Hai pembaca. Maaf, beberapa hari libur. Tangan saya sakit karena mengendarai motor dan ngunsep ke mobil yang mengerem mendadak. . Sehat dan hati-hati selalu, ya.
“Enak, ya, Kak Wisnu, sering liburan,” ucapku langsung menghubungi dia. Pikirku, mumpung ponselnya masih aktif. Berarti dia tidak sedang di proyek, sekalian ingin menjawab rasa penasaran ini. Sambungan telpon ini videocall. Aku ingin tahu apartemen tempat tinggal Kakakku ini sekarang. “Iya, lah. Di sini banyak pantai, wisata pegunungan, danau, budaya, pokoknya banyak.” “Enak, ya. Kak Wisnu pasti bareng sama teman-temannya,” ucapku sambil menajamkan mata ke arah belakang Kak Wisnu. Menilik dari yang tertangkap di layar, apartemennya terlihat rapi dengan nuansa maskulin. “Iya. Pas ada, Om Tiok. Sekarang dia kan belum kembali. Katanya delay satu minggu untuk bulan madu. Makanya tidak ada temen,” seru Kak Wisnu sambil tertawa. “Terus, Kak Wisnu ke pantai sama siapa?” “Hmm? Pantai?” “Iya. Yang difoto profil ini,” ucapku tidak lepas dari ekspresi wajah Kak Wisnu. Sesaat dia terlihat bingung dengan yang aku maksud. Wah, jangan-jangan ada yang disembunyikan. “Oh. Foto ini. Itu foto
“Kevin! Tidak lucu, tahu!” teriakku kesal.“Habisnya kamu ini sudah mikir yang aneh-aneh,” serunya sambil tertawa terbahak-bahak, memperlihatkan matanya yang menyipit menggemaskan.Bukan salahku kalau aku berpikir keliru. Pemandangan yang tampak di layar memperlihatkan ada shower di belakangnya, tergantung di dinding bebatuan berwarna hitam. Itu kan seperti di kamar mandi.“Aku tadi baru datang. Dan langsung berenang mengusir penat. Ini aku sudah selesai dan membilas badan. Eh, kamu nelpon.”“Tidak dingin?”“Tidak. Justru badan jadi segar. Berenang kan semua anggota tubuh bergerak. Kalau di sana aku tidak sempat olah raga. Eh, sempat, ding. Olah raga angkat beban pas gendong kamu,” serunya semakin membuatku kesal. Sekarang penampakan di layar berganti. Dia sudah berpindah di bawah payung berwarna coklat susu.Aku mendegus. “Kamu tidak iklas nolongin aku, ya?”“Aku justru senang. Besuk kamu jadi ke sini, kan? Aku gendong lagi.”“Ngawur!”“Entar, ya,” ucapnya, kemudian layar ponsel berg
“Kak Amel banyak sekali baju yang akan dikemas? Kita cuma dua hari di sana.” Suara Mama mengagetkan aku.Terus terang aku bingung baju mana yang akan aku pakai. Nanti aku kan jalan-jalan dengan Kevin, harus menggunakan baju yang tepat supaya tidak salah kostum. Iya kalau jalan-jalannya di mall, kalau justru di pantai, atau di pegunungan? Tidak mungkin aku menggunakan baju cantik, kan?Aku menghela napas sambil mendudukkan diri di antara tumpukan baju, sambil menatap lemariku yang nyaris kosong.“Mama …. Tolongi Amel,” ucapku sambil mengerjapkan mata. Jurus jitu kalau meminta sesuatu. Mama tertawa. Dia tidak membantuku, justru menarik kursi dan duduk tepat di depanku.“Kak Amel bingung?”“Iya, Ma. Acaranya kan banyak. Belum nanti acara dengan teman-teman Papi, sama keluarga Tante Elysia, terus belum kalau Kevin ajak Amel jalan-jalan.”Mama tersenyum, kemudian mengambil kertas dan bolpoin, kemudian menyerahkan kepadaku.“Sekarang coba catat semua yang Kak Amel bilang tadi. Terus, pilah
Aku tuh sering seperti ini. Otakku seakan berpikir sendiri tanpa aku perintah. Dia selalu menyodorkan segala asumsi yang cenderung berpikir berlebihan. Ini seperti dugaan yang belum tentu benar, walaupun berpijak pada segala fakta. Seperti sekarang, Kevin tergelak saat aku mencecarnya dengan omelan tentang tempat yang tidak biasa itu. “Kevin! Ok lah itu memang kamu melihat seperti biasa saja. Tetapi itu budaya luar yang tidak sesuai dengan budaya kita. Tempat-tempat seperti itu, kalau kita tidak mempunyai dasar yang kuat, kita akan terjerumus. Apalagi kita mempunyai keinginan dan cita-cita yang belum tercapai. Kamu mau kalau mengalami kegagalan dalam kehidupanmu hanya gara-gara penasaran dengan tempat gituan?” Si Kevin memasang wajah menyebalkan. Mulutnya sedikit terbuka terlihat seperti orang bodoh tetapi imut. Ngeselin! “Kita ini masih muda, Kevin. Jangan sampai mengecewakan orang tua yang sudah meletakkan harapan tinggi di pundak kita.” “Memang apa yang kita lakuin salah?” “Ya
