Met malam minggu.
“Amel! Cepat Mama sudah siap!”Suara Mama dari luar kamar, meluruhkan ingatanku saat kejadian tadi. Sekali lagi jemari ini meraba bibir. Masih tertinggal geleyar indah di sana. Aku tidak menyangka melakukannya bersama anak yang mengesalkan itu.Sekarang, hati ini semakin kesal dibuatnya, karena semakin lama aku merasa kesulitan untuk beranjak darinya. Kebebasan seakan terengut, tetapi kenapa ini membahagiakan? Apa ini namanya jatuh cinta yang sebenarnya? Keterikatan dua hati yang memaksa untuk hanya tertuju padanya?Tok! Tok! Tok!“Non Amel. Bu Rani sudah di depan.” Suara Mbak Tias pengasuh Daniel. Dengan segera aku memulas lip gloss rasa strawberry berwarna sedikit merah. Tidak mencolok, hanya terlihat segar.“Anak mama cantik!” seru Mama setelah aku bergabung dengan mereka. Perlakuannya masih sama dari dulu, dia selalu memastikan apa yang aku kenakan sempurna.“Kamu sudah terlihat cantik dengan kalung ini,” ucapnya sambil memposisikan bandul kalung yang miring. Kalung ini, hadiah d
“Ran ….” Mas Suma menyodorkan ponsel yang menunjukkan ini panggilan bertulis ‘Amelia Emergency’. Sejenak suamiku ini tidak berkata-kata dengan wajah terlihat memucat.“A-apa ini artinya?” tanyaku dengan melihat layar yang menunjukkan peta dengan satu titik kecil yang bergerak.“Ini tanda dari bandul yang dikenakan Amelia. Kalau ini berbunyi pertanda ada kondisi bahaya.”“Apa mungkin dia salah pencet, Mas?” tanyaku berusaha mencari kemungkinan lain. Walaupun bayangan buruk mulai datang.“Harapanku begitu, Ran. Tapi kenapa titik ini bergerak menjauhi villa?”BRAK!Suara pintu dibuka terdengar, dan memperlihatkan sosok Wisnu yang terengah. “Mama! Amelia dan Rima ada di sini?”Dia menunjukkan selendang putih dan bros yang aku kenakan kepada Rima tadi. Seketika jantung ini berhenti berdetak saat melihat selendang itu sobek memanjang. Isi kepalaku mulai memperkirakan ini seperti direnggut paksa.“Tidak. Amelia belum kembali ke sini? Memang Rima dimana?” tanya Mas Suma dengan dahi berkerut
“Elys! Amelia!”Aku menjerit, kakiku seakan tidak berpijak. Tangan ini gemetar dan tubuhku mati rasa seketika. Isi kepala ini berjubal dengan bayangan buruk.Kalau itu darah, berarti Amelia terluka. Benda itu terletak di kepala. Kalau bernoda darah, berarti yang cidela adalah kepala. Kulitnya sobek, atau …. Aku tidak sanggup membayangkan ini. Banyak kasus-kasus penculikan yang berakhir dengan kehilangan. Apalagi Amelia seorang anak gadis yang cantik.Tidak! Aku tidak rela ini terjadi pada keluargaku!“Maharani! Tenang!”“Elysia. Bagaimana aku bisa tenang. Amelia anakku ….” Aku tidak sanggup dan hanya bisa tergugu.Kata seandainya mulai meruntuki diriku sendiri. Seandainya aku lebih tegas kepadanya, ini tidak akan terjadi. Seandainya aku tidak mengizinkan dia pergi sendiri dan aku paksa kembali bersamaku, dia akan selamat. Tidak apa-apa dia membenciku, asal dia tidak mengalami hal buruk seperti sekarang ini.Tanganku terkepal keras. Rasa marah mulai menguasai diri ini kepada pelaku. K
“Amelia … Amelia ….” Suara berbisik dan goncangan di lengan ini begitu mengusik. Mataku mengerjap, mengusir rasa berat di kelopak mata ini. Namun, aku tidak mampu melebarkan mata.Sekali lagi, lenganku tergoncang kembali. “Amelia … Amelia ….”Kepala ini berteriak memerintah mata untuk terbuka, dan pelan aku mengejapkan mata. Silau sesekali menerpa mata ini. Goncangan pun membuat tubuhku tidak nyaman. Serpihan-serpihan ingatan mulai terkumpul, dan aku memalingkan kepala dan mendapati Kak Rima menggeleng. Seakan memberi tanda untuk aku tidak berkata-kata.Sekarang aku sadar. Kami berada di bagian mobil, tanpa bangku dan hanya beralaskan karpet. Kami meringkuk berhadapan dengan tangan terikat di depan.“Siapa mereka, Kak,” tanyaku berbisik setelah berhasil beringsut mendekat ke arahnya.“Stt ….”Aku mengangguk, dan mendengarkan perbincangan mereka di depan.“Gadis yang satunya itu siapa? Adiknya pacar kamu?”“Bukan! Rima tidak mempunyai adik. Setahuku dia anak tunggal. Mungkin itu tem
Peristiwa yang tidak diharapkan, sering kali karena kita di tempat dan waktu yang salah. Seandainya aku tidak bersama Kak Rima tadi, pasti aku tidak akan terdampar di tempat asing dengan kejadian yang membuatku gemetaran. Untungnya, sesaat sebelum menyerang orang itu yang membekap Kak Rima, aku sempat memencet tombol alarm. Keyakinanku mulai goyah, seiring waktu bertambah. Terlebih saat si Bro itu menunjukkan layar ponsel ke Steven. Aku langsung memejamkan mata, saat gerakan tangannya menunjuk ke arahku. Namun terlambat. Laki-laki kasar itu berteriak, “Hei! Jangan pura-pura pingsan, ya!” Bersiap menjadi sasaran berikutnya, kedua tangan yang terikat, aku gerakkan ke atas. Aku harus bersiap dengan senjata yang sudah terbersit dari tadi. Satu orang menghampiriku, menarik tangan ini dengan kasar. Kesal diperlakukan seperti ini, aku menggerakkan japit rambut yang jadi senjataku, dan, “Sreeet!” Orang itu mengaduh sambil menangkup lengannya yang berdarah. “Jangan diapa-apakan anak itu!
