Peristiwa yang tidak diharapkan, sering kali karena kita di tempat dan waktu yang salah. Seandainya aku tidak bersama Kak Rima tadi, pasti aku tidak akan terdampar di tempat asing dengan kejadian yang membuatku gemetaran. Untungnya, sesaat sebelum menyerang orang itu yang membekap Kak Rima, aku sempat memencet tombol alarm. Keyakinanku mulai goyah, seiring waktu bertambah. Terlebih saat si Bro itu menunjukkan layar ponsel ke Steven. Aku langsung memejamkan mata, saat gerakan tangannya menunjuk ke arahku. Namun terlambat. Laki-laki kasar itu berteriak, “Hei! Jangan pura-pura pingsan, ya!” Bersiap menjadi sasaran berikutnya, kedua tangan yang terikat, aku gerakkan ke atas. Aku harus bersiap dengan senjata yang sudah terbersit dari tadi. Satu orang menghampiriku, menarik tangan ini dengan kasar. Kesal diperlakukan seperti ini, aku menggerakkan japit rambut yang jadi senjataku, dan, “Sreeet!” Orang itu mengaduh sambil menangkup lengannya yang berdarah. “Jangan diapa-apakan anak itu!
Aku baru sadar kalau suruhan Elysia merupakan anggota dari organisasi massa. Mereka membentuk kelompok dari berbagai profesi dan linkalangan yang bertujuan sama, mengendalikan keamanan dan kenyamanan tempat ini.“Iya, Tuan Kusuma. Memang ada pihak berwajib dari pemerintahan. Tetapi kami sebagai masyarakat juga memiliki tanggung jawab dan kecintaan pada tanah ini. Tidak bisa kami lepas tangan, karena leluhur sudah mewariskan dan kami harus menjaganya.”Aku mengerti. Ini juga lebih efektif kerjanya. Mereka memiliki jaringan yang luas di segala lini. Katanya, kasus penculikan Amelia sudah ditangani pusat dan disebarkan informasi ke semua anggota.“Bagaimana perkembangannya?”“Ada saksi mata yang melihat mobil sport warna hitam yang bertolak dari tempat ini. Nomor mobil sudah ditangani dan sekarang dalam pengejaran. Semoga saja ini tidak ada hubungannya dengan ormas lainnya?”“Sa-saya tidak mengerti?” tanyaku cepat. Di kota ini aku tidak memiliki musuh. Mengerti ada beberapa kelompok pun
Terbitnya fajar bersamaan dengan harapan yang terjawab. Amelia dan Rima berhasil diangkat ke permukaan. Aku sendiri yang menggendong Amelia, dibantu oleh Kevin. Sedangkan Rima bersama dengan Wisnu.Kami belum bisa bertanya apapun kepada mereka. Keadaannya begitu membuatku geram. Pergelangan tangan mereka terluka dengan bekas ikatan tali, bahkan Rima mengalami luka di wajahnya. Masih ingat jelas di kepala ini, melihat mereka dengan tangan terikat dan mulut tertutup.“Papa. Amel capek,” ucap Amelia lemas, sambil menyelusupkan kepala di pelukanku. Aku mendekapnya erat, mengusap kepalanya yang mulai melemas. Seketika keadaan menjadi riuh. Pihak berwajib dan teman-teman Pak Ketut berdatangan. Mereka melakukan pengamanan dan penyisiran. Tim medispun tiba, mereka langsung mengambil alih keduanya. Amelia dan Rima mendapatkan pertolongan pertama.“Kurang ajar! Akan aku kejar orang itu sampai manapun!” Aku terhenyak mendengar teriakan Wisnu di sebelah sana. Tangannya terkepal dan meninju tem
Sudah semenjak zaman batu, namanya cinta bisa menjadi bibit kejahatan. Apakah mencintai seseorang adalah kejahatan? Bukan, asalkan tidak diikuti dengan rasa ingin memiliki yang berlebihan, yang berujung kepada pemaksaan. Bagaimana bisa mewujudkan cinta itu sendiri, kalau seseorang itu tidak ada di samping kita?***“Orang itu yang menjadi otak terjadinya penculikan anak, Tuan,” ucap petugas setelah kami di ruangan yang menghadap dengan ruang introgasi. Di sebelah sana terlihat seseorang berwajah oriental berusia setengah baya. Walaupun posisi duduk, dari perawakannya terlihat dia berbadan tinggi besar dengan perut sedikit membuncit.“Tuan Kusuma mengenalnya?”Sekali lagi aku mendekatkan diri ke kaca pembatas. Mengamati wajah yang bengap di sana-sini. Mungkin ini akibat ‘gaya’ penyelidikan awal tadi.Aku menggeleng. “Tidak, Pak. Saya tidak mengenal dia. Bahkan baru kali ini saya melihatnya.Kemudian aku diarahkan ke layar yang merujuk kepada CCTV yang menyorot ke ruangan yang berbeda.
