Kabar kehamilanku dua bulan yang lalu, menambah kebahagiaan dikeluarga kami. "Adeknya Kak Amel yang di dalam. Nanti tidurnya sama kakak, ya. Jangan sama Mama. Kalau sama Mama, Papi suka marah," bisik Amelia sambil melirik Mas Suma yang duduk di sebelahnya. Seringkali dia mengajak bicara perutku yang belum begitu besar, ini. Bahagia rasanya, dia menerima kehadiran calon adik dariku.Hampir tiap hari, Amelia tidur di kamar kami. Walaupun, berakhir Mas Suma menggendongnya kembali ke kamar Amelia.Kondisi Mas Suma juga sudah stabil. Tidak ada rasa lemas ataupun mual lagi. Aneh saja, sih. Istri yang hamil, tetapi suami yang nyidam. Hanya, kadang-kadang mendadak dia ingin makan sesuatu yang harus ada saat itu juga. Kalau sudah seperti itu, Pak Maman dan Pak Satpam dibuat kalang kabut. Itu saja yang masih merepotkan sampai sekarang."Ma, Pi, aku turun dulu, ya! Amel ada PR!" kata Amel sambil turun dari ranjang. Kemudian dia berlari keluar."Akhirnya ... !" teriak Mas Suma melihat anakny
Sudah beberapa minggu ini, kami makan di luar. Ada saja permintaan Mas Suma dengan apa yang ingin dimakan. Yang membuatnya sebal, sudah sampai tujuan, eh ganti keinginannya. Akhirnya muter-muter lagi, mencari apa yang dia mau. "Nak ..., kamu kok nyiksa, Papi, ya?" kataku serambi mengelus perutku yang sudah mulai sedikit membesar. "Untung yang nyidam aku, Ran. Kalau kamu bagaimana? Sedangkan aku belum tentu ada di dekatmu. Demi kamu dan anak kita, aku rela disiksa seperti ini," ucapnya sambil mengelus punggungku. Kami makan siang di rumah makan Betawi. Mas Suma ingin makan Asinan Jakarta, itu saja yang dia makan, tidak mau yang lain. Padahal, nasi uduk dan ayam gorengnya enak sekali. Dan, soto Betawinya, uuff, endul! Padahal, kedua makanan ini sudah aku pesan untuk memancingnya supaya mau makan nasi.Tapi gagal! Dia malah menghabiskan Asinan Jakarta dua porsi! "Tapi, perutku ini, Ran. Sama-sama ikutan membesar. Itu yang aku tidak suka! Bisa tidak Hot Dady lagi, dong!" ucapnya k
"Mama, Kak Wisnu! Say, hai" teriak Amelia sambil mengarahkan ponsel kepadaku. Dia video call dengan Wisnu, anakku. "Hai .... !" ucapku, dan langsung ponsel ditariknya kembali.Selalu begitu, mereka selalu ada saja yang diomongin. Seperti sekarang, Amelia antusias cerita kalau dia baru saja memasak. Dia pamer dengan hasilnya.Mereka, sudah seperti saudara. Kadang-kadang bercanda, terus mengejek, akhirnya marahan. Tapi, besuknya akur lagi."Halo Honey, sudah matang, ya? Aku lapar," kata Mas Suma menghampiri kami."Wisnu?" tanyanya berbisik, menunjuk ke arah Amelia. Aku mengangguk mengiyakan. Mas Suma langsung menghampiri Amelia dan menyapa Wisnu."Hai, Wisnu. Sudah makan, kamu? Kapan kamu ke sini lagi? Om tidak ada temen main catur!" kata Mas Wisnu, langsung sabotase ponsel dari tangan Amelia. Yang merasa terganggu langsung merengut."Wisnu sudah makan, Om. Tadi di kantin bawah. Sekarang masih banyak-banyaknya tugas kampus, Om. Kalau ada kesempatan, pasti Wisnu ke sana!" "Setiap mingg
"Hari ini, aku ke Gallery ya, Mas. Aitu, menjemputku," kataku sambil merapikan dasi Mas Suma."Baiklah. Hari ini, aku ada meeting sampai siang saja. Kamu nyusul ke kantor, kita pulang bersama," ucapnya dengan menengadahkan kepala memberi ruang untukku untuk membenarkan ikatan dasinya."Meetingnya sama Pak Wahono Bandung, ngomongin perluasan produksi tekstil. Aku ingin tekankan yang pernah kamu katakan dulu. Sekalian susun strategi pengembangan," tambahnya.Suamiku dengan kemeja birunya terlihat berpenampilan rapi. Apalagi nanti dipasangkan dengan jas warna hitam.Selalu begitu ketika meeting ataupun bertemu tamu, karena itu wujud dari penghargaan terhadap yang datang dan keseriusan kita untuk bekerja."Hari ini, Mas Suma kelihatan rapi. Apa karena meeting dengan Pak Wahono atau karena mau bertemu Catherine? Kok dandannya lebih keren, ya?" tanyaku sambil memicingkan mata.Catherine, anak Pak Wahono yang juga bekerja di perusahaan itu. Dia pernah terang-terangan suka dengan Mas Suma, te
