Kalau ada orang yang dibutakan oleh amarah, lebih baik diabaikan. Karena apapun yang kita ucapkan akan dinilai salah. Isi kepalanya sudah dipenuhi prasangka buruk. Aku teringat wejangan yang Bapak sampaikan. Saat itu, aku masih remaja dan berkeluh kesah karena ada teman yang selalu berbuat masalah denganku."Mau digimanakan lagi, Nduk. Wong dia melihat dengan menggunakan kaca mata yang kotor. Seberapa cerah wajah kita, ya akan terlihat kusam. Iyo, to?" ucap Bapak. "Tapi kan mengganggu, Pak.""Gunanya kita punya dua tangan itu apa? Untuk menutup telinga kita yang ada dua ini. Abaikan saja. Anggap saja tidak penting."Itu teorinya. Kenyataannya, mengabaikan itu tidak mudah. Jejeran kata-kata itu pun terlihat nyata di kepala ini. Bagaimana bisa melakukan hal itu?Yang bisa aku lakukan sekarang, hanya tidak membalas pesan Dewi. Terserah dia akan bertambah marah atau tidak. Kalau aku balas, justru aku takut tidak bisa mengendalikan diri. Aku mendesah dengan mengembungkan mulut, kemudian
Cari penyakit. Itu menurutku kalau menyambut permintaan Dewi untuk bertemu di apartemennya Amelia.Kalau dia ingin bertemu dengan anaknya, kenapa harus mengundang saya juga? Untuk apa? [Aku akan ke apartemen Amelia. Aku minta kamu datang. Ada yang harus dibicarakan] Pesan dari Dewi di ponselku tadi bagi. Dalam keadaan pesan bertanda sudah terbaca. Aku pastikan Maharani yang membacanya saat tadi memegang ponselku karena pesan Desi sekretaris.Kalau seperti ini, urusannya jadi lebih panjang. [Saya harus minta izin ke Maharani istriku] Pesan yang aku kirim untuknya. Aman. Belum sempat aku bernapas, ponsel menyala lagi tanda pesan masuk. [Kalau kamu tidak mengatakan ini ke Maharani, kenapa harus minta izin?]Huuft! Awal hari yang mengesalkan. Untung saja aku tidak terjebak seumur hidup dengan wanita semacam ini. "Wanita macam apa yang sudah mempunyai suami tetapi menemui mantan." Ucapan Mami yang sebelumnya aku abaikan. Kalau Dewi begitu memaksa, pemikiranku akan jadi sama dengan
Kalau wanita itu makhluk yang complicated, Maharani di atasnya itu. Dia ini wanita yang aneh. Istri yang menyuruh suaminya untuk menemui mantan istrinya. Maksa lagi. Aneh, kan?"Ran. Kamu ikut, ya?" Aku bertanya sekali lagi setelah mobil sudah mendekati rumah. Bukan menjawab, dia justru mendengus kesal dengan mata melotot. "Aish...!""Iya-iya." Kalau sudah begini, perintahnya tidak bisa diganggu gugat. Terpaksa kemudi aku belokkan ke rumah. Pak Satpam Soleh membukakan pintu, sambil membungkuk hormat. Kebiasaan yang tidak bisa aku hilangkan darinya. "Di sini saja. Mas Suma tidak usah turun. Nanti alasan ini dan itu lagi. Sat-set-sat-set gitu, lo. Biar cepet selesai semuanya," ucapnya mencegah tanganku yang akan membuka sabuk pengaman. 'Tahu saja tipu muslihatku,' gumanku dalam hati dengan mencembik. "Cepet pulang. Aku masakkan untuk makan malam," ucapnya sambil menutup pintu, dengan nada datar.Senyumanku mengembang. Memang dia menyuruh, tetapi ini dengan catatan. Bukankah ini
Bertemu client dari berbagai negara aku bisa. Bernegosiasi dengan siapapun yang memiliki karakter yang berbeda pun aku mampu. Namun, untuk yang satu ini aku menyerah. Menghadapi wanita. Gerakan tangan ini yang akan membuka amplop yang dia berikan terhenti. Aku memilih diam setelah menyodorkan tisu.Bagaimana bisa belum ada yang dipersoalkan, tetapi sudah bereaksi? Ini kan membuatku bertambah bingung. "Kenapa kamu belum baca isi amplop itu?" Dewi bertanya sambil menyeka air matanya. "Bagaimana aku baca. Kamu nangis terus. Sebenarnya ada apa?" Aku mulai gusar. Terdengar Dewi menghela napas panjang. Wajahnya menunjukkan kegelisahan. "Patrick tidak bisa dihubungi dengan bebas. Katanya, pekerjaan di sana sangat adat, sedangkan lokasi tidak terjangkau sinyal.""Tapi kamu tetap mendapatkan bulanan dari dia?" tanyaku memastikan. Patrick, suami Dewi memang masuk penjara. Dan ini dirahasiakan dari keluarganya, terutama Dewi dan anak mereka. Sedangkan perusahaan mereka, walaupun aku akuis