“Tapi aku puas, Pi!’ ucap Wisnu. Dia memperbaiki bebatan pembalut kasa di telapak tangannya. Buku jari yang terluka tadi berdarah kembali. Seorang petugas menyodorkan obat antiseptik kepadanya yang duduk di bangku.“Perih?”“Tidak seperih hati ini, Pi,” jawabnya sambil menengadahkan kepala ke arahku yang berdiri di depannya.Wajahnya masih kusut. Ada percikan dendam di matanya. Peristiwa ini tidak hanya membawa trauma kepada Rima dan Amelia, tetapi juga mereka yang merasa bersalah. Seperti Wisnu ini.“Ran. Wisnu sudah bersamaku. Kamu istirahat saja jangan sampai sakit.” Aku segera menelpon Maharani. Istriku itu sudah kebingungan di sana.“Wisnu bagaimana? Aku bicara dengannya, ya?”“Tidak usah. Biarlah Wisnu bersamaku seperti biasanya, kamu tolong urus Amelia dan Rima. Mereka pasti masih terluka karena peristiwa ini,” ucapku menyakinkan dia. Terkadang, kekawatiran seorang ibu justru terasa seperti tuntutan.Wisnu menurut saat tangannya aku tarik. Tujuanku satu, mencari tempat untuk bi
Aku mencari tahu apa yang terjadi terhadap Rima. Bagaimana seseorang yang terlihat optimis ini, berakhir dengan sikap menyerah? Wisnu menceritakan kalau Rima gadis yang pintar dan pemberani, tetapi yang kudapati sekarang, seseorang yang tidak mempunyai semangat.Kekasih anakku itu berbaring lagi. Aku bisikkan supaya dia istirahat, sambil membantunya berselimut. Sekarang ini yang dibutuhkan dia, hanya waktu untuk menenangkan pikiran. Ucapan atau nasehat apapun akan terpental saat kondisi seperti sekarang ini.“Cerita kepada mama. Apa yang terjadi kepada kalian. Semuanya tanpa tersisa dan jangan ada yang ditutup-tutupi.” Aku sekarang berhadapan dengan Amelia di kafetaria, sedangkan Kevin aku suruh berjaga di kamar.Wajah Amelia yang tadi berbinar saat bercerita bagaimana dia mengalahkan penjahat itu, sekarang meredup. Helaan napas terdengar keras sebelum dia memulai bercerita. Semakin mendengar apa yang dia ucapkan, semakin hati ini geram. Memang, penjahat itu tidak bertindak berlebihan
“Ma ….” Suara Wisnu di depan pintu kamar. Aku yang sedang merapikan kerudung, menoleh ke arahnya. Wajah anakku terlihat tidak semangat. Bibirnya mencembik dengan sorot mata tidak bersemangat. “Kenapa, Kak Wisnu. Sini masuk,” ucapku sambil menggerakkan dagu ke arah kursi di sebelahku. Ini sudah hari kedua Amelia dan Rima pulang dari rumah sakit. Ada perubahan jadwal liburan, yang awalnya akan berkeliling di pulau ini dengan rombongan undangan, akhirnya kami melepaskan diri dari kegiatan itu. Teman-teman Mas Suma memaklumi, bahkan mereka menunjukkan keprihatinan. Elysia pergi dengan rombongan, sedangkan Kevin memilih menemani Amelia yang terlihat semakin berulah kepadanya. Yang menjadi pikiranku sekarang adalah Rima. Dia masih belum pulih dan masih ragu dengan dirinya sendiri. Pulang dari rumah sakit, kami membuka villa satu lagi. Wisnu, Amelia, dan Rima aku jadikan satu di bangunan yang tepat di villa yang aku tempati. Tentu saja dengan banyak aturan yang aku tetapkan. “Mama. Tol
Saat wadah itu penuh, apapun yang dimasukkan akan tumpah. Menjejalkan apapun, hanya berakhir pada sesuatu yang sia-sia. Makanya kurangi dulu, setelahnya bisa memungkinkan diisi apa yang kau mau.Seperti keadaan Rima. Isi kepalanya sudah dipenuhi dengan rasa tidak percaya diri, tidak bernilai, kecewa, sedih, bahkan benci terhadap dirinya sendiri. Saat dia tidak menyisihkan semua itu. Apapun nasehat atu ucapan untuk menyemangatinya, semua akan terpental.Aku menceritakan tentang kisahkan, untuk menyamakan posisi kami. Memberi start di posisi nol. Kemudian menyadarkan dia, bahwa masih banyak orang yang melebihi kemalangannya, dan mampu untuk bangkit.Dia mulai bisa diajak bicara. Kami bertukar pikiran, yang ternyata dia tidak sedangkal perempuan yang hanya mengendalkan kecantikan. Terlebih saat dia menilik buku yang ada di pangkuanku. Buku terjemahan The Secret yang membahas kehidupan secara global.“Kamu tahu kita ini magnet terkuat di semesta?”Dia menggeleng.“Di dalam diri kita itu a