Tangan yang memegang ponsel, aku jauhkan dari jangkauan Kevin. Kemudian aku menggeleng dengan menatapnya serius, aku menolak permintaannya.“Aku bisa menanganginya,” ucapku sambil mengacungkan telunjuk. Di bawah pohon agak sedikit menjauh yang menjadi pilihanku. Mata ini melirik ke arah Kevin. Kerutan di dahinya semakin dalam, dan tatapan mata tidak lepas dariku.“Hai, Rangga. Apa kabar!” seruku setelah sambungan telpon terhubung. Aku menghela napas, tidak mau membahas masalah pesan yang dia kirim. Mungkin dia saat itu sedang banyak masalah, dan amarah terpantik begitu saja.Aku menatap layar ponsel yang menunjukkan penampilannya. Wajahnya terlihat segar dengan handuk kecil dikalungkan di leher. Dari rambutnya sedikit basah, pasti dia sepulang dari lari pagi. Kebiasaannya setiap akhir minggu seperti sekarang ini.Dia memunculkan senyuman. Sama seperti dulu, dia tetap memesona dengan garis wajah tegas yang disempurnakan dengan rambut potongan cepak. “Baik selalu, Mel. Ini selesai dari
“Sekali-kali kita boleh galak sama orang! Terutama yang berniat menginjak kita! Semut yang hewan kecil saja menggigit kalau diinjak. Apalagi kita yang punya akal!” seru Kevil sambil mendudukkan diri di tikar. Aku menyodorkan minuman dingin, dan duduk mensejajarinya.Aku yakin Ranggapun tidak berniat demikian. Tapi karena amarah, akal sehat bisa diluruh lantakkan. Begitu juga Kevin. Sempat terlontar sumpah serapah saat beradu mulut dengan Rangga. Dia pun tidak demikian di kesehariannya.Kevin meneguk tandas. Dia mengusap sisa minuman yang tercecer dengan punggung tangan, kemudian menoleh ke arahku. “Pokoknya, Mel. Kalau ada yang berani bersikap seperti itu kepadamu, lapor kepadaku! Aku akan__”“Iya, Aku mengerti, Vin,” ucapku sambil menepuk lengannya. Aku menunjukkan senyuman dan berucap kembali, “Terima kasih, ya. Sudah membelaku.”Wajah yang menegang, berangsur-angsur melunak. Raut wajahnya sekarang dihiasai senyuman. “Apa, sih, yang tidak untuk kamu, Mel. Apapun aku usahakan,” sahut
Ternyata seperti ini kawatirnya. Aku saja kepikiran dengan Amelia. Pantas saja Papinya Rima sampai menelpon Papi Suma. Pasti dia sangat mengkawatirkan keadaan putrinya. Sekarang aku sangat mengerti hal ini.“Mas Wisnu kenapa? Kok seperti memikirkan sesuatu?” Rima datang sambil membawa nampan berisi pesanan kami.Aku dan Rima memutuskan jalan-jalan di Kuta saja. Tidak perlu jauh-jauh, yang perting bersama. Itu katanya. Dan sekarang ini, kami di restoran cepat saji yang menjual ayam goreng dan hamburger.“Tidak. Aku menelpon Amelia. Sebelumnya aku pernah janji kalau dia ke sini, akan aku ajak jalan-jalan.”“Ya, sudah. Gabung saja sama kita. Aku juga ingin lebih mengenal Amelia,” sahutnya antusias. Dia meletakkan minuman soda dan ayam goreng di depanku.“Maunya begitu. Tapi dia sudah terlanjur pergi dengan temannya?”“Kevin itu, ya?” ucap Rima membuatku terkejut. “Amelia bilang kepadaku. Malah dia cerita tentang Kevin anak pemilik villa itu, kan?”“Iya, betul. Mereka juga satu kampus.”“
Bohong kalau ada yang mengatakan kalau kita mencintai seseorang, hasrat tidak akan menyertainya. William Shakespeare, seorang penyair pernah mengajukan pertanyaan menggelitik, “Apakah itu cinta?”Saat kita bersama seseorang yang membuat kita nyaman, cinta dan hasrat tidak bisa dipisahkan. Keduanya sejalan. Sedangkan kitalah yang menyeimbangkan keduanya. Bersamanya. Setiap sentuhan tidak hanya memantik jantung bergemuruh, tetapi juga menimbulkan gelenyar indah di hati.Seperti saat ini, kami menghabiskan sisa hari di tepi pantai. Rima menggelar kain pantai sebagai alas duduk. Dengan bersandar di pohon kelapa, kami melanjutkan perbincangan tadi.“Rima. Rencanaku, bulan depan aku sudah pindah. Tidak di Bali lagi. Papi Kusuma menarikku ke sana untuk fokus pada rencanaku semula.”“Terus yang di sini?”“Papa Bram yang meneruskan.”Rima yang bersandar di lenganku, beranjak menegakkan diri dan menoleh ke arahku. “Rima belum mengerti,” ucapnya sambil menggelengkan kepala.“Aku dan Papi Kusuma
Over thinking memang tidak diperlukan. Aku tahu benar ini. Namun, kalau seperti saat ini bagaimana isi kepala ini berputar dengan banyak asumsi jelek? Apalagi ponsel Amelia tidak bisa dihubungi. Masih tiga jam lagi sebelum acara, tetapi seharusnya dia sudah ada di sini untuk mempersiapkan diri. Ini memang kali pertama Amelia seperti ini. Dan, tidak mungkin aku bertanya kepada Mas Suma. Dia sudah disibukkan dengan teman-temannya. Apalagi bertanya kepada Elysia. Mamanya Kevin itu sudah terbenam dengan persiapan nanti malam dan menyambut para undangan. Sekarang, tertinggal aku yang mondar-mandir dengan ponsel di tangan. Aku tersentak saat ponselku menyala, menunjukkan nomor yang tidak tercatat. Seketika aku teringat seperti di film-film itu. Ketika anaknya tidak bisa dihubungi, kemudian ada telpon masuk dari nomor tidak dikenal untuk meminta tebusan. Atau, dari seseorang yang menyampaikan kabar buruk. Dengan was-was aku menerima sambungan telpon ini. “Halo …?” “Mama! Ini Amelia!”