Apa yang ditangkap oleh mata, belum tentu itu kejadiannya yang sebenarnya. Sudah aku jelaskan kepada Amelia, tapi wajah yang menyunggingkan senyuman menunjukkan apa isi kepalanya. Jelas-jelas dia tidak percaya. Tidak bisa disalahkan juga, sih. Di tempat parkir, berduaan di dalam mobil. Berpelukan lagi. Lampu dalam mobil yang tidak begitu terang, memperlihatkan pose yang lebih dramatis. "Mami cuma mengucapkan terima kasih kepada Papi. Tidak lebih," tambah Dewi mendukung ucapanku."Iya, betul. Tuh dengar kata Mamimu.""Iya-iya. Amelia percaya, kok," jawabnya kemudian menatap kami bergantian dan mengerutkan dahi. "Tapi, kenapa kalian harus menjelaskan kepada Amelia?" tambahnya kemudian berlari meninggalkan aku dan Dewi. "Maaf, ya. Bikin Amelia salah paham. Malam ini aku kan tidur di sini. Nanti aku jelaskan kepadanya.""Bukannya ini dirahasiakan dari Amelia?"Dewi tersenyum. "Bukan tentang sakitku. Aku hanya akan menjelaskan kalau aku mengucapkan terima kasih karena sudah membesarkan
Aku tercekat, menatapnya dengan percaya, tidak percaya. Bingung. "Mas Suma? Kok ada di sini?" tanyaku dengan kesadaran belum pulih benar. Baru saja aku mendengar musibah yang menimpanya, sekarang dia berdiri dengan senyum yang mengembang. Serta merta, aku bergegas mengitari sofa penghalang kami. Menghambur ke dalam pelukannya dan menuntaskan tangisan yang terjeda tadi. "Rani. Aku tinggal sebentar saja kok kamu sampai menangis seperti ini, ya? Ayok, kita duduk saja. Aku pegal," ucapnya sambil menyerahkan bawaannya. Dia membimbingku dan kamipun duduk berdampingan. Dengan cekatan, Mas Suma mengeluarkan kotak pipih dan membukanya. Aroma martabak menguar menggoda. Martabak langganan dan kesukaanku. "Maaf, ya. Aku tadi antrinya tidak panjang lagi, tapi puanjaang!" Dia mengambil garpu, kemudian menancapkan ke sepotong martabak tebal dan menyerahkan kepadaku. "Ini kesukaanmu, kan. Sudah jangan menangis. Aku tadi cuma berbincang sebentar dengan Amelia dan Dewi. Lamanya ya di tempat mar
"Sudah lega?" "Hu-um." Aku mengangguk dengan tersenyum dan mengerjapkan mata, berusaha mengusir rasa kantuk yang sudah di ambang. Tangan ini diraih, dia menarikku menuju tempat parkir. Semua urusan sudah selesai. Sesekali aku melirik lelakiku yang sesekali menggeratkan genggaman.'Hmm ... aku sangat bangga memilikinya. Pandangan di luar gedung ini terlihat lengang. Hanya tukang sapu yang memulai aktifitas. Suara gerakan sapu lidi mengiringi semburat sinar matahari yang akan menunjukkan kekuasaannya. Malam sudah usai, dan sekarang sudah menjelang pagi. "Awas kepalamu," ucap Mas Suma dengan tangan kiri membukakan pintu, dan tangan kanan menekan kepalaku. Kebiasaan yang sering dia lakukan, tetapi tetap menimbulkan geleyar indah di hati. "Mas Suma yakin mengemudi sendiri? Tidak ngantuk?" "Tidak. Kan ada kamu yang jadi navigatornya," sahutnya sambil melempar senyuman. Pelan, mobil mulai berjalan. Namun tiba-tiba dihentikan. Dia melongokkan kepala ke depan,dan memutar pandangan. "A
"Ran. Aku ngantuk," ucapnya setelah mulutnya menguap. Kedua tangan diregangkan ke atas, kemudian ke samping kanan dan kiri. Dia pasti tidak hanya ngantuk, tetapi pegal juga. Kami belum mendapat kesempatan tidur."Minum ini dulu supaya segar." Aku menyodorkan minuman jahe panas. Minuman dengan jahe segar yang dimemarkan, diseduh dengan air panas, dengan pemanis madu. Ini tidak hanya menyegarkan, tetapi juga menambah tenaga. Dulu, Ibuk selalu menyiapkan untuk Bapak saat beliau lembur pekerjaan. Aku masih ingat saat Ibuk menuangkan minuman yang masih panas ke piring kecil, mengipas untuk mengurai uap panas. "Ini sudah hangat." Aku menyodorkan piring kecil berisi minuman, meniru yang diperlakukan Ibu dulu. "Terima kasih, Rani. My lovely wife ini memang is the best." Ungkapan yang terdengar gombalan, tetapi membuat hati ini menghangat. Mas Suma yang awalnya duduk tegak di sofa, tubuhnya mulai merosot. Bersandar beberapa saat, kemudian merebahkan diri dengan kepala di pegangan sofa.