Inicio / Romansa / Pembantu Rasa Nyonya / Capítulo 141 - Capítulo 150
Todos los capítulos de Pembantu Rasa Nyonya: Capítulo 141 - Capítulo 150
616 chapters
Bab 141. Apa Yang Terjadi?
"Rani, wajahmu masih pucat. Aku tidak memperbolehkanmu puasa!" ucapan Mas Suma tegas, tertanda tidak bisa dibantah."Kamu mau ke mana?" tanyanya ketika aku menurunkan kaki dari tempat tidur."Iya aku tidak puasa, Mas. Aku hanya ingin menyiapkan makan sahur Mas Suma saja," ucapku memandangnya. Aku memejamkan mata, rasanya seperti pandanganku berputar mendera dikepalaku dan lemas sekujur badanku. Aku kenapa? Tidak biasanya seperti ini."Rani, kamu kenapa?" ucap Mas Suma, dia langsung jongkok di depanku, menatap wajahku dengan lekat. "Mas, aku pusing. Sahurnya minta tolong Bik Inah siapkan, ya. Amelia atau Wisnu suruh panggil. Eh iya, mereka tidak ada, ya. Aku saja ...""Stop! Aku bisa urus diriku sendiri. Bik inah aku panggil saja. Kamu tidak usah kawatir.""Tapi Mas Suma?"Mas Suma menggoyangkan kedua telunjuknya di depan wajahku, tanda tidak boleh membantah. Dinaikkan kakiku, dan dibaringkan tubuh ini di ranjang."Sudah, istirahat saja. Atau, aku bikinkan susu?" "Tidak, Mas Suma. Ak
Leer más
Bab 142. Sakit
"Saya pakai kontrasepsi. Kenapa bisa begitu?" Lalu dr. Hendra menjelaskan. Aku mengalami hamil ektopik yang dikenal dengan hamil di luar kandungan.Menggunakan IUD ada kemungkinan terjadi kehamilan ektopik, walaupun kemungkinan hanya sekitar 0,1 persen saja. Kondisi ini di mana sel telur dibuahi di luar rahim. Itu yang terjadi kepadaku.Perkembangan janin yang tidak pada tempat semestinya, membuat perkembangan tidak normal dan akhirnya keguguran."Mas Suma, Danish dan Anin bagaimana?""Anak-anak, aman. Amelia dan Wisnu sudah di rumah, mereka bertugas mengawasi adik-adiknya. Kamu istirahat yang tenang, ya," ucap Mas Suma mengusap punggung tanganku."Ran, aku sangat kawatir melihatmu seperti itu. Aku takut terjadi sesuatu yang fatal. Membayangkan kehilanganmu, membuatku gila!" ucap Mas Suma merangkul tubuhku.Dia duduk di banggu di sebelah ranjang, kelapanya diletakkan disebelah sisiku. Aku membelai rambutnya berusaha menenangkannya."Kamu jangan begitu lagi, ya? Aku tidak sanggu
Leer más
Bab 143. Aku Iklas, Mas Suma
Aku pun semakin membenamkan kepalaku ke dalam pelukannya. Mas Suma, suamiku. I love you *"Mas Suma ... aku sakit apa?" tanyaku melihat raut kegusaran diwajahnya. Dengan kedua tangannya dimasukkan di saku celana, dia mondar-mandir dari kamar rawatku ke ruang tamu, atau berkeliling di kamar dengan sesekali melongok ke luar jendela. Tidak mungkin dia menantikan sesuatu, karena kamar ini terletak di lantai lima. Kebiasaan lamanya mulai muncul lagi. Biasanya, dalam keadaan ini aku akan membuatkan teh chamomile untuknya dan mengajaknya berbincang sampai dia merasa tenang."Mas Suma," panggilku sekali lagi ketika dia berjalan dekat denganku. Aku raih lengannya untuk berhenti. Mas Suma berhenti melangkah dan berbalik ke arahku. Meletakkan kedua tangannya di bahu ini, dan menatap ke arahku dengan sendu. Aku terhenyak melihat sorot mata itu, ada kesedihan yang terlihat jelas di sana."Ada apa, Mas Suma?” Aku menatap matanya dan mengarahkan tanganku ke wajah yang terlihat sendu ini."Ran,
