Bab 80. Sangu"Tuan Kusuma. Maaf mengganggu. Ada Nyonya Besar di bawah. Beliau menunggu," ucap Pak Maman."Mas Suma, Mami?!" ucapku bergegas bersiap turun menemui mertuaku itu.'Tumben pagi-pagi kesini. Apa mau melihat kura-kuranya? Atau, ada hal lain yang penting?' pikirku was-was.Mertuaku duduk di single sofa di ruang tamu dengan penampilan seperti biasa. Rambut disasak tinggi dan fashion yang cetar dari atas sampai bawah. Ada Anita sekertarisnya dan beberapa orang berjas hitam berpakaian rapi ala Men in Black, tapi tanpa kaca mata. Pak Sutar, orang kepercayaannya tergopoh masuk ruangan dengan badan membungkuk menyerahkan tas branded ke Nyonya Besar, mertuaku itu.Di sofa satunya, duduk seorang wanita berdandan super rapi dengan memegang map terbuka yang berisi beberapa kertas, entah apa itu.Aku, Amelia dan Wisnu langsung menghampiri Nyonya Besar, mengambil tangannya untuk salim cium tangan, secara bergantian. Beliau, tersenyum sambil mengusap kepala Amelia dan Wisnu.Budaya in
Persiapan pembukaan gallery sudah matang. Semua barang disusun seperti arahanku. Benar, kata Mas Suma, aku harus kasih nyawaku di sini. Setiap sudut mencerminkan tentang aku. Cafe pun sudah siap operasi. Menu-menu andalanku sudah dikuasai benar oleh Chef nya, begitu juga Bartendernya. Aku ingin semua berjalan sesuai rencana, zero mistake, itu yang aku tekankan ke Aitu. Semua rencana yang beresiko, aku tidak pakai. Buat apa pusing, kalau yang pasti-pasti saja ada. "Ibu Rani, jadwal wawancara dan foto shoot sudah disetujui pagi hari jam sepuluh. Ini majalah yang minta wawancara eksklusif. Mereka kasih note, minta keluarga mendampingi. Ini proposalnya," kata Aitu menyodorkan berkas. Deskripsinya, mereka ingin mengangkat bahwa seseorang wanitapun bisa berkarya. Tanpa meninggalkan keluarga, bahkan dukungan orang-orang terdekat adalah motivasinya. Bagus, sih. Bisa menginspirasi perempuan di luar sana. Aku jadi teringat tentang perjalananku, sampai Mas Suma terbersit ide memberiku mahar
Apa lagi yang harus dibicarakan oleh mantan suamiku ini?Membuat aku penasaran.*** Pov Tuan Kusuma Hari ini pembukaan Gallery Maharani, lega rasanya. Akhirnya, aku bisa memberikan binar di matanya. Awalnya, aku kesulitan memilih apa yang Maharani sukai. Emas, permata bahkan uang sekalipun, dia terlihat tidak tertarik.Tanggalannya, biasa saja. Dia spesial, tidak seperti wanita lain yang bersedia bersamaku karena apa yang ada di sekitarku. Bukan karena aku seorang Tuan Kusuma pemilik beberapa perusahaan.. Malah dia terang-terangan menolakku karena merasa dia tidak pantas. Usahaku untuk mengerti apa yang dia mau, akhirnya tercapai. Yang diinginkan dia adalah kesempatan. Ya, kesempatan untuk berkembang dan membuktikan bahwa dia bukan wanita biasa. Dan, dia sudah membuktikannya. "Pak Kusuma, maaf. Bisakah saya minta waktu untuk bicara dengan Maharani?" ujar Pak Bram, mantan suami Maharani, istriku. Terhenyak, aku melihat kedatangannya. Sikap Pak Bram, sering kali membuatku mera
"Mas Bram, hiduplah dengan bahagia. Kisah kita adalah bagian yang terindah yang kita miliki. Dan sekarang sudah usai, Mas. Lepaskan bayang-bayang salahmu. Kami sudah memaafkanmu. Bahagialah bersama Wulan dan anak-anak," ucapku mencoba memberi pengertiaan.Perkataanku bukan menenangkan, malah membuat Mas Bram semakin menangis. Luruh dari duduknya, kedua lututnya jatuh di lantai. Dia terduduk dan menangis tergugu di depan kami."Mas Bram!" teriakku.Wisnu langsung berdiri dan lari mendekat ke papanya. Dia langsung duduk memeluk Mas Bram. Anak dan bapak menangis bersama.Dadaku sesak seketika. Hati ini terulang sakitnya. Perpisahan keluarga selalu meninggalkan luka. Tidak hanya kami orang tua, anakpun akan tertoreh hatinya.Air mataku meluncur tak tertahankan. Aku seperti tertarik ke dunia lain yang hanya ada kami bertiga saja. Dan, kami tergugu bersama di sana."Aku minta maaf! Aku salah! Maafkan aku, Rani, Wisnu!" ucapnya memeluk erat Wisnu."Anakku, setiap malam aku selalu memikirkanm