“Amel! Cepat Mama sudah siap!”Suara Mama dari luar kamar, meluruhkan ingatanku saat kejadian tadi. Sekali lagi jemari ini meraba bibir. Masih tertinggal geleyar indah di sana. Aku tidak menyangka melakukannya bersama anak yang mengesalkan itu.Sekarang, hati ini semakin kesal dibuatnya, karena semakin lama aku merasa kesulitan untuk beranjak darinya. Kebebasan seakan terengut, tetapi kenapa ini membahagiakan? Apa ini namanya jatuh cinta yang sebenarnya? Keterikatan dua hati yang memaksa untuk hanya tertuju padanya?Tok! Tok! Tok!“Non Amel. Bu Rani sudah di depan.” Suara Mbak Tias pengasuh Daniel. Dengan segera aku memulas lip gloss rasa strawberry berwarna sedikit merah. Tidak mencolok, hanya terlihat segar.“Anak mama cantik!” seru Mama setelah aku bergabung dengan mereka. Perlakuannya masih sama dari dulu, dia selalu memastikan apa yang aku kenakan sempurna.“Kamu sudah terlihat cantik dengan kalung ini,” ucapnya sambil memposisikan bandul kalung yang miring. Kalung ini, hadiah d
“Ran ….” Mas Suma menyodorkan ponsel yang menunjukkan ini panggilan bertulis ‘Amelia Emergency’. Sejenak suamiku ini tidak berkata-kata dengan wajah terlihat memucat.“A-apa ini artinya?” tanyaku dengan melihat layar yang menunjukkan peta dengan satu titik kecil yang bergerak.“Ini tanda dari bandul yang dikenakan Amelia. Kalau ini berbunyi pertanda ada kondisi bahaya.”“Apa mungkin dia salah pencet, Mas?” tanyaku berusaha mencari kemungkinan lain. Walaupun bayangan buruk mulai datang.“Harapanku begitu, Ran. Tapi kenapa titik ini bergerak menjauhi villa?”BRAK!Suara pintu dibuka terdengar, dan memperlihatkan sosok Wisnu yang terengah. “Mama! Amelia dan Rima ada di sini?”Dia menunjukkan selendang putih dan bros yang aku kenakan kepada Rima tadi. Seketika jantung ini berhenti berdetak saat melihat selendang itu sobek memanjang. Isi kepalaku mulai memperkirakan ini seperti direnggut paksa.“Tidak. Amelia belum kembali ke sini? Memang Rima dimana?” tanya Mas Suma dengan dahi berkerut
“Elys! Amelia!”Aku menjerit, kakiku seakan tidak berpijak. Tangan ini gemetar dan tubuhku mati rasa seketika. Isi kepala ini berjubal dengan bayangan buruk.Kalau itu darah, berarti Amelia terluka. Benda itu terletak di kepala. Kalau bernoda darah, berarti yang cidela adalah kepala. Kulitnya sobek, atau …. Aku tidak sanggup membayangkan ini. Banyak kasus-kasus penculikan yang berakhir dengan kehilangan. Apalagi Amelia seorang anak gadis yang cantik.Tidak! Aku tidak rela ini terjadi pada keluargaku!“Maharani! Tenang!”“Elysia. Bagaimana aku bisa tenang. Amelia anakku ….” Aku tidak sanggup dan hanya bisa tergugu.Kata seandainya mulai meruntuki diriku sendiri. Seandainya aku lebih tegas kepadanya, ini tidak akan terjadi. Seandainya aku tidak mengizinkan dia pergi sendiri dan aku paksa kembali bersamaku, dia akan selamat. Tidak apa-apa dia membenciku, asal dia tidak mengalami hal buruk seperti sekarang ini.Tanganku terkepal keras. Rasa marah mulai menguasai diri ini kepada pelaku. K