Leer más
Bab 144. Siap
Rasa kangen bertemu anak-anak membuatku sesak. Apalagi, hari besok jadwal operasiku. Saat ini, aku ditemani perawat karena Mas Suma harus ke kantor, menyelesaikan pekerjaan. Setelah itu, harus ke gallery untuk mengontrol operasional di sana yang dipegang sementara oleh Aitu dan Pak Tiok. Dia memastikan semua beres hari ini, karena mulai besok akan konsen dengam proses operasi dan pemulihanku."Selamat sore, Maharani!" Suara Dokter Hendra menyadarkanku. Dia datang bersama dokter yang memeriksaku dan perawat.“Baik Dokter,” jawabku sembari memaksakan tersenyum. "Bagaimana keadaanmu? Harus relax dan jangan menambah beban pikiran," ucapnya sambil memeriksaku. "Tekanan darah bagus! Iya semua bagus. Besuk kita laksanakan sesuai jadwal!" ucapnya dengan tersenyum.Aku menghela napas. Apa yang diucapkan seperti mengingatkan aku pada kenyataan bahwa dalam hitungan jam, tubuhku akan terbaring di meja operasi."Sudah siap dan yakin, kan?" tanya Dokter Hendra setelah semua selesai. Perawat yang m
Leer más
Bab 145. Tersiksa
POV KUSUMAMelihatmu kesakitan membuatku tersiksa.Malam itu, duniaku seakan terbalik, Maharani berdarah dan pingsan. Perkataan apapun yang diutarakan Hendra tidak menyurutkan kecemasanku. Semua pikiran buruk memenuhi kepalaku.Begitu juga saat laporan medis disodorkan kepadaku. Kepalaku seakan mau pecah, hatiku tercabik-cabik dan yang tertinggal hanya penyesalan. Aku meruntuki diriku sendiri, apakah ini karena keegoisanku? Memaksa Maharani untuk memiliki keturunan dalam usia yang tidak muda lagi. Bahkan dalam jarak yang begitu dekat.Aaarrrrgg ...!"Suma. Itu bukan penyebabnya, banyak sekali faktor yang menyebabkan keadaan ini. Kamu jangan bersikap seperti itu," jelas dr. Hendra."Tapi aku memberikan resiko kepadanya dan sakitnya ini karena aku tidak menjaganya dengan baik."Ketakutanku akan kehilangan membuatku gila. Semua urusan aku alihkan ke rumah sakit. Bahkan, aku berkantor di sini. Aku tidak ingin kehilangan waktu sedikitpun tanpa melihatnya. Rumah sakit bisa menjadi tempat pe
Leer más
Bab 146. Selamatkah dia?
Mataku terbelalak, jantungku berdetak lebih kencang. Sekuat tenaga aku berteriak dan loncat ke arahnya."Raniiiiiiiiii ...!"Tanganku menggapai dan berhasil menariknya. Dia terkulai terbenam dipelukanku."Rani, Ran!" panggilku untuk menyadarkannya. Aku menggoncang tubuhnya. Tiba-tiba terbersit cahaya menyilaukanku. Semakin terang dan membuatku terpejam. Samar terdengar ada yang memanggil namaku."Suma ... sadar! Suma!"Aku mengerjapkan mata dan terlihat dr Hendra di depanku. "Hendra! Rani! Maharani mana? Tadi dia di sini!" teriakku."Sabar, Suma. Sabar. Tadi kamu pingsan. Nanti, aku akan mengantarmu kepadanya," jawab dr Hendra."Tidak! Aku mau sekarang!" teriakku sambil bergegas turun dari ranjang.***Di sini, aku duduk di sampingmu. Menatap wajah ayumu yang terlihat pucat. Genggaman tanganmu tak rela aku lepaskan.'Rani, aku di sini untukmu. Bangunlah dan puaskan omelanmu untukku. Aku merindukanmu.'"Suma, biarkan Maharani istirahat. Mari kita keluar," pinta dr Hendra."Tidak, ak
Leer más
Bab 147. Tidak Bisa Pulih?
