Ternyata seperti ini kawatirnya. Aku saja kepikiran dengan Amelia. Pantas saja Papinya Rima sampai menelpon Papi Suma. Pasti dia sangat mengkawatirkan keadaan putrinya. Sekarang aku sangat mengerti hal ini.“Mas Wisnu kenapa? Kok seperti memikirkan sesuatu?” Rima datang sambil membawa nampan berisi pesanan kami.Aku dan Rima memutuskan jalan-jalan di Kuta saja. Tidak perlu jauh-jauh, yang perting bersama. Itu katanya. Dan sekarang ini, kami di restoran cepat saji yang menjual ayam goreng dan hamburger.“Tidak. Aku menelpon Amelia. Sebelumnya aku pernah janji kalau dia ke sini, akan aku ajak jalan-jalan.”“Ya, sudah. Gabung saja sama kita. Aku juga ingin lebih mengenal Amelia,” sahutnya antusias. Dia meletakkan minuman soda dan ayam goreng di depanku.“Maunya begitu. Tapi dia sudah terlanjur pergi dengan temannya?”“Kevin itu, ya?” ucap Rima membuatku terkejut. “Amelia bilang kepadaku. Malah dia cerita tentang Kevin anak pemilik villa itu, kan?”“Iya, betul. Mereka juga satu kampus.”“
Bohong kalau ada yang mengatakan kalau kita mencintai seseorang, hasrat tidak akan menyertainya. William Shakespeare, seorang penyair pernah mengajukan pertanyaan menggelitik, “Apakah itu cinta?”Saat kita bersama seseorang yang membuat kita nyaman, cinta dan hasrat tidak bisa dipisahkan. Keduanya sejalan. Sedangkan kitalah yang menyeimbangkan keduanya. Bersamanya. Setiap sentuhan tidak hanya memantik jantung bergemuruh, tetapi juga menimbulkan gelenyar indah di hati.Seperti saat ini, kami menghabiskan sisa hari di tepi pantai. Rima menggelar kain pantai sebagai alas duduk. Dengan bersandar di pohon kelapa, kami melanjutkan perbincangan tadi.“Rima. Rencanaku, bulan depan aku sudah pindah. Tidak di Bali lagi. Papi Kusuma menarikku ke sana untuk fokus pada rencanaku semula.”“Terus yang di sini?”“Papa Bram yang meneruskan.”Rima yang bersandar di lenganku, beranjak menegakkan diri dan menoleh ke arahku. “Rima belum mengerti,” ucapnya sambil menggelengkan kepala.“Aku dan Papi Kusuma
Over thinking memang tidak diperlukan. Aku tahu benar ini. Namun, kalau seperti saat ini bagaimana isi kepala ini berputar dengan banyak asumsi jelek? Apalagi ponsel Amelia tidak bisa dihubungi. Masih tiga jam lagi sebelum acara, tetapi seharusnya dia sudah ada di sini untuk mempersiapkan diri. Ini memang kali pertama Amelia seperti ini. Dan, tidak mungkin aku bertanya kepada Mas Suma. Dia sudah disibukkan dengan teman-temannya. Apalagi bertanya kepada Elysia. Mamanya Kevin itu sudah terbenam dengan persiapan nanti malam dan menyambut para undangan. Sekarang, tertinggal aku yang mondar-mandir dengan ponsel di tangan. Aku tersentak saat ponselku menyala, menunjukkan nomor yang tidak tercatat. Seketika aku teringat seperti di film-film itu. Ketika anaknya tidak bisa dihubungi, kemudian ada telpon masuk dari nomor tidak dikenal untuk meminta tebusan. Atau, dari seseorang yang menyampaikan kabar buruk. Dengan was-was aku menerima sambungan telpon ini. “Halo …?” “Mama! Ini Amelia!”
