"Kabar dari Wisnu?" Maharani keluar dari kamar mandi sambil mengeringkan rambutnya yang masih basah. "Iya," jawabku sambil mengulurkan tangan kepadanya. Dia menyambut sambil tersenyum. Perlakuan yang sudah menjadi candu bagiku. Memang kuakui, aku kehilangan masa muda yang indah. Akan tetapi, aku mendapatkan masa di usia tidak muda lagi, kebahagiaan yang luar biasa. Maharani yang menjadi jawabannya. "Sini aku keringkan," ucapku sambil mengulurkan tangan, meminta pengering rambut di tangannya. "Sudah lama tidak dimanja suami," sahutnya saat bersiap duduk di depan cermin. "Iya, iya. Sini."Pengering rambut dinyalakan, aku mengarahkan sambil mengusap rambutnya yang hitam sebahu. Sesekali, tangan ini jahil. Menyelusup di sela-sela rambut dan mengusap lehernya yang putih."Mas Suma kumat," serunya sambil melotot ke arahku melalui pantulan cermin. "Amelia sudah berangkat tadi pagi. Katanya ada kuliah pagi, dan mungkin malam dia tidur di apartemen," ucapnya dengan menghela napas. Sepe
"Wisnu sudah pulang, Pak Maman?" tanyaku setelah melambaikan tangan ke arahnya. Suami Bik Inah itu tergopoh menghampiriku."I-Iya, Tuan Kusuma. Saya juga kaget, kok mobilnya sudah ada di garasi. Kata Pak Satpam, Mas Wisnu sampai sekitar jam dua malam tadi," jelas Pak Maman menjelaskan, kemudian dia permisi ke belakang.Keningku berkerut, kenapa dia sudah pulang, Bukankah rencananya baru kembali ke sini siang ini? 'Mungkin dia sudah tidak sabar berbagi kabar baik," gumamku dalam hati, kemudian melanjutkan melakukan senam pagi. Meregangkan tubuh supaya badan menjadi awet. Usiaku sudah berkepala lima, sedangkan Denish dan Anind masih balita. Ada kekawatiran, aku tidak mampu mendampingi mereka sampai dewasa. Saat mereka di usia dua puluh lima, aku sudah kepala tujuh. Sudah seperti kakek-kakek. "Loh, Wisnu sudah datang?" tanya Maharani yang keluar dari rumah.Dia yang membawa gunting potong bunga menatap heran ke arah mobil sport Wisnu. Kebiasaan istriku dari dulu, rumah selalu dihiasi
"Saya akan membuktikan kalau menjadi laki-laki pilihan tertepat untuk Rima. Dan, memastikan kalau izin Bapak akan membahagiakan putri Bapak," ucapku dengan membalas tatapannya."Dengan membawa Rima sampai larut malam? Kamu pikir anak saya perempuan yang bisa dibawa-bawa begitu?""Maaf, Pak. Saya keliru."Dia tersenyum kembali, tanpa melepas tatapannya dariku. Aku merasa di persidangan. Bukan. Lebih tepatnya seperti di meja algojo yang sedang menghunus golok. Masih memikirkan, bagian mana yang akan dia cabik-cabik."Saya tidak mengizinkan Rima bersamamu. Dia akan memberikan pendamping yang berkualitas. Bukan anak baru lulus kuliah seperti kamu," ucapnya sambil beranjak berdiri. Aku tidak terima. Gegas, aku berdiri menghampirinya. Meraih tangan mencoba untuk meluluhkan hatinya."Pak. Tolong dengarkan saya. Saya dan Rima sudah sepakat untuk berhubungan dekat. Dan dia terlihat berhahagia bersama saya," ucapku dengan memberikan tatapan memohon. Tanganku yang dilengannya dia tepis kasar."
