jadi pengen
“Sudah dingin kan hatinya?” Aku melengos. Aku tidak menyerah. “Makasih minumannya. Tapi ini tidak menghapus dosamu.” Dia tertawa kecil. “Iya aku mengerti. Dengar, ya, Amel. Tadi itu aku surfing. Tidak mungkin aku angkat telpon.” “Tapi setelahnya kan bisa menjawab pesanku. Iya, kan?” sahutku tidak terima alasan yang terdengar mengada-ada. “Iya. Aku salah. Aku pikir, kita kan sebentar lagi ketemuan. Maafin, ya?” ucapnya sambil menjulurkan tangan. “Maaf dikit,” ucapku sambil menyambutnya. “Gitu, aja?” “Terus. Apa lagi?” tanyaku dengan kening berkerut. “Senyum, Mel. Nanti dipikir orang-orang kita bertengkar,” ucapnya sambil menelengkan kepala dengan tatapan lekat ke arahku. “Biarin,” ucapku sambil mengalihkan pandangan ke jendela kaca. Apa dia tidak sadar kalau kelakuannya menggangguku? “Senyum dikit, ajah.” “Apaan, sih,” seruku sambil melambaikan tangan di depan wajahnya. Senyum ini mengembang dengan sendirinya. Marahan sama orang ini, aku tidak bisa lama. Padahal dari ta
Katanya, kalau menyukai seseorang karena penampilannya, itu tidak akan bertahan lama. Orang yang kaya, bisa miskin. Begitu juga wajah tampan, nantinya akan keriput di masanya. Aku mengerti itu. Namun, yang di sebelahku ini mempunyai pesona yang mulai mengusik hati. Di sinilah kami, di pantai Seminyak untuk rehat sebentar menikmati es krim. Kami duduk di atas pasir dengan bertelanjang kaki. Pantai ini banyak juga pengunjungnya, tetapi tidak sepadat di pantai Kuta. Restoran berjajar di seberang jalan, sedangkan di pantai banyak pengunjung bermain pasir dan mandi di pantai. “Kevin!” “Apa?!” jawabnya sambil menoleh. Aku berhasil mengambil foto selfi dengan latar belakang dia yang kaget. Matanya membelalak dengan mulut terbuka. Ekspresi terkejut yang terlihat jelek, walaupun tetap meninggalkan jejak ketampanan. “Sudah!” ucapku setelah memposting status dengan caption: Liburan di Pulau Dewata dengan sahabat yang jelek. “Kamu posting foto kita barusan?” tanyanya sambil menikmati es krim
“Ingin makan apa gitu?” tanya Kevin sambil menjalankan mobil dengan pelan.Jalanan yang dipenuhi pejalan kaki, memaksa pengendara untuk hati-hati. Wisatawan tidak hanya terlihat berjalan, tetapi beberapa mengunakan sepeda motor. Mereka bersantai dengan menggunakan baju pantai dan bertelanjang kaki yang penuh dengan pasir.“Tidak.” Aku bersendekap, tubuh sedikit miring ke arah jendela. Enggan radanya melihat Kevin, kesal sekaligus malu. Bisa-bisanya aku bersikap bodoh seperti tadi.“Tidak lapar? Tadi kan cuma minum dan es krim.”“Dibilangin tidak.”“Di sini makanannya enak-enak, lo. Pizza pun rasanya authentic. Karena yang bikin orang asli Italy. Begitu juga spagetti, salad, dan juga burger yang dari sono. Chef nya dari luar, pemiliknya juga,” jelasnya tanpa merasa bersalah kalau yang membuatku kesal adalah dia.Seandainya tidak mendapati foto tadi, seharusnya aku bisa berkulineran dulu. Daripada buru-buru ke villa dan beramah tamah dengan teman-teman Papi. Ngobrol dengan mereka, ditu
“Apa kurang jelas yang sering aku lontarkan kepadamu, Mel?”Aku tersenyum, menatapnya sambil memastikan kesungguhan. Bukan kesungguhannya, tetapi kesungguhanku. Apa aku siap berjalan bersama dengan laki-laki yang banyak dipuja oleh perempuan. Memang Kevin tidak menunjukkan laki-laki yang genit, mengobral rayuan gombal ke sana-sini. Namun, diamnya dia sudah menjadi daya tarik tersendiri, apalagi kalau dia tersenyum. Perempuan mana pun pasti akan mengsalah artikan.Nantinya, bukannya tidak mungkin ada Angel yang lain, yang memberi tatapan mendamba ke laki-laki di depanku ini.Sebenarnya, kalaupun aku mempunyai pacar, inginnya yang bertampang tidak terlalu tampan di depanku ini. Bayangkan kalau ada orang yang menyatakan suka kepada pacar kita? Wah, bisa jantungan.“Jelas banget,” ucapku memantik senyuman darinya. “Tapi lebih jelas kalau pizza ini sangat lezat!” seruku sambil melebarkan mata dan tertawa. Aku menyodorkan satu potong pizza kepadanya, kemudian mengambil untuk diriku sendiri.