“Amel! Cepat Mama sudah siap!”Suara Mama dari luar kamar, meluruhkan ingatanku saat kejadian tadi. Sekali lagi jemari ini meraba bibir. Masih tertinggal geleyar indah di sana. Aku tidak menyangka melakukannya bersama anak yang mengesalkan itu.Sekarang, hati ini semakin kesal dibuatnya, karena semakin lama aku merasa kesulitan untuk beranjak darinya. Kebebasan seakan terengut, tetapi kenapa ini membahagiakan? Apa ini namanya jatuh cinta yang sebenarnya? Keterikatan dua hati yang memaksa untuk hanya tertuju padanya?Tok! Tok! Tok!“Non Amel. Bu Rani sudah di depan.” Suara Mbak Tias pengasuh Daniel. Dengan segera aku memulas lip gloss rasa strawberry berwarna sedikit merah. Tidak mencolok, hanya terlihat segar.“Anak mama cantik!” seru Mama setelah aku bergabung dengan mereka. Perlakuannya masih sama dari dulu, dia selalu memastikan apa yang aku kenakan sempurna.“Kamu sudah terlihat cantik dengan kalung ini,” ucapnya sambil memposisikan bandul kalung yang miring. Kalung ini, hadiah d
“Ran ….” Mas Suma menyodorkan ponsel yang menunjukkan ini panggilan bertulis ‘Amelia Emergency’. Sejenak suamiku ini tidak berkata-kata dengan wajah terlihat memucat.“A-apa ini artinya?” tanyaku dengan melihat layar yang menunjukkan peta dengan satu titik kecil yang bergerak.“Ini tanda dari bandul yang dikenakan Amelia. Kalau ini berbunyi pertanda ada kondisi bahaya.”“Apa mungkin dia salah pencet, Mas?” tanyaku berusaha mencari kemungkinan lain. Walaupun bayangan buruk mulai datang.“Harapanku begitu, Ran. Tapi kenapa titik ini bergerak menjauhi villa?”BRAK!Suara pintu dibuka terdengar, dan memperlihatkan sosok Wisnu yang terengah. “Mama! Amelia dan Rima ada di sini?”Dia menunjukkan selendang putih dan bros yang aku kenakan kepada Rima tadi. Seketika jantung ini berhenti berdetak saat melihat selendang itu sobek memanjang. Isi kepalaku mulai memperkirakan ini seperti direnggut paksa.“Tidak. Amelia belum kembali ke sini? Memang Rima dimana?” tanya Mas Suma dengan dahi berkerut
“Elys! Amelia!”Aku menjerit, kakiku seakan tidak berpijak. Tangan ini gemetar dan tubuhku mati rasa seketika. Isi kepala ini berjubal dengan bayangan buruk.Kalau itu darah, berarti Amelia terluka. Benda itu terletak di kepala. Kalau bernoda darah, berarti yang cidela adalah kepala. Kulitnya sobek, atau …. Aku tidak sanggup membayangkan ini. Banyak kasus-kasus penculikan yang berakhir dengan kehilangan. Apalagi Amelia seorang anak gadis yang cantik.Tidak! Aku tidak rela ini terjadi pada keluargaku!“Maharani! Tenang!”“Elysia. Bagaimana aku bisa tenang. Amelia anakku ….” Aku tidak sanggup dan hanya bisa tergugu.Kata seandainya mulai meruntuki diriku sendiri. Seandainya aku lebih tegas kepadanya, ini tidak akan terjadi. Seandainya aku tidak mengizinkan dia pergi sendiri dan aku paksa kembali bersamaku, dia akan selamat. Tidak apa-apa dia membenciku, asal dia tidak mengalami hal buruk seperti sekarang ini.Tanganku terkepal keras. Rasa marah mulai menguasai diri ini kepada pelaku. K
“Amelia … Amelia ….” Suara berbisik dan goncangan di lengan ini begitu mengusik. Mataku mengerjap, mengusir rasa berat di kelopak mata ini. Namun, aku tidak mampu melebarkan mata.Sekali lagi, lenganku tergoncang kembali. “Amelia … Amelia ….”Kepala ini berteriak memerintah mata untuk terbuka, dan pelan aku mengejapkan mata. Silau sesekali menerpa mata ini. Goncangan pun membuat tubuhku tidak nyaman. Serpihan-serpihan ingatan mulai terkumpul, dan aku memalingkan kepala dan mendapati Kak Rima menggeleng. Seakan memberi tanda untuk aku tidak berkata-kata.Sekarang aku sadar. Kami berada di bagian mobil, tanpa bangku dan hanya beralaskan karpet. Kami meringkuk berhadapan dengan tangan terikat di depan.“Siapa mereka, Kak,” tanyaku berbisik setelah berhasil beringsut mendekat ke arahnya.“Stt ….”Aku mengangguk, dan mendengarkan perbincangan mereka di depan.“Gadis yang satunya itu siapa? Adiknya pacar kamu?”“Bukan! Rima tidak mempunyai adik. Setahuku dia anak tunggal. Mungkin itu tem
Peristiwa yang tidak diharapkan, sering kali karena kita di tempat dan waktu yang salah. Seandainya aku tidak bersama Kak Rima tadi, pasti aku tidak akan terdampar di tempat asing dengan kejadian yang membuatku gemetaran. Untungnya, sesaat sebelum menyerang orang itu yang membekap Kak Rima, aku sempat memencet tombol alarm. Keyakinanku mulai goyah, seiring waktu bertambah. Terlebih saat si Bro itu menunjukkan layar ponsel ke Steven. Aku langsung memejamkan mata, saat gerakan tangannya menunjuk ke arahku. Namun terlambat. Laki-laki kasar itu berteriak, “Hei! Jangan pura-pura pingsan, ya!” Bersiap menjadi sasaran berikutnya, kedua tangan yang terikat, aku gerakkan ke atas. Aku harus bersiap dengan senjata yang sudah terbersit dari tadi. Satu orang menghampiriku, menarik tangan ini dengan kasar. Kesal diperlakukan seperti ini, aku menggerakkan japit rambut yang jadi senjataku, dan, “Sreeet!” Orang itu mengaduh sambil menangkup lengannya yang berdarah. “Jangan diapa-apakan anak itu!