“Kak Rima di kamarku, Kak. Aman sama aku,” bisik Amelia mendahuluiku. Tangannya menyenggol lenganku, seakan menandakan kalau dia mendukungku.Di meja makan, Mama duduk sendirian sedang mengoles roti dengan selai keju. Di depannya ada secangkir kopi yang masih mengepulkan uap. Dari aromanya, ini kopi kental tanpa gula kesukaan Mama.“Duduk,” ucap Mama tanpa melepaskan pandangan dari roti yang di tangannya.Mata ini menatap wajah Mama yang tanpa ekspresi. Senyuman tidak tersirat seperti saat tadi menyambut Rima. Keadaan sekarang ini yang aku kawatirkan sedari tadi. Keadaan Mama yang sebenarnya, membeku.“Iya, Ma. Ini Wisnu,” ucapku sambil duduk tepat di depannya.Gerakan tangannya terhenti, dengan mata tetap tidak teralihkan. Helaan napas panjang, seakan dia sedang mengatur emosi. Beberapa saat kami sama-sama terdiam. Kakiku tidak berhenti bergerak, berusaha mengurai kegelisahan ini. Sungguh, aku lebih menyukai Mama memukul atau menamparku, daripada dia diam seperti ini.“Wisnu. Mama m
Memang anak itu bukan milik kita. Mereka adalah titipan yang tidak selamanya bersama kita. Seperti Wisnu sekarang, dia sudah mengenal wanita. Kebutuhannya tidak hanya makan dan minum, tetapi kebutuhan dewasa muncul seiring bertambahnya usia. Aku mengerti.Sekarang aku harus mulai bersiap untuk melepas dia dari keluarga, saat dia membentuk keluarga sendiri. Melapangkan hati untuk menyerahkan dia ke wanita pilihannya. Namun tetap, sebelum janur melengkung, dia adalah tanggung jawabku.Wisnu juga mengaku kalau dia dan Rima sempat tinggal bersama di apartemen. Dia juga berjanji untuk tidak mengulangi lagi.“Rima juga suka ini, Ma?” celetuk Wisnu saat pekerja villa membawakan pesanan makanan. Aku sengaja memesan makanan untuk di kirim ke villa saja. Saat makan, bisa dijadikan momen untuk lebih mengenal Rima, calon menantu. Kalau kita makan di restoran, bisa jadi tidak bisa berbincang dengan keluarga, karena pasti bertemu teman-teman Mas Suma.“Ini enak. Amel kemarin nyobain di depan. Tapi
“Princess Amelia. Sabar sebentar, ya. Abang Prince sedang sibuk bekerja,” ucapnya. Tangan kanan menangkup dada, dan satunya diletakkan di belakang sambil membungkuk.Sempat cemberut menghadapi Kevin yang ngeselin ini. Dia hanya menyodorkan drink list, kemudian kembali lagi berkutat di meja kasir. Dia ini anak bos atau karyawan, ya?Namun, lambat laun aku disibukkan dengan mengamati pengunjung. Restoran begitu ramai. Yang datang tidak hanya dari tamu villa, ini juga dari pejalan kaki atau beberapa yang sengaja akan makan di sini. Terlihat dari orang yang datang, dan beberapa mobil yang datang.Senyum ini mengembang saat melihat Kevin yang terlihat serius. Sesekali dia beranjak dari kursi dan memerintahkan ini dan itu kepada karyawan. Melihat ini, tidak ada Kevin yang biasanya aku dapati. Anak yang ngeselin dan nurut aku suruh-suruh, bahkan tetap tersenyum walaupun aku omelin.‘Apa aku keterlaluan memperlakukan dia, ya? Atau, dia yang terlalu naif ingin dekat denganku?’“Maaf. Pak Kevi
Serba salah. Ini yang aku rasakan. Sungguh, bersama laki-laki di depanku ini, aku merasa nyaman. Namun, aku tidak tahu ini sebagai teman, sahabat, atau lebih. Aku tidak mau terjebak pada rasa yang belum perlu. Jalanku masih panjang.Akan tetapi … melihat matanya yang mengerjap, memaksaku untuk tidak mengabaikannya.“Kenapa?” ucapnya pelan dengan kepala meneleng. “Kamu bingung memilih antar aku atau Rangga?”Aku merasa genggaman di tanganku mulai mengendur, perlahan terasa gerakannya menarik jemari. Ada kekecewan di sana. Harusnya aku tidak pedulu, tetapi kenapa aku merasa tidak rela kalau dia seperti ini? Tanpa pikir panjang, sekarang aku yang beralih menggenggam tangannya. Mata ini menangkap dia yang terkesiap. Aku seperti orang tidak tahu malu, melakukan ini. Tapi biarlah.“Kevin ….”“Hmm …?”Aku menatapnya sejenak, dan mengalihkan pandangan.“Bolehkah aku berharap kamu bersabar menungguku?”Mata Kevin mengerjap. Dia tidak berucap, seakan memberi kesempatan aku untuk menuangkan isi
