnya ada dipikiran Zidan saat ini, sungguh Renata tidak mengerti."Tari makan dulu, biar cepat sembuh," Renata berusaha untuk mengalihkan perhatian Mentari, sekalipun bocah itu masih saja bertanya-tanya saat Zidan terus menatap dirinya."Om," seru Mentari saat Zidan bersiap ingin pergi.Om?Ya! Itu tidak salah sama sekali.Zidan tersenyum getir meratapi kesedihan yang sungguh luar biasa.Zidan pun memutuskan untuk menemui Mentari, masuk ke dalam ruangan untuk bisa bercerita dengan anaknya itu.Miris!Anak?Zidan malu pada Mentari.Zidan takut Mentari akan membencinya saat tahu bahwa dirinya adal
"Kalau Om, Daddy nya Tari kenapa nggak pernah jenguk Tari? Apa nggak sayang sana Tari?"Deg! Ini sungguh luar biasa, pertanyaan Mentari seakan begitu menyakitkan.Sadar sudah menjadi seorang Ayah yang gagal untuk putrinya, air mata Zidan akhirnya tumpah juga di hadapan Mentari.Pertama kalinya air mata itu tumpah ruah di hadapan selain sang Mama, apakah pertanyaan Mentari begitu memilukan hati?Mungkin!Tersadar dari semua perbuatannya sendiri, Zidan pun menyadari kesalahannya yang memang sudah tak mungkin mendapatkan maaf lagi dari Mentari maupun Renata."Kok, malah nangis? Emang Tari salah?" Mentari masih menatap Zidan dengan bertanya, wajah polosnya kebingungan melihat exspresi wajah Zidan saat ini.Bocah ingusan itu belum dapat mengerti sama sekali atas keadaan sekitarnya."Karena, dia tidak pantas untuk di sebut Daddy!" Irma menimpali dengan cepat, tersenyum mengejek Zidan.Baru saja sampai di rumah sakit dirinya sudah mendengar pertanyaan Mentari tersebut, artinya Renata sudah
Segera menuju rumah sakit jiwa, melihat Zoya yang sudah berada dalam dunianya sendiri.Renata tidak menyangka ternyata Zoya begitu terobsesi pada Zidan.Hingga saat ini pun mulutnya hanya memanggil nama Zidan."Apa tidak ada kemungkinan untuk sembuh kembali?" Tanya Renata pada Bayu yang berdiri di sampingnya.Keduanya menatap arah yang sama, Zoya tengah menyisir rambutnya seakan berdandan dan bersiap-siap untuk pergi bersama dengan Zidan."Aku tidak mengerti, hanya saja dia harus sembuh agar polisi bisa melakukan pemeriksaan lebih lanjut. Perbuatan kriminal, ini menyangkut keselamatan. Sehingga semua harus di proses," jelas Zidan."Aku serahkan masalah ini pada kalian, aku tahu kalian pasti melakukan yang terbaik."Sekalipun sudah mencelakai anaknya Renata tetap saja merasa iba pada Zoya, mungkin lain hal jika saat ini Zoya waras dan berdiri di hadapannya.Tetapi, saat ini Tuhan memilih menghukum dengan caranya, Zoya berubah gila setelah apa yang diperbuatnya sendiri.Hukum mungkin bi
Sampai di rumah Serena sudah di sambut oleh Bayu, tatapan mata Bayu begitu tajam padanya dan terlihat menyimpan kemarahan."Kamu udah pulang? Udah lama pulang?" Serena mencoba bertanya, berharap Bayu tak lagi dengan wajah seriusnya.Bayu memilih menyingkir dari tempatnya, berlalu begitu saja tanpa satu patah katapun hingga membuat Serena semakin bertanya-tanya."Bayu tunggu!" Serena pun segera menyusul suaminya, berdiri saling berhadapan untuk bertanya, "kamu kenapa? Aku salah apa ke kamu?"Serena merasa tidak memiliki kesalahan, sejak pagi tadi mereka baik-baik saja tanpa pertengkaran. Pagi tadi bahkan Bayu sendiri yang mengantarkan nya pergi bekerja, sore ini Serena pulang sendiri dengan membawa mobil milik Kinanti.Namun, tiba-tiba saja di sambut wajah Bayu yang judes membuatnya bingung dan bertanya-tanya atas kesalahannya."Jawab aku! Aku salah apa ke kamu?" Serena mendongkak dan membalas tatapan tajam Bayu."Coba kamu sadari apa salah kamu ke aku?" Bayu bukan menjawab tapi, mal