"Benar, kita latihan di sana tidak apa-apa?" tanyaku sekali lagi masih ragu. Aku ingat, Rima juga pernah menceritakan kalau Papinya tidak suka kalau dia menari. Kalau seandainya kami kepergok, bagaimana? Latihan berdua saja. Bisa jadi menimbulkan penafsiran yang aneh-aneh. "Tidak. Rima jamin, deh. Teman-temn kalau membuat tugas kelompok dan membutuhkan ruangan lebar, juga Rima ajak kesana," ucapnya membuatku yakin. Aku dan Rima berangkat pagi-pagi. Rencananya, kami memanfaatkan waktu di hari minggu ini full untuk latihan tari. Menyelesaikan koreografi, dan nantinya bisa diperdalam di tempat masing-masing.Pintu gerbang langsung dibuka saat Rima membunyikan bel. Muncul perempuan separuh baya yang dipanggil Bik Suti."Syukurlah, Neng Rima sudah datang," seru Bik Suti dengan menunjukkan wajah lega.Dia mengangguk kepadaku, dan mempersilakan masuk sebelum menutup pintu gerbang tinggi itu.Rima mengajak untuk masuk setelah memarkir motor di garasi. Rumah yang lumayan besar kalau diperun
"Mas Wisnu!" Baru saja aku akan memencet tombol bel, suara Rima menghentikan gerakanku. Setengah berlari dia menghampiriku. Penampilannya sekarang dilengkapi dengan topi hitam. Ya, itu topi yang"Rima? Aku pikir kamu sudah pulang. Ini sudah sore." "Rima di unitas. Aku pikir Mas Wisnu ke sana. Eh, tidak muncul sama sekali. Untungnya tadi ketemu Mas Lucas. Dia bilang Mas Wisnu mencari aku ke rumah. Makanya aku buru-buru pulang," ucapnya sambil menekan dada. Terlihat sekali dia berusaha mengatur napas.Aku melihat ke sekitar, tidak mendapati kendaraan apapun yang seharusnya dia tumpangi. "Kamu naik apa pulang?" "Naik angkot sampai depan. Makanya ke sini lari biar ketemu Mas Wisnu. Sekalian olah raga," ucapnya sambil menunjukkan senyuman. "Kalau begitu, aku boleh berkunjung ke rumahmu?" Sekilas aku melihat raut wajahnya berubah, tetapi kemudian senyumannya mengembang kembali. "Di rumah tidak orang. Kalau kita makan di luar bagaimana. Ada cafe di depan. Rima yang traktir, deh," ucap
Ini kali pertama mobil ini ditumpangi seorang kekasih. Aku tandai tanggal sekarang sebagai hari kelengkapan. Awal malam menjadikan awal dari segalanya. Seorang Wisnu mulai dilengkapi dengan cita-cita dan wanita. Bibir ini tersenyum dengan sempurna, menyadari kalau aku sudah mulai melangkah ke arah yang aku inginkan. Hidung ini menangkap aroma parfum yang ditinggalkan Rima. Menghidu saja menimbulkan geleyar aneh."Mas Wisnu senyum-senyum saja." Suara yang sudah akrab di telinga ini terdengar. Rima masuk dengan kresek penuh dengan minuman botol dan camilan. "Kita berangkat!" seruku kemudian menjalankan mobil secara perlahan. Memasuki jalan raya yang mulai tidak padat. "Rima. Sudah izin orang tua kalau kamu ikut aku?" "Sudah. Tadi aku sudah kirim pesan.""Bilangnya keluar sama siapa?" tanyaku sambil menoleh ke arahnya. Dia pun menatapku dengan senyuman. "Keluar sama teman.""Teman? Teman saja?" tanyaku berniat menggodanya. "Iya. Teman hidup," ucapnya kemudian membekap mulutnya ya
[Wisnu. Berhasil? Kabari Papi. Jangan lupa]Sesampai penginapan, ponsel aku buka. Pesan dari Papi Kusuma langsung menyambut. Tidak hanya itu, kemudian deretan pesanpun masuk. [Asyik. Amelia punya kakak ipar] dari Amelia, kemudian menyusul pesan dari Mama. [Anakku sudah besar. Ingat pesan Mama dan Eyang Satro] Pesan Mama yang membuat tersenyum.Teringat berderet nasehat yang pernah dilontarkan oleh Ibuk dan aku, mengenai hubungan laki-laki dan wanita"Ingat batasannya. Justru kamu sudah menjadi laki-laki dewasa, itu lebih berbahaya. Otak sering terkalahkan oleh nafsu. Hati-hati, setan itu banyak cara menggoda," ucap Eyang Sastro saat pertemuan terakhir kala itu. Ini dipicu ketika Rangga datang menemui Amelia di acata ulang tahun Eyang Rianti. Tidak hanya itu, Eyang Sastro juga mengatakan hal yang berhasil membuat wajahku menghangat. "Eyang tahu, kami sudah waktunya dekat dengan wanita. Pasti dari dalam ada ketertarikan baik dari hati maupun fisik, kan? Pesan Eyang, boleh dekat den
