Kami disambut dengan sepasang pekerja yang menggunakan baju tradisional. Yang perempuan menggunakan kebayak dengan selendang yang dililitkan di pinggang. Sedangkan yang laki-laki menggunakan baju safari dangan kepala mengenakan ikat kepala yang disebut udeng. Aku mengambil dua bunga jepun di tempayan tempat pintu masuk. Bunga berwarna putih kekuningan itu aku letakkan di saku baju. “Kita duduk di sana,” ucapku menunjuk tempat duduk khusus dua orang. Terletak di depan, ujung sebelah kiri. Kami duduk sambil menikmati alunan musik yang merdu. Lagunya Anita Baker, Givin You The Best That I Got, dilantunkan oleh penyanyi perempuan dengan indah. Suara dan lafalnya tidak menyangka kalau dia orang kita. ~~ We love so strong and so unselfishly. And I tell you now that I made a vow. I’am givin you the best that I got, baby. Yes, I tell you now. That I made a vow. I’am givin you the best that I got, honey. ~~ Aku ikut bersenandung di bagian reff. Terasa santai dan nyaman. Semua penat di p
‘Apa-apaan ini?’ Aku menatap Mas Suma yang melangkah ke depan. Dia menuju panggung dan berbicara dengan pemain musik. Mereka mengangguk senang, bahkan mengacungkan jempol ke arah suamiku. Semakin aku mengernyit, saat tangan Mas Suma menunjuk ke arahku. Tangannya diikuti mereka, dan aku pun menyambut dengan senyuman. ‘Oh, mungkin Mas Suma request lagu untukku,’ pikirku dengan hati kembali menghangat. Merasa dispesialkan. Namun, perkiraanku tergeser saat dia menerima gitar yang disodorkan oleh pemain musik. “Tes! Tes!” ucapnya sambil mengetuk pengeras suara. Dengan menggunakan bahasa Inggris dia melanjutkan bicara. “Terima kasih atas kesempatan yang luar biasa ini. Saya ingin mempersembahkan sebuah lagu kepada istri saya yang di sana!” serunya sambil menunjuk ke arahku. Semua pengunjung tertuju kepadaku. Tepuk tangan riuh menyambutnya. “Aih, Mas Suma ini ada-ada saja ulahnya,’ runtuk hatiku sambil menebar senyuman kaku. Malu karena menjadi tontonan seperti ini. Wajahku mulai mema
“Kamu tega meninggalkan aku, Ran?”Aku tertawa. Wajah Mas Suma yang terlihat menggemaskan saat berucap seperti itu. Matanya mengerjap dan menunjukkan raut wajah yang tidak sesuai dengan wajah yang tidak muda lagi.Memang aku akan kemana? Hanya berkeliling menikmati suasana saat matahari terbit. Memang masih gelap, tapi ini yang aku suka. Proses munculnya sinar matahari yang terkesan malu-malu yang aku cari.“Mas Suma mandi sana!” seruku tertawa sambil melemparkan bantal ke arahnya. Dia tertawa, kemudian beranjak dengan selimut melilit tubuhnya yang telanjang dada.Suasana begitu damai. Aku berkeliling di areal villa. Suara burung bersautan yang terbang diantara pepohonan. Villa yang aku tempati termasuk besar. Di ujung sana, berjejer villa dengan bangunan senada. Berderet dengan diselingi pepohonan yang dipadukan dengan tanaman hias. Jalan setapak dari batu, mempertegas kalau tempat ini menyajikan kenyamanan.Masih belum ada tamu villa yang terlihat. Yang ada hanya beberapa pekerja
Jalanan masih sepi, toko-toko pun masih tutup. Petugas kebersihan mengambil jadwal untuk memulihkan keindahan tempat wisata ini. Beberapa wisatawan manca negara terlihat berlari atau sekadar berjalan menikmati indahnya pagi di jalan yang masih lengang. Kami melewati jalan di pinggiran pantai Kuta. Angin laut menyapa dan deburan ombak pun seakan unjuk akan keberadaannya. “Orang-orang itu sedang apa, Vin?” Tanganku menunjuk pantai yang berjajar orang-orang bertopi caping. Dari jalan, terlihat mereka seperti berjajar dengan baju seragam. “Mereka tukang sapu, Mel.” “Pantai disapu?” tanyaku heran. Aku pernah melihat orang menyapu jalanan, tapi baru kali ini mendapati orang menyapu pantai berpasir. Mereka berjumlah banyak lagi. Kevin tertawa. “Amel. Memang kalau kita mendapati pantai bersih, indah, itu kerjaan siapa? Ya mereka itu. Saat kita masih molor tidur lagi, mereka melakukan tugasnya.” “Pasirnya tidak keikut?” tanyaku masih heran. Bik Inah di rumah menyapu dan membersihkan lant