“Puas kamu tertawa?”“Habisnya kamu ini lucu, Mel. Sudah kamu jangan berpikir tentang pakaian. Nanti aku belikan di sini sesuai dengan kemana kita akan pergi. Ok deal?” ucap Kevin terdengar santai. Senada dengan yang diucapkan Mama.“Iya, deal,” jawabku, kemudian layar ponselpun menggelap setelah kami say goodbye. Aku tersentak mengingat sesuatu. Bukankah aku memberi tugas ke anak ini? Kok dia belum laporan? Sekali lagi aku menelponnya. Seakan hilang, dia tidak mengangkat telpon.Pasti dia sudah bosan mendengar suaraku. Huuft!“Loh, Kak? Belum selesai packingnya?” Mama membuka pintu dan menunjukkan wajah heran.Aku tersenyum. “Beres, Ma. Sudah kebayang apa yang harus Amel bawa, kok. Sudah OK.”“Ya, sudah kalau begitu. Pending dulu. Kita makan bersama. Itu Papi sudah siap di depan,” ucapnya, kemudian menutup pintu kamar kembali.Keluar dari kamar, Papi langsung melambaikan tangan. Menyuruhku mempercepat langkah. Kebiasaannya kalau sudah lapar dan ingin segera makan. Pantas saja Papi
Terdengar tidak adil kalau faktor keluarga diikutkan, saat menentukan pilihan pasangan. Namun, apa salahnya kalau memilih yang terbaik dari mereka yang baik ini? Seperti Rangga dan Kevin. Dari percakapan kami, mereka menunjukkan keseriuasan dan rasa sayang kepada Amelia. Mereka tahan dengan sikap manja, keras kepala, dan judesnya Amel. Amel pun juga menunjukkan ketertarikan dengan mereka.Pertanyaan Mas Suma yang memaksaku berpikir keras, menentukan yang terbaik. Memang ini terlalu dini untuk dibicarakan. Langkah mereka masih panjang, tapi kalau sudah mulai menyatakan cinta, bukankah lebih baik ditegaskan dari awal? Daripada mengulur waktu dan terkesan memberi harapan palsu.“Namun apa, Ran?” tanya Mas Suma dengan memicingkan mata.“Ini hanya pendapat aku, ya, Mas? Bukan suatu kebenaran.”“Iya, aku mengerti. Ini juga sebagai bahan pertimbangan, Ran. Aku tidak mau Amelia nanti mengalami kegagalan seperti aku,” ucapnya sambil mengangguk. Seakan memantapkan aku untuk bicara.“Mereka berd
Hampir semua orang ingin berlibur di Bali. Tidak hanya orang kita, orang manca negara pun menaruh Bali sebagai pilihan tujuan berpergian. Aku menatap ke sekeliling, menikmati wajah-wajah ceria yang bersiap melepas penat. Berbanding terbalik dengan yang aku rasakan, aku justru membutuhkan keberanian lebih untuk menapak lagi di sana. Kaki ini melangkah memasuki pesawat. Seperti dulu, saat pertama aku menjadikan Bali sebagai tujuan. Dulu aku dan Mas Bram sama-sama masih muda dan miskin pengalaman. Hanya berbekal nekadlah, kami bisa menghadapi masalah dunia. Itu dulu. Bedanya, sekarang aku bersama Mas Suma, lelaki terakhirku. Di belakang, mengekori Amelia dan kedua pengasuh bersama balitaku. Mereka bukti kalau aku sekarang baik-baik saja, bahkan lebih berbahagia. “Ran …?” “Saya duduk sama anak-anak. Denish dan Anind merengek.” “Trus aku?” “Mas Suma duduk bersama Amelia,” ucapku sambil mengarahkan pandangan ke bangku berjajar dua. “Kita berpisah?” Aku tertawa. “Mas Suma. Ini lo k
“Kevin! Selalu begitu. Apa-apa telat.” Amelia melipat tangannya di depan dada, bibirnya cemberut dengan melepar tatapan kesal kepada pemuda itu. “Selamat datang, Tante Rani, Om Kusuma,” ucapnya sambil mengulurkan tangannya ke kami. Dia berbincang menanyakan kabar kepada Mas Suma. Aku tersenyum setelah mendapati Amelia yang semakin cemberut. Sambil menyenggol lengannya, aku berbisik. “Tadi ditunggu. Sekarang datang, malah dicemberutin.” “Kesal, Ma.” “Sudah. Ini kan liburan. Jangan merugi dengan cemberut yang mengurangi rasa senang. Mama ajak Papa sekarang. Kalau dibiarkan, ngobrolnya tidak selesai,” ucapku kemudian menghadapkan dia kepadaku. “Ayo. Anak Mama tidak boleh cemberut. Senyum.” Dia menarik kedua sudut bibirnya membentuk lengkungan. Senyuman yang memaksa. “Mas Suma. Aku kita berangkat sekarang. Denish dan Anind sudah berangkat duluan.” Aku menepuk lengan suamiku, memaksa dia untuk menyudahi obrolannya. “Loh, terus Amelia?” Mas Suma menunjuk Amelia yang bersiap dengan ta