"Kabar dari Wisnu?" Maharani keluar dari kamar mandi sambil mengeringkan rambutnya yang masih basah. "Iya," jawabku sambil mengulurkan tangan kepadanya. Dia menyambut sambil tersenyum. Perlakuan yang sudah menjadi candu bagiku. Memang kuakui, aku kehilangan masa muda yang indah. Akan tetapi, aku mendapatkan masa di usia tidak muda lagi, kebahagiaan yang luar biasa. Maharani yang menjadi jawabannya. "Sini aku keringkan," ucapku sambil mengulurkan tangan, meminta pengering rambut di tangannya. "Sudah lama tidak dimanja suami," sahutnya saat bersiap duduk di depan cermin. "Iya, iya. Sini."Pengering rambut dinyalakan, aku mengarahkan sambil mengusap rambutnya yang hitam sebahu. Sesekali, tangan ini jahil. Menyelusup di sela-sela rambut dan mengusap lehernya yang putih."Mas Suma kumat," serunya sambil melotot ke arahku melalui pantulan cermin. "Amelia sudah berangkat tadi pagi. Katanya ada kuliah pagi, dan mungkin malam dia tidur di apartemen," ucapnya dengan menghela napas. Sepe
"Wisnu sudah pulang, Pak Maman?" tanyaku setelah melambaikan tangan ke arahnya. Suami Bik Inah itu tergopoh menghampiriku."I-Iya, Tuan Kusuma. Saya juga kaget, kok mobilnya sudah ada di garasi. Kata Pak Satpam, Mas Wisnu sampai sekitar jam dua malam tadi," jelas Pak Maman menjelaskan, kemudian dia permisi ke belakang.Keningku berkerut, kenapa dia sudah pulang, Bukankah rencananya baru kembali ke sini siang ini? 'Mungkin dia sudah tidak sabar berbagi kabar baik," gumamku dalam hati, kemudian melanjutkan melakukan senam pagi. Meregangkan tubuh supaya badan menjadi awet. Usiaku sudah berkepala lima, sedangkan Denish dan Anind masih balita. Ada kekawatiran, aku tidak mampu mendampingi mereka sampai dewasa. Saat mereka di usia dua puluh lima, aku sudah kepala tujuh. Sudah seperti kakek-kakek. "Loh, Wisnu sudah datang?" tanya Maharani yang keluar dari rumah.Dia yang membawa gunting potong bunga menatap heran ke arah mobil sport Wisnu. Kebiasaan istriku dari dulu, rumah selalu dihiasi
"Saya akan membuktikan kalau menjadi laki-laki pilihan tertepat untuk Rima. Dan, memastikan kalau izin Bapak akan membahagiakan putri Bapak," ucapku dengan membalas tatapannya."Dengan membawa Rima sampai larut malam? Kamu pikir anak saya perempuan yang bisa dibawa-bawa begitu?""Maaf, Pak. Saya keliru."Dia tersenyum kembali, tanpa melepas tatapannya dariku. Aku merasa di persidangan. Bukan. Lebih tepatnya seperti di meja algojo yang sedang menghunus golok. Masih memikirkan, bagian mana yang akan dia cabik-cabik."Saya tidak mengizinkan Rima bersamamu. Dia akan memberikan pendamping yang berkualitas. Bukan anak baru lulus kuliah seperti kamu," ucapnya sambil beranjak berdiri. Aku tidak terima. Gegas, aku berdiri menghampirinya. Meraih tangan mencoba untuk meluluhkan hatinya."Pak. Tolong dengarkan saya. Saya dan Rima sudah sepakat untuk berhubungan dekat. Dan dia terlihat berhahagia bersama saya," ucapku dengan memberikan tatapan memohon. Tanganku yang dilengannya dia tepis kasar."
"Kamu akan menyerah?" Papi Suma menatapku tajam, seakan mengorek isi hatiku ini.Aku menggelang. "Tidak, Pi. Jujur, sebelum janur melengkung, Wisnu akan mengusahakan Riama menjadi milik Wisnu. Itu baru sekadar undangan. Hanya tanda tertulis kalau ada rencana penikahan. Akan tetapi, Pi. Wisnu mengkawatirkan Mama dan nama besar Papi. Wisnu tidak mau mencoreng nama Papi," ucapku merusaha tegar.Papi Kusuma mengamati undangan yang aku serahnya. Dia berguman dengan sesekali dahinya berkerut."Aku tahu keluarga Lee. Begitu juga keluarga Ha. Wisnu! Semangat!" teriaknya sambil menepuk lenganku kuat-kuat. Aku membalas tatapannya."Kamu yakin dengan gadis ini?" Papi menelengkan kepala, menyipitkan mata memastikan kesungguhanku."Yakin. Sangat yakin. Dia Rima, gadis yang selama ini aku pikirkan, Pi. Dan ternyata dia sudah menyambu Wisnu.""Jadi kalian sempat berbincang dan sepakat untuk bersama?""I-Iya, Pi. Karenanya, Wisnu mengatakan kalau Wisnu berhasil."Papi Kusuma mengangguk-angguk. Seaka