Aku langsung terkejut dengan dengan ucapannya. Sontak, dudukku langsung tegak dan menghadap ke arahnya. "Mas!" Aku berteriak dengan mata membulat dan kedua alis berkerut berusaha mencari tahu yang terjadi. Apa aku melakukan kesalahan? Atau dia cemburu yang tidak beralasan seperti biasanya? Atau .... Banyak spekulasi berputar di kepalaku."Iya aku menyesal!" ucapnya lagi. "Aku menyesal, kenapa tidak dari dulu, kamu aku paksa menikah denganku!" katanya dengan tersenyum jahil dan menarikku kembali ke posisi semula.Iiihh.... Bikin kesal! Aku cubit pinggangnya untuk mengalihkan kekesalanku. Sudah mulai pintar dia menjahiliku. "Aw!" teriaknya mengaduh. "Benar kan, Rani! Kalau menikah denganmu enaknya seperti ini, kenapa harus buang waktu! Ha-ha-ha."Udara dingin ini membuatku semakin membenamkan di pelukannya untuk mencari kehangatan. Sembari mengingat lika-liku perjalanan kisah kami. Akhirnya, di titik inilah kami, menautkan hati untuk bersama selamanya. "Mama ...! Papi ...!" ter
"Rani, kamu istirahat saja! Simpan tenaga!"Mas Suma menarik tempat duduk di meja makan. Dia memperhatikanku yang sibuk mempersiapkan apa saja yang harus memasak. Bahan-bahan sudah dibersihkan Bik Inah seperti yang aku minta. "Bik Inah, saya akan pergi dengan bapak. Tolong bersihkan ayam setelah itu kasih perasan jeruk nipis. Kalau daging, ini dipotong tipis lebar, yang ini potong dadu. Kalau ikannya dibersihkan dan direndam jeruk nipis. Siang, kami sudah pulang," pesanku tadi pagi.Pagi tadi, kami ke kantor Mas Suma. Syukuran pernikahan kami sekaligus memperkenalkanku kepada semua staff di sana. Desi juga memperkenalkan rekan sekretarisnya yang nantinya akan menghandle urusanku sekaligus akan membantuku di gallery nantinya. Namanya, Lukito, anak muda sekitar umur dua puluh an. Kelihatan dia energik dan semangat."Rani, masaknya banyak sekali!" teriak Mas Suma dari meja makan. Dia heran melihat banyaknya bahan di meja dapur. Sekarang ruang kerja jarang dipakai, dia lebih sering ke
Bab 59. Menggadaikan Kebebasan Hari ini, hari terakhir di rumah sebelum berangkat besuk pagi. Aku mulai mempersiapkan apa yang akan dibawa hari besuk. "Ran, apa yang kamu lakukan?" tanyanya melihatku mengeluarkan baju untuk dibawa besuk."Packing, Mas. Untuk besuk!" kataku tanpa melihatnya. Bajuku, baju Mas Suma, alat mandi, make-up dan printilan lainnya."Honey, kita tidak usah bawa apa-apa. Bawa peralatan pribadi saja. Semua baju dan perniknya sudah disiapkan Claudia di hotel masing-masing," jelasnya sambil tersenyum.Akupun menoleh ke arahnya sambil mengerutkan dahi. Maksudnya, kami disiapkan baju baru lagi oleh Claudia. Apa tidak pemborosan? "Sedikit demi sedikit, kamu harus menyesuaikan diri dengan kebiasaan kami. Tepatnya, keharusan kami," ucapnya sambil menarik tanganku untuk duduk di sampingnya. "Kita, dituntut bersikap dan berpenampilan number one. Image kita, wajib dijaga. Karena, kita adalah wajah perusahaan. Besuk, kita akan menjadi pusat perhatian banyak mata dan bah
"Tapi, sekarang kan, ada kamu. Nanti setelah acara kita jalan-jalan, ya?" katanya sambil menggenggam tanganku, seakan mengerti apa yang aku pikirkan. "Mas Suma, kalau di Jogja. Enak jalan-jalannya naik motor. Lebih romantis," kataku dengan sudah ada Malioboro, istana, tengkleng, gudeg, yang menari-nari di otakku."Sudah sampai. Ayok kita turun!" kata Mas Suma. Dia belum sempat menjawab permintaanku tadi.Masuk areal pabrik, kami sudah disambut ratusan karyawan dengan antusias. Hari ini, mereka diliburkan dan merayakan kedatangan kami. Acara langsung dimulai.Sambutan-sambutan dan memperkenalkanku sebagai istri Tuan Kusuma. Melihat mereka, tersirat harapan besar di wajah-wajahnya. Dibelakangnya ada keluarga yang harus mereka hidupi, makan, tempat tinggal, pendidikan dan kesehatan. Semua bergantung pada kelangsungan pabrik ini.Dan, muaranya di pundak Tuan Kusuma."Aku tidak sanggup melihat mereka, kalau tidak bisa menghidupi keluarganya. Waktu itu, sudah ada yang menawarkan membe
