Perjalanan tadi sangat menyenangkan, malam hari kami baru sampai hotel. "Kenapa? Pegal?" tanya Mas Suma melihatku memijit kaki. Aku menjawab dengan mengangguk. Antusiasku membuat lupa akan kapasitasku sekarang yang tidak seenergik dulu. "Sini, aku pijit!" katanya. Kakiku langsung ditaruh di atas pangkuannya. Dan memijit dengan pelan dan lembut. "Mas Suma, tidak usah. Itu bukan mijit. Itu meraba. Geli, Mas," kataku dan aku tarik kakiku dari pangkuannya. "Ran, yang kita makan tadi daging kambing, ya?" tanyanya sambil menatapku serius. "Kenapa, Mas?!" tanyaku kawatir. Takutnya dia tidak cocok dengan makanan kaki lima. Gawat, padahal baru pertama perjalanan. Bisa urusan dengan Nyonya Besar. Aduh! "Reaksi makan daging kambing sudah mulai!" "Sakit perut?" tanyaku kawatir. "Iya, yang bawahnya," ucapnya sembari mengerlingkan mata. "Daging kambing, meningkatkan keinginanku akan kamu, Ran," ucapnya sambil mencolek hidungku dan tersenyum jahil. "Mas Suma." "Ran, aku ingin segera
"Catherine, perkenalkan ini istriku, Maharani," ucap Mas Suma, sambil menarik tanganku untuk lebih dekat kepadanya. "Maharani, ini Catherine, putri pak Wahono," tambahnya sambil menunjuknya. Kami saling berjabat tangan. Dia membalas senyumanku dengan sekilas, seraya menyebut namanya. Kemudian, kembali mengalihkan pandangan ke suamiku. Tatapannya sekilas seperti dingin terhadapku. Ada ketidaksukaan tersirat di sana. Ah, mungkin perasaanku saja.Pantas saja, dia bukan staff biasa. Ternyata dia putri dari Pak Wahono, beliau pemilik saham terbesar setelah keluarga Adijaya. Kami melanjutkan masuk ke dalam ruangan. Pak Wahono langsung menyambut kami."Ini istrimu Suma! Cantik!" kata Pak Wahono tersenyum ramah.Beliau kelihatan bersemangat, wajahnya segar, badannya tinggi besar dan yang unik, rambutnya berwarna putih semua. Kami berjabat tangan dan diantarkan ditempat duduk yang sudah disiapkan."Nak Suma ini, sudah saya anggap anak sendiri. Saya dan Pak Adijaya, sudah bekerjasama
"Siapa sebenarnya, Catherine, Mas?" tanyaku ketika kami duduk-duduk di Jalan Asia Afrika. "Kamu, cemburu?" tanyanya sambil tersenyum simpul. Dia menatapku memastikan apa yang ada dipikiranku."Tidak, aku tidak cemburu. Aku hanya tidak suka sama Mas Suma!" kataku ketus."Aku?! Aku tidak berbuat apa-apa. Catherine saja yang agresif, kok aku disalahin?" katanya dengan masih muka tanpa dosa."Aku tidak perduli dengan semua perempuan yang suka dengan Mas Suma! Tapi, kenapa Mas Suma tidak cerita tentang dia sebelum datang ke sini? Jangan-jangan sengaja, ya?!""Sini-sini," kata Mas Suma lembut. Dia menarikku untuk lebih dekat dengannya. Tangannya merangkul pundakku."Dulu aku sering ditugaskan ke sini dan bertemu dengannya. Catherine sudah aku anggap adik. Ternyata, dia mempunyai perasaan lebih kepadaku," jelasnya."Dia kan muda, cantik, pinter, sexy lagi. Kenapa tidak mau?""Ran, aku hanya menganggapnya adik!" ucapnya tegas. "Puncaknya, satu tahun yang lalu. Dia menyatakan keseriusannya ke
"Jangan taruh telormu di satu keranjang," kata Mas Suma ketika aku bertanya, kenapa bidang bisnisnya beragam dan tersebar di banyak kota."Ran, kami ini pebisnis. Dimana ada potensi dan peluangnya bisa kami perbesar, disitulah yang kami garap!" jelasnya. "Apa tidak membuang energi?" tanyaku masih tidak paham. "Ini lebih ekonomis dan menguntungkan, daripada kita membentuk potensi baru," tambahnya.Pantas saja, bidang bisnis disesuaikan dengan potensi daerah. Seperti di Jogja, kerajinan dan furniture dan di Bandung tekstil dan fashion. Entah di Jakarta dan ada juga di Kalimantan, kami belum bicarakan.Perjalanan bisnis ini, memberiku banyak pelajaran. Kalau sebelumnya sekedar teori, dan sekarang aku tahu prakteknya.Banyak pekerjaan rumah yang harus kami diskusi setiba di rumah nanti.*"Mas Suma, kita memakai baju casual ini?" tanyaku memastikan lagi.Baju yang disiapkan untuk kami, baju kaos berkerah dan celana jeans. Tidak seperti biasanya, yang harus memakai baju formal."Iya, in