“Kevin, pelan!”“Tahan, Mel. Tadi sudah dibilangin untuk pemanasan dulu, tidak dengar. Eh, ngeyel malah langsung ingin masuk saja.”Aku meringis, menahan sakit yang tidak terkira. Ternyata benar yang aku baca, ini sungguh menyakitkan. Tangan ini mencengkeram pundaknya, mencoba menahan sakit yang tidak kunjung reda. Sedangkan Kevin sibuk di bawah sana berusaha menghilangkan rasa sakit ini segera.“Sakit, Kevin!” teriakku sambil mengetatkan genggaman. Kevin berusaha meluruskan telapak kakiku yang kram. Awal yang sakit berangsur-angsur mereda. Betisku tadi terasa seperti ditarik, telapak kakiku pun kaku tidak bisa bergerak. Ini benar-benar saki.“Sudah enakkan?”“Hu-um,” jawabku, kemudian mensandarkan diri sandaran sunbed. Kevin memandangku, kemudian bernapas lega setelah aku menjawab. Mata yang sempat terpaku ke arahnya, aku alihkan ke langit biru. Bagaiamana tidak, anak sialan itu menyeka air yang menetes di wajahnya. Rambut basah menyempurnakan wajahnya yang selalu mematikku untuk
“Iya, lah, Vin. Coba kalau kamu mendapatkan foto Kak Wisnu. Satu saja. Pasti dia tidak mengelak kalau kemarin-kemarin sedang bersama Kak Rima. Telingaku benar-benar menangkap kalau Kak Wisnu memanggil sesorang dengan panggilan: sayang. Masak tukang paket dipanggil sayang? Tidak mungkin, kan?”Aku menegakkan diri, posisi serius dengan pembicaraan ini. Dia pun mengikutiku, bahkan kedua kakinya diturunkan untuk duduk menghadapku.“Amel. Sebenarnya aku tidak setuju kamu melakukan itu.”“Kenapa? Ini wujud aku sayang kepada kakak aku. Sesama keluarga harus saling mengingatkan. Bisa jadi Kak Wisnu lupa dan melakukan hal yang keliru. Iya, kan?” Dahiku berkerut sambil menatap Kevin. Dia kan anak tunggal. Jadi tidak tahu rasanya memiliki saudara, yang harus saling menjaga. Aku salah mencari teman ngobrol.“Nih, minum.” Aku melirik sambil dahi berkerut, dia yang menyodorkan kelapa muda. “Minum dulu supaya kepala dingin dan kita bisa melanjutkan bicara.”“Apaan, sih, Vin! Lagi serius begitu di
Acaranya masih nanti malam, tapi sekarang undangan sudah berdatangan. Maklumlah, kata Papi ini sekalian reuni teman-teman SMA Tante Elysia, yang juga teman Papi Kusuma..Genggaman tangan Rima semakin mengetat di lenganku. Dia terlihat bersikap hati-hati menghadapi mereka. Cara jalan, menyapa, bahkan tersenyum terlihat dia atur. Sebenarnya mereka bersikap santai, kadang menyeletuk gurauan. Namun, tetap saja aura keseharian mereka muncul. Pada umumnya, mereka pembisnis yang bisa dikatakan dari lahir sudah disiapkan perusahaan oleh orang tuanya.“Kusuma dan Maharani sebentar lagi menjadi tua.”“Kok tua? Kan memang sekarang sudah tua?”“Bukan begitu. Maksudnya merek menjadi kakek nenek.”“Iyalah. Lihat Wisnu dan Rima, pasti sebentar lagi menikah terus punya cucu. Jadilah mereka kakek nenek.”“Lha itu sama saja, anak mereka juga cucu kita.” Kemudian mengarahkan pandangan ke kami. “Berarti kalian berdua menjadikan kami menua berjamaah!” celetukan di sambut gelak tawa.Kalau aku sudah biasa
“Kak Rima di kamarku, Kak. Aman sama aku,” bisik Amelia mendahuluiku. Tangannya menyenggol lenganku, seakan menandakan kalau dia mendukungku.Di meja makan, Mama duduk sendirian sedang mengoles roti dengan selai keju. Di depannya ada secangkir kopi yang masih mengepulkan uap. Dari aromanya, ini kopi kental tanpa gula kesukaan Mama.“Duduk,” ucap Mama tanpa melepaskan pandangan dari roti yang di tangannya.Mata ini menatap wajah Mama yang tanpa ekspresi. Senyuman tidak tersirat seperti saat tadi menyambut Rima. Keadaan sekarang ini yang aku kawatirkan sedari tadi. Keadaan Mama yang sebenarnya, membeku.“Iya, Ma. Ini Wisnu,” ucapku sambil duduk tepat di depannya.Gerakan tangannya terhenti, dengan mata tetap tidak teralihkan. Helaan napas panjang, seakan dia sedang mengatur emosi. Beberapa saat kami sama-sama terdiam. Kakiku tidak berhenti bergerak, berusaha mengurai kegelisahan ini. Sungguh, aku lebih menyukai Mama memukul atau menamparku, daripada dia diam seperti ini.“Wisnu. Mama m