Perjalanan tadi sangat menyenangkan, malam hari kami baru sampai hotel. "Kenapa? Pegal?" tanya Mas Suma melihatku memijit kaki. Aku menjawab dengan mengangguk. Antusiasku membuat lupa akan kapasitasku sekarang yang tidak seenergik dulu. "Sini, aku pijit!" katanya. Kakiku langsung ditaruh di atas pangkuannya. Dan memijit dengan pelan dan lembut. "Mas Suma, tidak usah. Itu bukan mijit. Itu meraba. Geli, Mas," kataku dan aku tarik kakiku dari pangkuannya. "Ran, yang kita makan tadi daging kambing, ya?" tanyanya sambil menatapku serius. "Kenapa, Mas?!" tanyaku kawatir. Takutnya dia tidak cocok dengan makanan kaki lima. Gawat, padahal baru pertama perjalanan. Bisa urusan dengan Nyonya Besar. Aduh! "Reaksi makan daging kambing sudah mulai!" "Sakit perut?" tanyaku kawatir. "Iya, yang bawahnya," ucapnya sembari mengerlingkan mata. "Daging kambing, meningkatkan keinginanku akan kamu, Ran," ucapnya sambil mencolek hidungku dan tersenyum jahil. "Mas Suma." "Ran, aku ingin segera
"Catherine, perkenalkan ini istriku, Maharani," ucap Mas Suma, sambil menarik tanganku untuk lebih dekat kepadanya. "Maharani, ini Catherine, putri pak Wahono," tambahnya sambil menunjuknya. Kami saling berjabat tangan. Dia membalas senyumanku dengan sekilas, seraya menyebut namanya. Kemudian, kembali mengalihkan pandangan ke suamiku. Tatapannya sekilas seperti dingin terhadapku. Ada ketidaksukaan tersirat di sana. Ah, mungkin perasaanku saja.Pantas saja, dia bukan staff biasa. Ternyata dia putri dari Pak Wahono, beliau pemilik saham terbesar setelah keluarga Adijaya. Kami melanjutkan masuk ke dalam ruangan. Pak Wahono langsung menyambut kami."Ini istrimu Suma! Cantik!" kata Pak Wahono tersenyum ramah.Beliau kelihatan bersemangat, wajahnya segar, badannya tinggi besar dan yang unik, rambutnya berwarna putih semua. Kami berjabat tangan dan diantarkan ditempat duduk yang sudah disiapkan."Nak Suma ini, sudah saya anggap anak sendiri. Saya dan Pak Adijaya, sudah bekerjasama
"Siapa sebenarnya, Catherine, Mas?" tanyaku ketika kami duduk-duduk di Jalan Asia Afrika. "Kamu, cemburu?" tanyanya sambil tersenyum simpul. Dia menatapku memastikan apa yang ada dipikiranku."Tidak, aku tidak cemburu. Aku hanya tidak suka sama Mas Suma!" kataku ketus."Aku?! Aku tidak berbuat apa-apa. Catherine saja yang agresif, kok aku disalahin?" katanya dengan masih muka tanpa dosa."Aku tidak perduli dengan semua perempuan yang suka dengan Mas Suma! Tapi, kenapa Mas Suma tidak cerita tentang dia sebelum datang ke sini? Jangan-jangan sengaja, ya?!""Sini-sini," kata Mas Suma lembut. Dia menarikku untuk lebih dekat dengannya. Tangannya merangkul pundakku."Dulu aku sering ditugaskan ke sini dan bertemu dengannya. Catherine sudah aku anggap adik. Ternyata, dia mempunyai perasaan lebih kepadaku," jelasnya."Dia kan muda, cantik, pinter, sexy lagi. Kenapa tidak mau?""Ran, aku hanya menganggapnya adik!" ucapnya tegas. "Puncaknya, satu tahun yang lalu. Dia menyatakan keseriusannya ke
"Jangan taruh telormu di satu keranjang," kata Mas Suma ketika aku bertanya, kenapa bidang bisnisnya beragam dan tersebar di banyak kota."Ran, kami ini pebisnis. Dimana ada potensi dan peluangnya bisa kami perbesar, disitulah yang kami garap!" jelasnya. "Apa tidak membuang energi?" tanyaku masih tidak paham. "Ini lebih ekonomis dan menguntungkan, daripada kita membentuk potensi baru," tambahnya.Pantas saja, bidang bisnis disesuaikan dengan potensi daerah. Seperti di Jogja, kerajinan dan furniture dan di Bandung tekstil dan fashion. Entah di Jakarta dan ada juga di Kalimantan, kami belum bicarakan.Perjalanan bisnis ini, memberiku banyak pelajaran. Kalau sebelumnya sekedar teori, dan sekarang aku tahu prakteknya.Banyak pekerjaan rumah yang harus kami diskusi setiba di rumah nanti.*"Mas Suma, kita memakai baju casual ini?" tanyaku memastikan lagi.Baju yang disiapkan untuk kami, baju kaos berkerah dan celana jeans. Tidak seperti biasanya, yang harus memakai baju formal."Iya, in