Kalau di kampung, arisannya panci, paling keren arisan blender, di sini berlian. Perhiasan yang merujuk kelas si pemakai. Sebenarnya bukan hasil arisan yang membuat mereka berkumpul, tetapi relasi bisnis.Berdua kami sampai di lokasi. Villa asri di tengah kota yang panas. Orang sekaya apa yang punya villa ini, pasti sudah bisa terukur. Di tengah padatnya rumah, dia mempunyai villa bertaman rimbun dan kolam renang yang indah. Semua yang datang menggunakan kostum yang sudah ditetapkan. Kami seperti masuk di masa lain. Ada juga yang menggunakan hiasan rambut bulu-bulu. Unik, seperti pesta kostum.Baru masuk, kami sudah disambut dengan minuman segar dengan hiasan manis berpayung kecil."Selamat datang Nyonya Adijaya!" sambut semua yang kami temui. Nyonya Besar salah satu tetua yang terkenal di sini. Mereka menghormatinya, kalau ada kesalahan pasti akan berpengaruh dengan bisnis yang berhubungan dengan keluarga Adijaya.Nyonya Besar, terkenal dengan ketegasannya.Walaupun sudah berumur
"Doakan semua lancar, ya!" Pagi ini, Mas Suma berpakaian formal. Kemeja lengan panjang berjas dan rambutnya pun disisir rapi. Sekarang aku memasangkan dasinya. Hmm ... aroma ini menjadi canduku. Bau segarnya Mas Suma. Suamiku kelihatan sangat gagah dan berwibawa."Huust ...! Kalau mengagumi suami, kedip dong! Apa masih kurang, yang tadi malam?" godanya sambil meniup wajah ini."I-iya, suami siapa dulu," sahutku sambil mengusap lengan dan dada untuk merapikan jas yang dia kenakan. Pagi ini, Mas Suma dengan team akan meeting terakhir dengan para investor. Informasi dari Desi, acara ini sekalian dengan pengesahan. Jadi kemungkinan kami bisa pulang lebih awal. Aku sudah sangat kangen dengan Amelia. "Mas Suma, nanti siang, Mami mengajakku makan siang. Aku kawatir, disuruh pakai baju aneh-aneh kayak kemarin. Bagaimana, ya?" tanyaku mengingat kejadian yang berakhir dengan kemarahannya."Tidak apa-apa. Mami sudah aku ingatkan. Jangan kawatir!" ucapnya, kemudian menarik kedua tanganku da
"Mas Suma ... Mas. Kenapa!?" Tergopoh aku menghampirinya yang terlihat berbaring dengan tangan terkulai ke bawah ranjang. Wajahnya agak pucat dan pandangan mata sedikit redup."Ran, aku lemas," ucapnya lemah. Aku raba dahinya tidak panas. Tangan, kaki normal. Kenapa, ya? Atau?"Mas Suma, sudah makan?""Tadi makan sedikit. Tidak selera. Aku istirahat saja. Ran, kamu duduk sini," katanya menunjuk tempat kosong di dekat kepalanya. Dia memeluk pinggangku sambil tiduran. Sambil mengusap-usap kelapa Mas Suma, aku membuka resep-resep di ponsel. Zaman sekarang sangat mudah, ya. Dulu, kalau mau masak enak harus tanya sana sini. Itupun belum pasti dapat. Sekarang, tinggal klik pilih yang di rasa cocok, dapat dah."Aku mau makan itu," teriak Mas Suma langsung merebut ponselku. Dia menunjuk satu gambar makanan di mangkok, Soto Betawi. Ternyata, tanpa aku sadari dia mengintip apa yang aku lakukan. "Aku mau ini, yuk, sekarang!" teriaknya langsung berdiri. Mas Suma yang beberapa waktu yang
"Rani, ikut aku!" Tanganku langsung ditariknya untuk masuk ke mobil. Udin, sopir kantor disuruhnya turun dan digantikan olehnya."Mas Suma, kita mau kemana?" tanyaku heran. Tadi, aku mengantarnya ke depan untuk pergi ke kantor. Sekarang, tiba-tiba pindah haluan mengajakku pergi. Dia sekarang suka berubah-ubah.Tanpa memperdulikan pertanyaanku, Mas Suma mengendarai mobil ke arah kantornya. Namun, mobil sudah berhenti sebelum sampai kantor. Mas Suma turun dan membukakan pintu untukku."Ran, turun. Kita sudah sampai. Pegang tanganku selalu, aku tidak ingin terjadi apa-apa dengan anakku," ucapnya sambil mengulurkan tangannya ke arahku.Dia selalu protektif terhadapku. Apalagi dr. Maria, dokter kandunganku, mewanti-wanti untuk hati-hati mengingat usiaku yang tidak muda lagi. Untungnya, tekanan darahku tidak tinggi. Jadi menurunkan resiko.Kami tiba di sebuah proyek pembangunan gedung yang masih ditutup seng tinggi di sekelilingnya. Sekitar lima blok dari kantor Mas Suma. Tidak terlihat o