Tidak tahu apa yang harus aku jawab. Kalau Kevin yang berujar, aku bisa berkilah. Akan tetapi, di depanku ini adalah Mamanya Kevin. “Tolong jawab iya, Sayang. Atau, kalau kamu benar-benar tidak menyukai Kevin, tolong jangan memberikan harapan kepadanya.” Aku mengernyit, penasaran dengan maksudnya. “Tante, tidak mau Kevin terpuruk seperti dulu lagi.” “Memang Kevin dulu kenapa, Tante?” tanyaku tidak sabar. Isi kepalaku mulai berputar liar. Apa anak menyebalkan itu pernah mengalami patah hati sampai ingin bunuh diri? Jadi kalau menyukai seseorang harus dia dapatkan? Atau…. “Kevin sebenarnya bukan anak tunggal. Dia mempunyai saudari. Namun, mereka berpisah karena kecelakaan,” ucapnya dengan sorot mata terlihat sendu. Kemudian Tante Elysia mulai bercerita. Kevin mempunyai adik perempuan, Aecha namanya. Yang artinya anak perempuan kesayangan. Kevin sangat sayang kepada adiknya itu. Kemanapun mereka selalu bersama. “Kecelakaan itu terjadi saat mereka berangkat sekolah. Sopir dan Aecha
Mobil tidak melewati jalan yang tadi. Justru Kevin memilih jalan-jalan kecil. “Kita lewat kampung saja. Lebih banyak yang dilihat. Rasa Balinya terasa dibandingkan lewat di jalan bypass,” ucapnya sambil menunjuk beberapa orang yang berjalan.Laki-laki perempuan berjalan beriringan. Mereka menggunakan pakaian traditional. Seperti di foto internet, yang perempuan menyunggi susunan buah-buahan yang dirangkai tinggi. Menaruh rangkaian yang menjulang itu di atas kepala.“Itu tidak berat ke kepala?” tanyaku sambil mengamati mereka dari balik jendela mobil. Kepala bagian atasku berdenyut seakan merasakan berat.“Di sini sudah biasa, Mel. Mereka membawa itu ke pura sebagai sesembahan. Katanya temanku, dulu sebenarnya yang menjadi sesembahan adalah hasil bumi untuk menyatakan puji syukur. Ini yang sering disebut upacara keagamaan dan adat.”“Oh, seperti karyawanmu tadi itu.”“Iya, betul.”Mobil dijalankan dengan pelan, sehingga aku bisa menikmati pemandangan unik ini. Di kelompok lagi-laki, m
Tangan yang memegang ponsel, aku jauhkan dari jangkauan Kevin. Kemudian aku menggeleng dengan menatapnya serius, aku menolak permintaannya.“Aku bisa menanganginya,” ucapku sambil mengacungkan telunjuk. Di bawah pohon agak sedikit menjauh yang menjadi pilihanku. Mata ini melirik ke arah Kevin. Kerutan di dahinya semakin dalam, dan tatapan mata tidak lepas dariku.“Hai, Rangga. Apa kabar!” seruku setelah sambungan telpon terhubung. Aku menghela napas, tidak mau membahas masalah pesan yang dia kirim. Mungkin dia saat itu sedang banyak masalah, dan amarah terpantik begitu saja.Aku menatap layar ponsel yang menunjukkan penampilannya. Wajahnya terlihat segar dengan handuk kecil dikalungkan di leher. Dari rambutnya sedikit basah, pasti dia sepulang dari lari pagi. Kebiasaannya setiap akhir minggu seperti sekarang ini.Dia memunculkan senyuman. Sama seperti dulu, dia tetap memesona dengan garis wajah tegas yang disempurnakan dengan rambut potongan cepak. “Baik selalu, Mel. Ini selesai dari
“Sekali-kali kita boleh galak sama orang! Terutama yang berniat menginjak kita! Semut yang hewan kecil saja menggigit kalau diinjak. Apalagi kita yang punya akal!” seru Kevil sambil mendudukkan diri di tikar. Aku menyodorkan minuman dingin, dan duduk mensejajarinya.Aku yakin Ranggapun tidak berniat demikian. Tapi karena amarah, akal sehat bisa diluruh lantakkan. Begitu juga Kevin. Sempat terlontar sumpah serapah saat beradu mulut dengan Rangga. Dia pun tidak demikian di kesehariannya.Kevin meneguk tandas. Dia mengusap sisa minuman yang tercecer dengan punggung tangan, kemudian menoleh ke arahku. “Pokoknya, Mel. Kalau ada yang berani bersikap seperti itu kepadamu, lapor kepadaku! Aku akan__”“Iya, Aku mengerti, Vin,” ucapku sambil menepuk lengannya. Aku menunjukkan senyuman dan berucap kembali, “Terima kasih, ya. Sudah membelaku.”Wajah yang menegang, berangsur-angsur melunak. Raut wajahnya sekarang dihiasai senyuman. “Apa, sih, yang tidak untuk kamu, Mel. Apapun aku usahakan,” sahut