Kepala yang memerintahpun kehilangan kuasa, dan semua indera seakan berjalan sendiri. Tidak ada akal apalagi pemikiran yang berpijak pada jati diri. Kami berdua tunduk pada dorongan primitif yang mulai menguasai. Semakin tidak bisa berkutik, terlebih lari. Entah terlempar kemana spatula yang dia pegang tadi. Seperti bahan bakar yang tumpah dan sekarang terpantik api, kamipun sama-sama terbakar api gairah. Sarung tangan yang dia kenakan pun tidak sempat terlepas. Tidak peduli dia menggenakan celemek, dan adonan tepung yang perpindah di leher ini, kami pun saling berpagut. “Rima. A-aku …,” ucapku sesaat setelah mengambil jeda untuk meraup napas. Mata ini menatapnya dengan sendu. Sejuta keinginan untuk melahap habis wanita indah di depanku ini. Dia begitu indah dan mulai mencaduiku. Otak sadarku seperti memberi tanda kalau dialah yang patut untuk didamba. Ingin berontak pada keinginan ini, tapi aku seperti terlumpuhkan dengan bibir merah yang sedikit terbuka ini. ‘Aku tidak sanggup,’
Apa salah kalau sebagai orang tua ikut campur memilih jodoh untuk anak? Seperti aku yang mengharapkan Amelia mendapatkan pasangan yang tepat. Memang tidak untuk disegerakan sekarang. Namun, bukankah lebih baik dia mendapatkan cinta satu kali dalam hidupnya. Tentu saja, itu yang terbaik dari pilihan yang baik.Seperti sekarang ini. Aku berbicara dengan Elysia. Aku, dia, dan Hendra, duduk di meja bar, menghadap pemandangan kolam renang yang seakan bersambung dengan samudra.“Suamiku titip salam untuk kalian. Sebenarnya aku juga marah kepadanya karena di hari ulang tahunku, dia justru mementingkan bisnis. Namun, aku mendapatkan hadiah besar darinya, mengundang kalian semua,” ucap Elysia sambil memandang aku dan Hendra bergantian.Maharani menemani Denish dan Anind. Mereka masih beradaptasi dengan lingkungan baru. Sedangkan Jenifer mengikutinya. Katanya, sekalian latihan kalau nanti secepatnya mendapatkan momongan.“Kita bisa mengenang masa-mas sekolah dulu.”“Sekalian melupakan berapa us
“Apa yang kalian inginkan sebenarnya? Ingin segera diresmikan hubungan kalian?” Aku langsung melontarkan pertanyaan. Mata ini memindahi mereka, Wisnu dan Rima yang duduk tepat di depanku.*“Wisnu. Kenapa kamu tidak ke villa? Tidak kangen dengan mama dan adik-adik kamu?”“Besok, Pi. Wisnu masih ada pekerjaan.” Jawaban yang memantik kesal di hati ini. Tidak pernah aku merasa kesal kepada anak ini. Aku selalu membanggakan dengan kepintaran dan kepatuhannya. Namun, kenapa kali ini dia teledor?“Pekerjaan apa sampai kamu tidak sempat menyambut kedatangan Mama kam? Dia sudah berusaha memaksakan diri untuk menginjakkan kaki di tempat ini? Apa kamu sibuk dengan Rima?” ucapku langsung to the point .Setelah sambungan telpon Pak Santoso Lee terputus, hanya satu yang ada di pikiran ini. Menuntut jawaban ke Wisnu. Memang dia bukan anak kandungku, tetapi dia adalah tanggung jawabku. Hitam putih yang dia lakukan, merupakan cerminan apa yang kami bekalkan kepadanya. Apalagi ini menyangkut anak ora
Boleh pacaran apalagi usia sudah matang. Namun harus diiingat, berhubungan itu bukan sekadar berdasarkan rasa suka dan ucapan cinta, ada tanggung jawab yang tidak boleh diabaikan. Tidak hanya pada diri sendiri, tetapi terhadap keluarga.“Ran. Aku jalan-jalan. Apa aku balik lagi ke villa saja?” tanyaku setelah sambungan video call dengan Maharani tersambung. Aku mengedarkan camera ponsel ke sekitar, yang menunjukkan beberapa artshop dan keramaian trotoar di jalan Seminyak.“Tidak usah, Mas. Aku ajak Denish ke restoran depan saja. Mungkin dia bosan saja.” Kemudian dia mengarahkan ke Denish. Kemudian say hello dan layar pun menggelap.“Sudah?” ucapku sambil menatap Wisnu yang berdiri diam di depanku. Dia mengangguk sambil tersenyum kaku. Sikap tidak enak masih kentara sampai sekarang.Benar yang diucapkan tentang rencana mereka. Rima mencari tempat penginapan. Di mobil Wisnu sudah ada koper dan bawaan Rima yang lain. Karenanya, aku menyuruh mereka mencari penginapan tidak jauh dari kami