Tuhan sudah memberiku kenikmatan yang luar biasa. Keluarga, pekerjaan dan sahabat yang mendukung dan menyayangiku. Sakitku ini bukanlah musibah, namun pembuktian bahwa mereka yang kucinta ada untukku. Tidak hanya anak-anak dan suami, tetapi juga teman kerja yang setia membantuku, termasuk semua yang mendukungku di rumah ini. Jadi untuk apa aku kawatir? Toh, aku masih bisa menjalankan aktifitas sehari-hari. Semua menyambut gembira kepulanganku, terlebih anak-anak yang selama ini terpisah. Aku yang duduk bersandar di ranjang dikelilingi Wisnu dan Amelia yang mengajak adik-adiknya—Anind dan Danish. Seakan menahan rindu yang sangat, kedua balitaku berceloteh sembari menempel di tubuh ini. “Akhirnya Mama pulang ….” ucap Wisnu sembari memijit kakiku. Wajahnya menunduk seperti menyembunyikan sesuatu. “Selama tidak ada Mama di rumah sakit, rumah seakan kosong,” tambahnya lirih. Tangannya mengusap kasar wajahnya dan memberiku senyuman dengan mata yang sudah memerah. “Sini, Kak,” ucapku den
Leer más
Bab 148. Rasa Tidak Berguna
“Jangan, kawatir, hal ini dilakukan supaya penyakit tidak menyebar, toh satu ovarium masih dalam keadaan bagus dan sehat. Untuk kerja hormon tetap normal. Jadi ini tidak akan mengurangi kemesraan kalian," jelas Dokter Hendra dulu. Kalau dipikir, bagaimana bisa operasi ini tidak berpengaruh kepadaku? Ovarium yang menjadi pabrik untuk memproduksi hormon dihilangkan dari tubuh ini. Memang benar, aku masih mempunyai satu indung telur, tapi bukankah itu akan pincang karena bekerja sendirian? Ini sama saja aku tidak lagi menjadi wanita seutuhnya lagi. Separuh yang aku punya sudah tidak ada lagi. Apa yang aku baca ternyata sekadar teori belaka. Beberapa buku tentang penyakit ini, aku lahap habis. Bahkan makalah dari penelitian pun aku telaah dengan cermat. Namun, mereka hanya menyatakan secara medis operasi yang aku lakukan tidak berpengaruh pada keseharian. Bagaimana bisa? Buktinya, aku mulai malas ketika Mas Suma mencoba mendekatiku. Hasrat untuk bersamanya tidak bergelora seperti sebelu
Leer más
Bab 149. Ketakutanku
Rumah terlihat sepi. Tidak terlihat kedua anak balitaku, Danish dan Anind. Mata ini langsung menilik jam di dinding. Menunjukkan angka satu, pantas saja tidak terdengan suara mereka. Pasti kedua anakku sedang tidur siang.Saat aku sakit, kedua balitaku ini sepenuhnya diasuh babysister. Mbak Tyas pengasuh Danish yang berumur empat tahun, sedangkan Anind-adiknya- yang baru satu tahun diasuh oleh Mbak Dwi. Sebenarnya aku tidak perlu mengkawatirkan mereka, karena kedua pengasuh sudah mengasuh sejak mereka lahir. Apa yang harus dilakukan pun sudah aku ajarkan sebelumnya. Mulai jadwal kegiatan dan makanan apa yang bisa diberikan.Sebelumnya, walaupun ada pengasuh, aku tetap memberi perhatian kepada mereka. Tak jarang mereka bermain dan tidur bersama kami, tapi sekarang Mas Suma melarangnya. Tentu saja dengan alasan kesehatanku.Sejujurnya aku merasa bersalah, terutama Anind yang masih membutuhkan ASI. Semenjak aku dirawat di rumah sakit, terpaksa aku menyapihnya.Benar, mereka sedang tertid
Leer más
Bab 150. Good luck, Pi!
Apakah yang aku tangkap ini benar? Aku akan mencari tahu nanti.***“Mas Suma mau dibuatkan teh?” Usapan lembut di bahu ini dan suara Maharani menghentikan aktifitasku.Sejenak aku jauhkan laptop kemudian menoleh ke arahnya. Senyuman yang aku rindukan menghias di wajah istriku yang masih terlihat pucat. Dalam keadaan seperti ini pun, dia masih berusaha memperhatikan aku. Sikap manjaku kepadanya seperti sudah menjadi kebiasaan dan tanpa sengaja menjadi tuntutan yang harus dia lakukan. Walaupun dalam keadaan sekarang ini.Kuusap lembut punggung tangannya, kemudian menarik tubuhnya ke pangkuanku. Sekilas, aku merasa tubuhnya tegang, walaupun terhapus dengan senyuman seperti biasanya. Bobot tubuh istriku tidak seberat sebelumnya. Tubuhnya terlihat lebih kurus, malah terasa ringan di pangkuanku.“Mas Suma. Apaan, sih. Ditawarin minum kok malah jadinya gini,” ucap istriku sembari mengalungkan kedua tangannya padaku.Aku tersenyum sembari mencium bibirnya perlahan, kemudian menautkan rambutn
Leer más