Aku memandang gedung yang menjulang di depanku. Gedung ini sebagai mahar pernikahan, ini adalah monumen cinta kami. Kisah antara Maharani dan Kusuma terpatri di sini. Dia suami yang mengerti akan diriku. Berawal dari niatku untuk membuatnya bangga, aku mendapatkan penghargaan tingkat international. Mungkin dengan dasar itulah, Mas Suma memberiku kesempatan untuk berkarya dengan memberiku mahar satu unit gallery lengkap dengan karyawan dan semua operasional.Maharani Gallery and Cafe, nama terpahat indah di batu besar. Warna emas kontras dengan hitamnya batu kali. Air menyembur di sela batu besar ini, jatuh di kolam yang penuh bebatuan dan tumbuhan hijau disampingnya. Ikan warna-warni berlarian di sela gemericik air yang tumpah."Kamu senang, Honey?" ucap Mas Suma sambil memelukku dari belakang. Sengaja aku minta diantar pagi-pagi, sebelum karyawan datang. Ini hari pertama galeri. Aku ingin memuaskan menikmati hanya berdua dengan Mas Suma, suamiku.Tangannya mengusap lembut perut bun
Baru pertama ini, seorang Kusuma-Bos Besar membuka pintu gerbang. Biasanya satpam yang melakukannya.Aku menatapnya dari teras galeri. Pintu terbuka dengan sendirinya setelah dia membuka kunci. Kok bisa?Pintu terbuka pelan, menunjukkan beberapa orang berjajar di balik pintu gerbang. Ada Aitu dan karyawan yang lain di sana. Aitu, pegawai kepercayaan Mas Suma yang ditunjuk membantuku.Mungkin mereka sudah datang sedari tadi, buktinya Mas Suma membuka kunci dan mereka langsung membukanya dari luar. Ternyata tidak hanya aku yang rajin di hari pertama. Untunglah, Mas Suma pasang alarm, kalau tidak, bisa kering mereka di luar pagar. Aku tersenyum mengingat kekonyolan kami tadi."Selamat pagi Bu Rani!" ucap mereka bergantian mengangguk ke arahku. Mereka langsung menuju pos masing-masing. Tukang kebun, menyapu halaman dan merapikan daun yang terlihat tua. Bagian Cafe, asyik mempersiapkan bahan-bahan makanan dan minuman. Aitu mondar-mandir mengecek galeri dan berakhir di kantor merapikan ad
"Bagaimana perasaanmu saat ini?" tanya Mas Suma. Sekarang kami di tempat makan Club 21 yang terletak di pinggir kota. Club yang didirikan teman sekolah Mas Suma yang berjumlah dua puluh satu orang. Mereka yang mayoritas pengusaha yang menginginkan tempat spesial, dimana mereka bisa melepaskan atribut yang ada di dirinya. Menjadi pemimpin ataupun publik figur membuat mereka merasa penat, dan di sinilah tempatnya."Perasaan saya? Luar biasa. Ada rasa yang lepas dari hati ini. Rasa itu mulai tumbuh sejak awal gedung itu dibangun dan semakin sesak. Sekarang, rasa itu pecah, lepas dan musnah!" ucapku sambil menghela nafas panjang. Mas Suma berdiri dari tempat duduknya dan menghampiri tempat dudukku. Dia mengusap pundakku dan berkata, "Rani, begitu beratnya rasa itu?""Berat sekali, Mas. Rasa kawatir akan gagal dan tidak membanggakan Mas Suma. Galeri itu merupakan tanggung jawab dan harapan bagiku, Mas. Kalau aku gagal, itu hanya akan menjadi monumen mati. Aku tidak mau itu!," ucapku deng
"Malah saya sempat berpikir, Suma ini normal atau tidak," ucapnya sambil menatapku dan tertawa. "Abah ini ada-ada saja. Saya normal, Bah. Ini buktinya, Abah sebentar lagi mempunyai cucu," ucap Mas Suma. "Alhamdulillah. Itu namanya rejeki. Kalian harus bersyukur, secepatnya mendapat amanah dari-Nya. Maaf ya, ketika pernikahan kalian, Abah tidak bisa datang. Saat itu bersamaan jadwal Abah umroh," terangnya. Kami berbincang apa saja. Terutama tentang kehidupan. Benar kata Mas Suma, dia orang yang bijaksana. Terlihat dari wejangan tentang kehidupan yang disampaikan kepada kami. Kemudian kami berkeliling ke pabrik. Aku tidak diperbolehkan memasuki gudang, kata Abah di dalam bising sekali, kasihan janin yng ada di perutku. Ditemani Pak Salim, aku jalan-jalan di kebun belakang sambil menunggu Mas Suma. Tanah di belakang sangat luas. Banyak tumpukan limbah kayu di sana. Beberapa ada balok-balok besar teronggok dimakan rayap. Pak Salim! Kayu ini tidak terpakai?" tanyaku menunjuk balok