Pelayan yang datang, mengurungkan niatku untuk turun ke panggung. Perut yang melilit mengingatkan aku akan rasa lapar.“Pesan apa saja. Terserah kamu, Papi lapar sampai tidak bisa berpikir,” ucapku sambil menyerahkan buku menu kepadanya. Sengaja aku melakukan ini. Supaya suasana mulai cair.“Papi mau makan Indonesian Food, Italian, atau Europe?” tanya Wisnu setelah membuka-buka buku menu. Dia terlihat kebingunan dengan pilihan beragam.“Makanan Indonesia sajalah. Lidah Papi masih kampungan,” sahutku sambil tertawa. Banyolanku ternyata disambut tawa oleh Wisnu. Kemudian dia membuka halaman yang khusus makanan Indonesia.“Pi. Semua pakai bahasa Inggris.” Kemudian berpindah duduk di sebelahku dan menyodorkan buku menu. “Ini maksud pecel dan ini urap-urap, kan?” ucapnya sambil menunjuk diskripsi menu.“Indonesian salad with peanut sauce. Steamed vegetables with grated coconut for dressing. Kalau tidak tahu, bisa salah kita. Dipikirnya salad yang seperti di majalah-majalah itu,” tambahnya
“Rima pacar Wisnu ada di Bali?” ucap Maharani dengan kedua alis mulai bertaut. Kekawatiranku mulai terjadi. Padahal aku sudah mengatakan kalau Rima tinggal di penginapan dan Wisnu tetap di apartemen.“Tidak mungkin mereka tidak bersama. Pasti mereka di salah satunya. Kalau tidak di apartemen, ya di hotel. Mereka itu sudah beranjak dewasa. Mulai ada keinginan lebih kalau berduaan. Bagaimana ini, Mas. Apa tidak berbahaya? ”Tatapan Maharani menunjukkan kekawatian. Dia memegang lenganku. Aku tersenyum mencoba menenangkan, walaupun sebenarnya aku kawatir ketahuan. Mempunyai istri pintar, susahnya seperti ini. Tidak gampang dibohongi. Kalau tidak masuk akal, dia tidak akan percaya.“Ran. Kita kan kenal Wisnu anaknya seperti apa? Dia itu anak yang bertanggung jawab. Kamu sudah bekali dia dengan banyak hal. Tidak mungkin mereka salah jalan.”“Iya, Mas. Tetapi saat ada setan lewat, mana ingat semua pesan dan nasehatku. Kenikmatan lebih menarik perhatian dari pada larangan yang membosankan.”
Kami disambut dengan sepasang pekerja yang menggunakan baju tradisional. Yang perempuan menggunakan kebayak dengan selendang yang dililitkan di pinggang. Sedangkan yang laki-laki menggunakan baju safari dangan kepala mengenakan ikat kepala yang disebut udeng. Aku mengambil dua bunga jepun di tempayan tempat pintu masuk. Bunga berwarna putih kekuningan itu aku letakkan di saku baju. “Kita duduk di sana,” ucapku menunjuk tempat duduk khusus dua orang. Terletak di depan, ujung sebelah kiri. Kami duduk sambil menikmati alunan musik yang merdu. Lagunya Anita Baker, Givin You The Best That I Got, dilantunkan oleh penyanyi perempuan dengan indah. Suara dan lafalnya tidak menyangka kalau dia orang kita. ~~ We love so strong and so unselfishly. And I tell you now that I made a vow. I’am givin you the best that I got, baby. Yes, I tell you now. That I made a vow. I’am givin you the best that I got, honey. ~~ Aku ikut bersenandung di bagian reff. Terasa santai dan nyaman. Semua penat di p
‘Apa-apaan ini?’ Aku menatap Mas Suma yang melangkah ke depan. Dia menuju panggung dan berbicara dengan pemain musik. Mereka mengangguk senang, bahkan mengacungkan jempol ke arah suamiku. Semakin aku mengernyit, saat tangan Mas Suma menunjuk ke arahku. Tangannya diikuti mereka, dan aku pun menyambut dengan senyuman. ‘Oh, mungkin Mas Suma request lagu untukku,’ pikirku dengan hati kembali menghangat. Merasa dispesialkan. Namun, perkiraanku tergeser saat dia menerima gitar yang disodorkan oleh pemain musik. “Tes! Tes!” ucapnya sambil mengetuk pengeras suara. Dengan menggunakan bahasa Inggris dia melanjutkan bicara. “Terima kasih atas kesempatan yang luar biasa ini. Saya ingin mempersembahkan sebuah lagu kepada istri saya yang di sana!” serunya sambil menunjuk ke arahku. Semua pengunjung tertuju kepadaku. Tepuk tangan riuh menyambutnya. “Aih, Mas Suma ini ada-ada saja ulahnya,’ runtuk hatiku sambil menebar senyuman kaku. Malu karena menjadi tontonan seperti ini. Wajahku mulai mema
