Aku tuh sering seperti ini. Otakku seakan berpikir sendiri tanpa aku perintah. Dia selalu menyodorkan segala asumsi yang cenderung berpikir berlebihan. Ini seperti dugaan yang belum tentu benar, walaupun berpijak pada segala fakta. Seperti sekarang, Kevin tergelak saat aku mencecarnya dengan omelan tentang tempat yang tidak biasa itu. “Kevin! Ok lah itu memang kamu melihat seperti biasa saja. Tetapi itu budaya luar yang tidak sesuai dengan budaya kita. Tempat-tempat seperti itu, kalau kita tidak mempunyai dasar yang kuat, kita akan terjerumus. Apalagi kita mempunyai keinginan dan cita-cita yang belum tercapai. Kamu mau kalau mengalami kegagalan dalam kehidupanmu hanya gara-gara penasaran dengan tempat gituan?” Si Kevin memasang wajah menyebalkan. Mulutnya sedikit terbuka terlihat seperti orang bodoh tetapi imut. Ngeselin! “Kita ini masih muda, Kevin. Jangan sampai mengecewakan orang tua yang sudah meletakkan harapan tinggi di pundak kita.” “Memang apa yang kita lakuin salah?” “Ya
“Puas kamu tertawa?”“Habisnya kamu ini lucu, Mel. Sudah kamu jangan berpikir tentang pakaian. Nanti aku belikan di sini sesuai dengan kemana kita akan pergi. Ok deal?” ucap Kevin terdengar santai. Senada dengan yang diucapkan Mama.“Iya, deal,” jawabku, kemudian layar ponselpun menggelap setelah kami say goodbye. Aku tersentak mengingat sesuatu. Bukankah aku memberi tugas ke anak ini? Kok dia belum laporan? Sekali lagi aku menelponnya. Seakan hilang, dia tidak mengangkat telpon.Pasti dia sudah bosan mendengar suaraku. Huuft!“Loh, Kak? Belum selesai packingnya?” Mama membuka pintu dan menunjukkan wajah heran.Aku tersenyum. “Beres, Ma. Sudah kebayang apa yang harus Amel bawa, kok. Sudah OK.”“Ya, sudah kalau begitu. Pending dulu. Kita makan bersama. Itu Papi sudah siap di depan,” ucapnya, kemudian menutup pintu kamar kembali.Keluar dari kamar, Papi langsung melambaikan tangan. Menyuruhku mempercepat langkah. Kebiasaannya kalau sudah lapar dan ingin segera makan. Pantas saja Papi
Terdengar tidak adil kalau faktor keluarga diikutkan, saat menentukan pilihan pasangan. Namun, apa salahnya kalau memilih yang terbaik dari mereka yang baik ini? Seperti Rangga dan Kevin. Dari percakapan kami, mereka menunjukkan keseriuasan dan rasa sayang kepada Amelia. Mereka tahan dengan sikap manja, keras kepala, dan judesnya Amel. Amel pun juga menunjukkan ketertarikan dengan mereka.Pertanyaan Mas Suma yang memaksaku berpikir keras, menentukan yang terbaik. Memang ini terlalu dini untuk dibicarakan. Langkah mereka masih panjang, tapi kalau sudah mulai menyatakan cinta, bukankah lebih baik ditegaskan dari awal? Daripada mengulur waktu dan terkesan memberi harapan palsu.“Namun apa, Ran?” tanya Mas Suma dengan memicingkan mata.“Ini hanya pendapat aku, ya, Mas? Bukan suatu kebenaran.”“Iya, aku mengerti. Ini juga sebagai bahan pertimbangan, Ran. Aku tidak mau Amelia nanti mengalami kegagalan seperti aku,” ucapnya sambil mengangguk. Seakan memantapkan aku untuk bicara.“Mereka berd
Hampir semua orang ingin berlibur di Bali. Tidak hanya orang kita, orang manca negara pun menaruh Bali sebagai pilihan tujuan berpergian. Aku menatap ke sekeliling, menikmati wajah-wajah ceria yang bersiap melepas penat. Berbanding terbalik dengan yang aku rasakan, aku justru membutuhkan keberanian lebih untuk menapak lagi di sana. Kaki ini melangkah memasuki pesawat. Seperti dulu, saat pertama aku menjadikan Bali sebagai tujuan. Dulu aku dan Mas Bram sama-sama masih muda dan miskin pengalaman. Hanya berbekal nekadlah, kami bisa menghadapi masalah dunia. Itu dulu. Bedanya, sekarang aku bersama Mas Suma, lelaki terakhirku. Di belakang, mengekori Amelia dan kedua pengasuh bersama balitaku. Mereka bukti kalau aku sekarang baik-baik saja, bahkan lebih berbahagia. “Ran …?” “Saya duduk sama anak-anak. Denish dan Anind merengek.” “Trus aku?” “Mas Suma duduk bersama Amelia,” ucapku sambil mengarahkan pandangan ke bangku berjajar dua. “Kita berpisah?” Aku tertawa. “Mas Suma. Ini lo k