Wajahku langsung membeku. Kaki dan badanku terasa lemas. Melebihi rasa sakit, yang aku rasa sekarang ini. Rasa ini, sama ketika menerima foto-foto Mas Bram dengan keluarga barunya. Seperti luka lama yang tertoreh kembali. Dan, sekarang.Mas Suma yang aku percaya ternyata juga sama.*"Bu Rani! Ada apa!" teriak Aitu tergopoh menghampiriku yang terduduk lemas di kursi tunggu. Dia langsung menjemputku setelah aku menghubunginya."Saya merasa tidak sehat, lebih baik saya pulang!" kataku dengan nada datar. Aitu, langsung membawaku menuju rumah. Sepanjang perjalanan, aku teringat dengan yang aku lihat tadi. Pasti wanita itu Catherine. Dari perawakannya yang terlihat kurus tinggi, rambut panjang dan kulit putih. Maksudnya apa, coba! Di kantor, gendong-gendongan. Mas Suma, juga. Dia mau-mau saja.Laki-laki kalau bertemu jidat klimis, sama aja. Tidak bisa dipercaya! Baru saja tadi pagi dia bicara manis denganku, sekarang sudah lupa.Huuft .... !Dadaku masih terasa sesak. Dalam keadaan sep
"Jaga diri ya, Rani!" Aku menatapnya dan mengangguk.Mas Tiok, berbalik dan melangkah pergi meninggalkanku. Aku lihat punggungnya yang kokoh dan terjuntai ikatan rambut yang panjang melebihi bahu. Badannya tegap, tinggi kurus dengan kulit agak gelap, kemaskulinannya terlihat kental.Dari dulu, dia sangat baik kepada semua orang, terutama kepadaku. Dia selalu menawarkan bantuannya tanpa menuntut balasan. Walaupun dia tahu, saat itu aku sudah bersama Mas Bram.Dia selalu menekankan, bahwa dia adalah seorang teman yang siap membantuku.Dan, baru saja dia, menawarkan untuk tempat bersanda, dengan keadaan tidak jauh beda. Aku yang sudah bersama Mas Suma. Tawaran sama yang selalu terbuka sampai sekarang.Saat wanita sedih ataupun terpuruk, tawaran uluran tangan dari pria lain adalah godaan terbesar. Mereka akan terlihat lebih baik, pastinya.Huuff...Aku hela napas panjang, untuk mengembalikan logikaku. Diriku tidak boleh terjebak dalam rasa bimbang ini. Walaupun, pesonanya begitu menggod
Pov KusumaAkhirnya, urusan di rumah sakit selesai. Catherine sudah diperiksa dan mendapatkan kamar. Anak ini, dari dulu selalu begitu. Penampilan fisik selalu diutamakan tanpa memperdulikan kesehatan. Gara-gara diet, dia pingsan karena lambungnya tidak kuat.Dulu pernah juga. Dia keracunan zat kimia perawatan kulit. Ternyata klinik langganannya termasuk ilegal.Entah, apa yang dijadikan obsesinya. Padahal penampilan juga sudah bagus. Tubuh langsing, jauh dari kata tidak sempurna.Yah, begitulah. Prioritas orang berbeda-beda.Untung aku punya istri seperti Maharani yang ke salon saja, kalau tidak dipaksa, malas. Dia lebih suka mengurus aku dan rumah. Kebutuhan keluarga dijadikan utama. Bahagia sekali, aku menjadi suaminya.Kalau seperti Catherine, oh no ....Pasti kami akan terlantar karena dia memprioritaskan penampilannya sendiri. Yah, mungkin dibawa ke arisan bisa, sih. Tapi kalau untuk jadi ratu di rumah, kayaknya tidak cocok. Apalagi, aku ada Amelia yang membutuhkan perhatian
Pov Kusuma'Tring'[Suma, paket sudah sampai? Itu untuk calon cucuku] Pesan dari MamiApa lagi, yang kirim. Jangan sampai dia kirim kuda untuk dedek yang belum lahir ini.Mami .... Mami .... ***"Mami mau kirim apa, Mas?" Mas Suma menunjukkan pesan dari Nyonya Besar kepadaku. Kemarin, paket yang ditunggu belum sampai. Kemungkinan, hari ini. Entah, paketnya apa dari Nyonya Besar. Semua menunggu dengan penasaran."Eyang Uti ya, Ma? Buat dedek?" kata Amelia ikutan nimbrung mendekat ke papinya."Hadiah dari Eyang itu, keren lo. Aku aja, dapet Alberto - kuda impor yang keren," ujarnya sambil menunjukkan jempolnya. "Ato, jangan-jangan dedek dikasih kuda poni! Jadi, Amel bisa main kuda bareng dedek! Asyik!" teriak Amelia antusias, dia loncat-loncat kegirangan. Dari kemarin dia selalu cerita, kalau adiknya lahir pingin main ini, main itu. Imajinasi sering kali aneh-aneh. Kadang-kadang membuat kami tertawa. Yah, maklum baru kali ini mau dapet adik."Ada-ada saja, anak papi, ini," kata mas