Aku baru sadar kalau suruhan Elysia merupakan anggota dari organisasi massa. Mereka membentuk kelompok dari berbagai profesi dan linkalangan yang bertujuan sama, mengendalikan keamanan dan kenyamanan tempat ini.“Iya, Tuan Kusuma. Memang ada pihak berwajib dari pemerintahan. Tetapi kami sebagai masyarakat juga memiliki tanggung jawab dan kecintaan pada tanah ini. Tidak bisa kami lepas tangan, karena leluhur sudah mewariskan dan kami harus menjaganya.”Aku mengerti. Ini juga lebih efektif kerjanya. Mereka memiliki jaringan yang luas di segala lini. Katanya, kasus penculikan Amelia sudah ditangani pusat dan disebarkan informasi ke semua anggota.“Bagaimana perkembangannya?”“Ada saksi mata yang melihat mobil sport warna hitam yang bertolak dari tempat ini. Nomor mobil sudah ditangani dan sekarang dalam pengejaran. Semoga saja ini tidak ada hubungannya dengan ormas lainnya?”“Sa-saya tidak mengerti?” tanyaku cepat. Di kota ini aku tidak memiliki musuh. Mengerti ada beberapa kelompok pun
Terbitnya fajar bersamaan dengan harapan yang terjawab. Amelia dan Rima berhasil diangkat ke permukaan. Aku sendiri yang menggendong Amelia, dibantu oleh Kevin. Sedangkan Rima bersama dengan Wisnu.Kami belum bisa bertanya apapun kepada mereka. Keadaannya begitu membuatku geram. Pergelangan tangan mereka terluka dengan bekas ikatan tali, bahkan Rima mengalami luka di wajahnya. Masih ingat jelas di kepala ini, melihat mereka dengan tangan terikat dan mulut tertutup.“Papa. Amel capek,” ucap Amelia lemas, sambil menyelusupkan kepala di pelukanku. Aku mendekapnya erat, mengusap kepalanya yang mulai melemas. Seketika keadaan menjadi riuh. Pihak berwajib dan teman-teman Pak Ketut berdatangan. Mereka melakukan pengamanan dan penyisiran. Tim medispun tiba, mereka langsung mengambil alih keduanya. Amelia dan Rima mendapatkan pertolongan pertama.“Kurang ajar! Akan aku kejar orang itu sampai manapun!” Aku terhenyak mendengar teriakan Wisnu di sebelah sana. Tangannya terkepal dan meninju tem
Sudah semenjak zaman batu, namanya cinta bisa menjadi bibit kejahatan. Apakah mencintai seseorang adalah kejahatan? Bukan, asalkan tidak diikuti dengan rasa ingin memiliki yang berlebihan, yang berujung kepada pemaksaan. Bagaimana bisa mewujudkan cinta itu sendiri, kalau seseorang itu tidak ada di samping kita?***“Orang itu yang menjadi otak terjadinya penculikan anak, Tuan,” ucap petugas setelah kami di ruangan yang menghadap dengan ruang introgasi. Di sebelah sana terlihat seseorang berwajah oriental berusia setengah baya. Walaupun posisi duduk, dari perawakannya terlihat dia berbadan tinggi besar dengan perut sedikit membuncit.“Tuan Kusuma mengenalnya?”Sekali lagi aku mendekatkan diri ke kaca pembatas. Mengamati wajah yang bengap di sana-sini. Mungkin ini akibat ‘gaya’ penyelidikan awal tadi.Aku menggeleng. “Tidak, Pak. Saya tidak mengenal dia. Bahkan baru kali ini saya melihatnya.Kemudian aku diarahkan ke layar yang merujuk kepada CCTV yang menyorot ke ruangan yang berbeda.