“Kevin! Selalu begitu. Apa-apa telat.” Amelia melipat tangannya di depan dada, bibirnya cemberut dengan melepar tatapan kesal kepada pemuda itu. “Selamat datang, Tante Rani, Om Kusuma,” ucapnya sambil mengulurkan tangannya ke kami. Dia berbincang menanyakan kabar kepada Mas Suma. Aku tersenyum setelah mendapati Amelia yang semakin cemberut. Sambil menyenggol lengannya, aku berbisik. “Tadi ditunggu. Sekarang datang, malah dicemberutin.” “Kesal, Ma.” “Sudah. Ini kan liburan. Jangan merugi dengan cemberut yang mengurangi rasa senang. Mama ajak Papa sekarang. Kalau dibiarkan, ngobrolnya tidak selesai,” ucapku kemudian menghadapkan dia kepadaku. “Ayo. Anak Mama tidak boleh cemberut. Senyum.” Dia menarik kedua sudut bibirnya membentuk lengkungan. Senyuman yang memaksa. “Mas Suma. Aku kita berangkat sekarang. Denish dan Anind sudah berangkat duluan.” Aku menepuk lengan suamiku, memaksa dia untuk menyudahi obrolannya. “Loh, terus Amelia?” Mas Suma menunjuk Amelia yang bersiap dengan ta
“Sudah dingin kan hatinya?” Aku melengos. Aku tidak menyerah. “Makasih minumannya. Tapi ini tidak menghapus dosamu.” Dia tertawa kecil. “Iya aku mengerti. Dengar, ya, Amel. Tadi itu aku surfing. Tidak mungkin aku angkat telpon.” “Tapi setelahnya kan bisa menjawab pesanku. Iya, kan?” sahutku tidak terima alasan yang terdengar mengada-ada. “Iya. Aku salah. Aku pikir, kita kan sebentar lagi ketemuan. Maafin, ya?” ucapnya sambil menjulurkan tangan. “Maaf dikit,” ucapku sambil menyambutnya. “Gitu, aja?” “Terus. Apa lagi?” tanyaku dengan kening berkerut. “Senyum, Mel. Nanti dipikir orang-orang kita bertengkar,” ucapnya sambil menelengkan kepala dengan tatapan lekat ke arahku. “Biarin,” ucapku sambil mengalihkan pandangan ke jendela kaca. Apa dia tidak sadar kalau kelakuannya menggangguku? “Senyum dikit, ajah.” “Apaan, sih,” seruku sambil melambaikan tangan di depan wajahnya. Senyum ini mengembang dengan sendirinya. Marahan sama orang ini, aku tidak bisa lama. Padahal dari ta
Katanya, kalau menyukai seseorang karena penampilannya, itu tidak akan bertahan lama. Orang yang kaya, bisa miskin. Begitu juga wajah tampan, nantinya akan keriput di masanya. Aku mengerti itu. Namun, yang di sebelahku ini mempunyai pesona yang mulai mengusik hati. Di sinilah kami, di pantai Seminyak untuk rehat sebentar menikmati es krim. Kami duduk di atas pasir dengan bertelanjang kaki. Pantai ini banyak juga pengunjungnya, tetapi tidak sepadat di pantai Kuta. Restoran berjajar di seberang jalan, sedangkan di pantai banyak pengunjung bermain pasir dan mandi di pantai. “Kevin!” “Apa?!” jawabnya sambil menoleh. Aku berhasil mengambil foto selfi dengan latar belakang dia yang kaget. Matanya membelalak dengan mulut terbuka. Ekspresi terkejut yang terlihat jelek, walaupun tetap meninggalkan jejak ketampanan. “Sudah!” ucapku setelah memposting status dengan caption: Liburan di Pulau Dewata dengan sahabat yang jelek. “Kamu posting foto kita barusan?” tanyanya sambil menikmati es krim
“Ingin makan apa gitu?” tanya Kevin sambil menjalankan mobil dengan pelan.Jalanan yang dipenuhi pejalan kaki, memaksa pengendara untuk hati-hati. Wisatawan tidak hanya terlihat berjalan, tetapi beberapa mengunakan sepeda motor. Mereka bersantai dengan menggunakan baju pantai dan bertelanjang kaki yang penuh dengan pasir.“Tidak.” Aku bersendekap, tubuh sedikit miring ke arah jendela. Enggan radanya melihat Kevin, kesal sekaligus malu. Bisa-bisanya aku bersikap bodoh seperti tadi.“Tidak lapar? Tadi kan cuma minum dan es krim.”“Dibilangin tidak.”“Di sini makanannya enak-enak, lo. Pizza pun rasanya authentic. Karena yang bikin orang asli Italy. Begitu juga spagetti, salad, dan juga burger yang dari sono. Chef nya dari luar, pemiliknya juga,” jelasnya tanpa merasa bersalah kalau yang membuatku kesal adalah dia.Seandainya tidak mendapati foto tadi, seharusnya aku bisa berkulineran dulu. Daripada buru-buru ke villa dan beramah tamah dengan teman-teman Papi. Ngobrol dengan mereka, ditu