Terbitnya fajar bersamaan dengan harapan yang terjawab. Amelia dan Rima berhasil diangkat ke permukaan. Aku sendiri yang menggendong Amelia, dibantu oleh Kevin. Sedangkan Rima bersama dengan Wisnu.Kami belum bisa bertanya apapun kepada mereka. Keadaannya begitu membuatku geram. Pergelangan tangan mereka terluka dengan bekas ikatan tali, bahkan Rima mengalami luka di wajahnya. Masih ingat jelas di kepala ini, melihat mereka dengan tangan terikat dan mulut tertutup.“Papa. Amel capek,” ucap Amelia lemas, sambil menyelusupkan kepala di pelukanku. Aku mendekapnya erat, mengusap kepalanya yang mulai melemas. Seketika keadaan menjadi riuh. Pihak berwajib dan teman-teman Pak Ketut berdatangan. Mereka melakukan pengamanan dan penyisiran. Tim medispun tiba, mereka langsung mengambil alih keduanya. Amelia dan Rima mendapatkan pertolongan pertama.“Kurang ajar! Akan aku kejar orang itu sampai manapun!” Aku terhenyak mendengar teriakan Wisnu di sebelah sana. Tangannya terkepal dan meninju tem
Sudah semenjak zaman batu, namanya cinta bisa menjadi bibit kejahatan. Apakah mencintai seseorang adalah kejahatan? Bukan, asalkan tidak diikuti dengan rasa ingin memiliki yang berlebihan, yang berujung kepada pemaksaan. Bagaimana bisa mewujudkan cinta itu sendiri, kalau seseorang itu tidak ada di samping kita?***“Orang itu yang menjadi otak terjadinya penculikan anak, Tuan,” ucap petugas setelah kami di ruangan yang menghadap dengan ruang introgasi. Di sebelah sana terlihat seseorang berwajah oriental berusia setengah baya. Walaupun posisi duduk, dari perawakannya terlihat dia berbadan tinggi besar dengan perut sedikit membuncit.“Tuan Kusuma mengenalnya?”Sekali lagi aku mendekatkan diri ke kaca pembatas. Mengamati wajah yang bengap di sana-sini. Mungkin ini akibat ‘gaya’ penyelidikan awal tadi.Aku menggeleng. “Tidak, Pak. Saya tidak mengenal dia. Bahkan baru kali ini saya melihatnya.Kemudian aku diarahkan ke layar yang merujuk kepada CCTV yang menyorot ke ruangan yang berbeda.
“Tapi aku puas, Pi!’ ucap Wisnu. Dia memperbaiki bebatan pembalut kasa di telapak tangannya. Buku jari yang terluka tadi berdarah kembali. Seorang petugas menyodorkan obat antiseptik kepadanya yang duduk di bangku.“Perih?”“Tidak seperih hati ini, Pi,” jawabnya sambil menengadahkan kepala ke arahku yang berdiri di depannya.Wajahnya masih kusut. Ada percikan dendam di matanya. Peristiwa ini tidak hanya membawa trauma kepada Rima dan Amelia, tetapi juga mereka yang merasa bersalah. Seperti Wisnu ini.“Ran. Wisnu sudah bersamaku. Kamu istirahat saja jangan sampai sakit.” Aku segera menelpon Maharani. Istriku itu sudah kebingungan di sana.“Wisnu bagaimana? Aku bicara dengannya, ya?”“Tidak usah. Biarlah Wisnu bersamaku seperti biasanya, kamu tolong urus Amelia dan Rima. Mereka pasti masih terluka karena peristiwa ini,” ucapku menyakinkan dia. Terkadang, kekawatiran seorang ibu justru terasa seperti tuntutan.Wisnu menurut saat tangannya aku tarik. Tujuanku satu, mencari tempat untuk bi
Aku mencari tahu apa yang terjadi terhadap Rima. Bagaimana seseorang yang terlihat optimis ini, berakhir dengan sikap menyerah? Wisnu menceritakan kalau Rima gadis yang pintar dan pemberani, tetapi yang kudapati sekarang, seseorang yang tidak mempunyai semangat.Kekasih anakku itu berbaring lagi. Aku bisikkan supaya dia istirahat, sambil membantunya berselimut. Sekarang ini yang dibutuhkan dia, hanya waktu untuk menenangkan pikiran. Ucapan atau nasehat apapun akan terpental saat kondisi seperti sekarang ini.“Cerita kepada mama. Apa yang terjadi kepada kalian. Semuanya tanpa tersisa dan jangan ada yang ditutup-tutupi.” Aku sekarang berhadapan dengan Amelia di kafetaria, sedangkan Kevin aku suruh berjaga di kamar.Wajah Amelia yang tadi berbinar saat bercerita bagaimana dia mengalahkan penjahat itu, sekarang meredup. Helaan napas terdengar keras sebelum dia memulai bercerita. Semakin mendengar apa yang dia ucapkan, semakin hati ini geram. Memang, penjahat itu tidak bertindak berlebihan