"Kamu akan menyerah?" Papi Suma menatapku tajam, seakan mengorek isi hatiku ini.Aku menggelang. "Tidak, Pi. Jujur, sebelum janur melengkung, Wisnu akan mengusahakan Riama menjadi milik Wisnu. Itu baru sekadar undangan. Hanya tanda tertulis kalau ada rencana penikahan. Akan tetapi, Pi. Wisnu mengkawatirkan Mama dan nama besar Papi. Wisnu tidak mau mencoreng nama Papi," ucapku merusaha tegar.Papi Kusuma mengamati undangan yang aku serahnya. Dia berguman dengan sesekali dahinya berkerut."Aku tahu keluarga Lee. Begitu juga keluarga Ha. Wisnu! Semangat!" teriaknya sambil menepuk lenganku kuat-kuat. Aku membalas tatapannya."Kamu yakin dengan gadis ini?" Papi menelengkan kepala, menyipitkan mata memastikan kesungguhanku."Yakin. Sangat yakin. Dia Rima, gadis yang selama ini aku pikirkan, Pi. Dan ternyata dia sudah menyambu Wisnu.""Jadi kalian sempat berbincang dan sepakat untuk bersama?""I-Iya, Pi. Karenanya, Wisnu mengatakan kalau Wisnu berhasil."Papi Kusuma mengangguk-angguk. Seaka
Aku mendesah, menyakinkan kalau apa yang aku lakukan adalah benar. Ini mempertaruhkan nama perusahaan. Sama saja aku mencampur adukkan urusan pribadi pada keputusan."Sudah kamu kerjakan semua pesannku?" tanyaku kepada Dewi melalui ponsel. Aku ingin sesampai di kantor semuanya sudah beres."Sudah siap semuanya. Saya kirimkan laporannya sekarang," jelas sekretaris andalanku ini. Pesan bergambar masuk. Semua memperlihatkan keadaan kantor secara detail. Foto keluarga lengkap, termasuk Wisnu di dalamnya. Dan juga foto Wisnu saat mengenakan toga bersama Maharani. Aku sudah mempersiapkan semuanya. Ini seperti serangan awal yang mendadak. Pasti ayahnya Rima akan terkejut melihat ini."Pukul berapa meetingnya?" "Satu jam lagi. Semua berkas sudah saya siapkan di meja. Bisa dicek terlebih dahulu, kalau ada yang kurang akan segera saya lengkapi," jelas Desi kemudian undur diri.Aku tidak akan nekad seperti ini kalau tidak tahu apa yang terjadi. Berkat Desilah ide ini terbersit. Kepala ini gel
Kehidupan itu penuh kerahasiaan. Termasuk kisah percintaan. Seringkali terlihat jalan terbentang luas, ternyata ada batu yang menghadang. Tergantung kita menyikapinya bagaimana. Memakai batu itu sebagai batu loncatan, atau sebagai batu sandungan.POV AuthorPerjodohan untuk Rima sudah dicetuskan la di keluarga mereka. Dengan dalih memastikan kebahagiaan anak semata wayang mereka. Ini semakin ditetapkan kala Rima sudah berkuliah dan jauh dari rumah. Setiap kesempatan, Tuan dan Nyonya Santosa Lee mencari celah untuk menyampaikan niat mereka. Terutama saat Rima pulang di waktuliburan.Entah, sampai pukul berapa Nyonya Lee selesai bercerita kepada Rima. Keseharian di saat anak gadisnya itu tidak di rumah, diceritakan dari A sampai Z. Tidak hanya itu. Nyonya Lee menceritakan tentang kisah perjodohannya dulu yang membuahkan bukti cinta mereka, Rima yang sekarang tumbuh menjadi wanita yang memesona.Rima yang sebenarnya sudah bersiap tidur, yang awalnya duduk, akhirnya berbaring dan terkula
Jodoh itu kadang-kadang terlihat muter-muter. Padahal mereka pernah dipertemukan sebelumnya. itu rahasia jodoh. Walaupunyang menentukan yang di Atas, tetap harus diupayakan. POV Author Sebenarnya Santoso Lee, ayah dari Rima sudah pernah melihat Wisnu sebelumnya. Bahkan Wisnu bersama Tuan Kusuma, Maharani dan Amelia. Bahkan, saat itu Nyonya Lee terbersit menjodohkan keduanya. Saat itu kejadiannya di mall. Ketika tidak sengaja Wisnu bertemu dengan Rima dan meminjamkan jaketnya karena baju yang dikenakan Rima terlalu terbuka. Jaket kaos yang dipinjamkan Wisnu, dikenakan oleh Rima. Seakan mendapat pelukan, gadis itu menampilkan senyuman manis di sepanjang langkahnya. Aroma khas laki-laki itu seakan mewakili kehadirannya. Rima menuju tempat Mami dan Papinya menunggu. Memang dia ke tempat ini bersama orang tuanya, yang sedari dia liburan di rumah selalu menguntitnya. Kemana-mana harus bersama, tidak dibiarkan dia pergi sendiri apalagi bersama orang lain. Ini saja, dia bisa ke wahana ma
Sekarang kami benar-benar jatuh cinta, Kisah kami berjalan di rel yang benar. Restu orang tua sudah menyertai, memperlancar langkah kami berdua.Tidak puas dengan kirim pesan, aku melakukan panggilan video call. Wajah kekasihku yang cantik terlihat dilayar ponsel, menunjukkan keceriaan walaupun masih ada bekas matanya yang sembab."Aku kangen," ucapku langsung. Hati ini seakan lepas dan bebas mengungkapkan apa yang ada di hati ini."Aku juga. Tidak hanya kangen. Tetapi sangat kangen," sahutnya sambil menunjukkan senyuman.Dari layar ponsel, kami saling berpandangan, Karena kami tidak menemukan kata yang tepat yang melukiskan kebahagiaan ini. "Rima.""Hmm.""Ada yang belum aku ucapkan kepadamu.""Apa?" tanyanya sambil tersenyum."I love you," ucapku dengan menunjukkan senyuman.Di layar aku melihat senyumnya tersipu. Pipinya yang putih memerah. Kalau aku di dekatnya, pasti dia sudah dalam dekapanku. Aku tersenyum, mengingat hangat tubuhnya masih terekam diingatan.Kami berbincang lama