“Kamu tega meninggalkan aku, Ran?”Aku tertawa. Wajah Mas Suma yang terlihat menggemaskan saat berucap seperti itu. Matanya mengerjap dan menunjukkan raut wajah yang tidak sesuai dengan wajah yang tidak muda lagi.Memang aku akan kemana? Hanya berkeliling menikmati suasana saat matahari terbit. Memang masih gelap, tapi ini yang aku suka. Proses munculnya sinar matahari yang terkesan malu-malu yang aku cari.“Mas Suma mandi sana!” seruku tertawa sambil melemparkan bantal ke arahnya. Dia tertawa, kemudian beranjak dengan selimut melilit tubuhnya yang telanjang dada.Suasana begitu damai. Aku berkeliling di areal villa. Suara burung bersautan yang terbang diantara pepohonan. Villa yang aku tempati termasuk besar. Di ujung sana, berjejer villa dengan bangunan senada. Berderet dengan diselingi pepohonan yang dipadukan dengan tanaman hias. Jalan setapak dari batu, mempertegas kalau tempat ini menyajikan kenyamanan.Masih belum ada tamu villa yang terlihat. Yang ada hanya beberapa pekerja
Jalanan masih sepi, toko-toko pun masih tutup. Petugas kebersihan mengambil jadwal untuk memulihkan keindahan tempat wisata ini. Beberapa wisatawan manca negara terlihat berlari atau sekadar berjalan menikmati indahnya pagi di jalan yang masih lengang. Kami melewati jalan di pinggiran pantai Kuta. Angin laut menyapa dan deburan ombak pun seakan unjuk akan keberadaannya. “Orang-orang itu sedang apa, Vin?” Tanganku menunjuk pantai yang berjajar orang-orang bertopi caping. Dari jalan, terlihat mereka seperti berjajar dengan baju seragam. “Mereka tukang sapu, Mel.” “Pantai disapu?” tanyaku heran. Aku pernah melihat orang menyapu jalanan, tapi baru kali ini mendapati orang menyapu pantai berpasir. Mereka berjumlah banyak lagi. Kevin tertawa. “Amel. Memang kalau kita mendapati pantai bersih, indah, itu kerjaan siapa? Ya mereka itu. Saat kita masih molor tidur lagi, mereka melakukan tugasnya.” “Pasirnya tidak keikut?” tanyaku masih heran. Bik Inah di rumah menyapu dan membersihkan lant
“Kevin, pelan!”“Tahan, Mel. Tadi sudah dibilangin untuk pemanasan dulu, tidak dengar. Eh, ngeyel malah langsung ingin masuk saja.”Aku meringis, menahan sakit yang tidak terkira. Ternyata benar yang aku baca, ini sungguh menyakitkan. Tangan ini mencengkeram pundaknya, mencoba menahan sakit yang tidak kunjung reda. Sedangkan Kevin sibuk di bawah sana berusaha menghilangkan rasa sakit ini segera.“Sakit, Kevin!” teriakku sambil mengetatkan genggaman. Kevin berusaha meluruskan telapak kakiku yang kram. Awal yang sakit berangsur-angsur mereda. Betisku tadi terasa seperti ditarik, telapak kakiku pun kaku tidak bisa bergerak. Ini benar-benar saki.“Sudah enakkan?”“Hu-um,” jawabku, kemudian mensandarkan diri sandaran sunbed. Kevin memandangku, kemudian bernapas lega setelah aku menjawab. Mata yang sempat terpaku ke arahnya, aku alihkan ke langit biru. Bagaiamana tidak, anak sialan itu menyeka air yang menetes di wajahnya. Rambut basah menyempurnakan wajahnya yang selalu mematikku untuk
“Iya, lah, Vin. Coba kalau kamu mendapatkan foto Kak Wisnu. Satu saja. Pasti dia tidak mengelak kalau kemarin-kemarin sedang bersama Kak Rima. Telingaku benar-benar menangkap kalau Kak Wisnu memanggil sesorang dengan panggilan: sayang. Masak tukang paket dipanggil sayang? Tidak mungkin, kan?”Aku menegakkan diri, posisi serius dengan pembicaraan ini. Dia pun mengikutiku, bahkan kedua kakinya diturunkan untuk duduk menghadapku.“Amel. Sebenarnya aku tidak setuju kamu melakukan itu.”“Kenapa? Ini wujud aku sayang kepada kakak aku. Sesama keluarga harus saling mengingatkan. Bisa jadi Kak Wisnu lupa dan melakukan hal yang keliru. Iya, kan?” Dahiku berkerut sambil menatap Kevin. Dia kan anak tunggal. Jadi tidak tahu rasanya memiliki saudara, yang harus saling menjaga. Aku salah mencari teman ngobrol.“Nih, minum.” Aku melirik sambil dahi berkerut, dia yang menyodorkan kelapa muda. “Minum dulu supaya kepala dingin dan kita bisa melanjutkan bicara.”“Apaan, sih, Vin! Lagi serius begitu di