“Ma ….” Suara Wisnu di depan pintu kamar. Aku yang sedang merapikan kerudung, menoleh ke arahnya. Wajah anakku terlihat tidak semangat. Bibirnya mencembik dengan sorot mata tidak bersemangat. “Kenapa, Kak Wisnu. Sini masuk,” ucapku sambil menggerakkan dagu ke arah kursi di sebelahku. Ini sudah hari kedua Amelia dan Rima pulang dari rumah sakit. Ada perubahan jadwal liburan, yang awalnya akan berkeliling di pulau ini dengan rombongan undangan, akhirnya kami melepaskan diri dari kegiatan itu. Teman-teman Mas Suma memaklumi, bahkan mereka menunjukkan keprihatinan. Elysia pergi dengan rombongan, sedangkan Kevin memilih menemani Amelia yang terlihat semakin berulah kepadanya. Yang menjadi pikiranku sekarang adalah Rima. Dia masih belum pulih dan masih ragu dengan dirinya sendiri. Pulang dari rumah sakit, kami membuka villa satu lagi. Wisnu, Amelia, dan Rima aku jadikan satu di bangunan yang tepat di villa yang aku tempati. Tentu saja dengan banyak aturan yang aku tetapkan. “Mama. Tol
Saat wadah itu penuh, apapun yang dimasukkan akan tumpah. Menjejalkan apapun, hanya berakhir pada sesuatu yang sia-sia. Makanya kurangi dulu, setelahnya bisa memungkinkan diisi apa yang kau mau.Seperti keadaan Rima. Isi kepalanya sudah dipenuhi dengan rasa tidak percaya diri, tidak bernilai, kecewa, sedih, bahkan benci terhadap dirinya sendiri. Saat dia tidak menyisihkan semua itu. Apapun nasehat atu ucapan untuk menyemangatinya, semua akan terpental.Aku menceritakan tentang kisahkan, untuk menyamakan posisi kami. Memberi start di posisi nol. Kemudian menyadarkan dia, bahwa masih banyak orang yang melebihi kemalangannya, dan mampu untuk bangkit.Dia mulai bisa diajak bicara. Kami bertukar pikiran, yang ternyata dia tidak sedangkal perempuan yang hanya mengendalkan kecantikan. Terlebih saat dia menilik buku yang ada di pangkuanku. Buku terjemahan The Secret yang membahas kehidupan secara global.“Kamu tahu kita ini magnet terkuat di semesta?”Dia menggeleng.“Di dalam diri kita itu a
Tidak ada yang membahagiakan, melebihi saat didampingi orang yang kita sayangi. Tidak ada yang menguatkan, yang mengalahkan semangat dari orang terdekat. Ini memang terlihat ungkapan sederhana, tetapi aku yakin Rima membutuhkan ini. Terlebih saat semua itu tertuang di benda ini.Pilihanku sudah mantap. Kalau aku memberikan kejutan bunga, itu hanya indah dalam hitungan waktu. Selebihnya akan layu dan hanya berbekas kalau diabadikan di kamera. Tapi, kedua benda ini akan menjadi penguat antara aku dan dia.“Rima kemana, Mel?” Aku melongokkan kepala ke kamarnya yang masih terlihat rapi. Tidak ada bekas dia berbaring di ranjang. Kain sprei masih terlihat kencang, dan selimutpun tetap di tempatnya.“Eh, Kak Wisnu. Tadi Kak Rima mencari Kakak ke rentoran. Katanya dia akan di tempat tadi saat bertemu Mama. Terus, pesannya lagi, dia ada catatan di kamar Kak Wisnu,” jawab Amelia yang melongokkan kepala dari dalam kamarnya.Segera, aku menuju kamarku. Tidak aku pedulikan teriakan dia yang menany
“Bagaimana? Sudah tenang, Sayang?”Rima aku baringkan di sunbed. Napasnya mulai teratur setelah dia berbaring dan aku pasangkan ear phone di telinganya.Benda ini yang aku persiapkan untuknya. MP3 player yang berisi lagu-lagu kesukaan kami. Karenanya, aku menghabiskan waktu untuk memilah lagu yang membangkitkan semangat dan kenangan manis kami berdua.Dia membuka mata dan mengangguk menjawab pertanyaanku. Namun, kenapa matanya justru mengeluarkan buliran air mata?“Kenapa, Rima? Aku tadi keterlaluan, ya? Maafkan aku, ya?”Dia menggeleng, kemudian beranjak duduk dan memelukku erat. Dia menangis sambil mengucapkan kata maaf, terima kasih, dan menyatakan bahagia.Ada apa ini? Benar yang dikatakan Papi Kusuma, wanita itu makhluk yang membingungkan. Sedih nangis, dan sekarang bahagia, masih tetap mengeluarkan air mata. Benar-benar aku membutuhkan kamus atau primbon rahasia wanita.“Rima. Jangan menangis. Nanti dipikir aku menganiaya kamu, lo.”“Mas Wisnu. Ini bukan air mata kesedihan, tet