Kalau wanita itu makhluk yang complicated, Maharani di atasnya itu. Dia ini wanita yang aneh. Istri yang menyuruh suaminya untuk menemui mantan istrinya. Maksa lagi. Aneh, kan?"Ran. Kamu ikut, ya?" Aku bertanya sekali lagi setelah mobil sudah mendekati rumah. Bukan menjawab, dia justru mendengus kesal dengan mata melotot. "Aish...!""Iya-iya." Kalau sudah begini, perintahnya tidak bisa diganggu gugat. Terpaksa kemudi aku belokkan ke rumah. Pak Satpam Soleh membukakan pintu, sambil membungkuk hormat. Kebiasaan yang tidak bisa aku hilangkan darinya. "Di sini saja. Mas Suma tidak usah turun. Nanti alasan ini dan itu lagi. Sat-set-sat-set gitu, lo. Biar cepet selesai semuanya," ucapnya mencegah tanganku yang akan membuka sabuk pengaman. 'Tahu saja tipu muslihatku,' gumanku dalam hati dengan mencembik. "Cepet pulang. Aku masakkan untuk makan malam," ucapnya sambil menutup pintu, dengan nada datar.Senyumanku mengembang. Memang dia menyuruh, tetapi ini dengan catatan. Bukankah ini
Bertemu client dari berbagai negara aku bisa. Bernegosiasi dengan siapapun yang memiliki karakter yang berbeda pun aku mampu. Namun, untuk yang satu ini aku menyerah. Menghadapi wanita. Gerakan tangan ini yang akan membuka amplop yang dia berikan terhenti. Aku memilih diam setelah menyodorkan tisu.Bagaimana bisa belum ada yang dipersoalkan, tetapi sudah bereaksi? Ini kan membuatku bertambah bingung. "Kenapa kamu belum baca isi amplop itu?" Dewi bertanya sambil menyeka air matanya. "Bagaimana aku baca. Kamu nangis terus. Sebenarnya ada apa?" Aku mulai gusar. Terdengar Dewi menghela napas panjang. Wajahnya menunjukkan kegelisahan. "Patrick tidak bisa dihubungi dengan bebas. Katanya, pekerjaan di sana sangat adat, sedangkan lokasi tidak terjangkau sinyal.""Tapi kamu tetap mendapatkan bulanan dari dia?" tanyaku memastikan. Patrick, suami Dewi memang masuk penjara. Dan ini dirahasiakan dari keluarganya, terutama Dewi dan anak mereka. Sedangkan perusahaan mereka, walaupun aku akuis
Apa yang ditangkap oleh mata, belum tentu itu kejadiannya yang sebenarnya. Sudah aku jelaskan kepada Amelia, tapi wajah yang menyunggingkan senyuman menunjukkan apa isi kepalanya. Jelas-jelas dia tidak percaya. Tidak bisa disalahkan juga, sih. Di tempat parkir, berduaan di dalam mobil. Berpelukan lagi. Lampu dalam mobil yang tidak begitu terang, memperlihatkan pose yang lebih dramatis. "Mami cuma mengucapkan terima kasih kepada Papi. Tidak lebih," tambah Dewi mendukung ucapanku."Iya, betul. Tuh dengar kata Mamimu.""Iya-iya. Amelia percaya, kok," jawabnya kemudian menatap kami bergantian dan mengerutkan dahi. "Tapi, kenapa kalian harus menjelaskan kepada Amelia?" tambahnya kemudian berlari meninggalkan aku dan Dewi. "Maaf, ya. Bikin Amelia salah paham. Malam ini aku kan tidur di sini. Nanti aku jelaskan kepadanya.""Bukannya ini dirahasiakan dari Amelia?"Dewi tersenyum. "Bukan tentang sakitku. Aku hanya akan menjelaskan kalau aku mengucapkan terima kasih karena sudah membesarkan
Aku tercekat, menatapnya dengan percaya, tidak percaya. Bingung. "Mas Suma? Kok ada di sini?" tanyaku dengan kesadaran belum pulih benar. Baru saja aku mendengar musibah yang menimpanya, sekarang dia berdiri dengan senyum yang mengembang. Serta merta, aku bergegas mengitari sofa penghalang kami. Menghambur ke dalam pelukannya dan menuntaskan tangisan yang terjeda tadi. "Rani. Aku tinggal sebentar saja kok kamu sampai menangis seperti ini, ya? Ayok, kita duduk saja. Aku pegal," ucapnya sambil menyerahkan bawaannya. Dia membimbingku dan kamipun duduk berdampingan. Dengan cekatan, Mas Suma mengeluarkan kotak pipih dan membukanya. Aroma martabak menguar menggoda. Martabak langganan dan kesukaanku. "Maaf, ya. Aku tadi antrinya tidak panjang lagi, tapi puanjaang!" Dia mengambil garpu, kemudian menancapkan ke sepotong martabak tebal dan menyerahkan kepadaku. "Ini kesukaanmu, kan. Sudah jangan menangis. Aku tadi cuma berbincang sebentar dengan Amelia dan Dewi. Lamanya ya di tempat mar
"Sudah lega?" "Hu-um." Aku mengangguk dengan tersenyum dan mengerjapkan mata, berusaha mengusir rasa kantuk yang sudah di ambang. Tangan ini diraih, dia menarikku menuju tempat parkir. Semua urusan sudah selesai. Sesekali aku melirik lelakiku yang sesekali menggeratkan genggaman.'Hmm ... aku sangat bangga memilikinya. Pandangan di luar gedung ini terlihat lengang. Hanya tukang sapu yang memulai aktifitas. Suara gerakan sapu lidi mengiringi semburat sinar matahari yang akan menunjukkan kekuasaannya. Malam sudah usai, dan sekarang sudah menjelang pagi. "Awas kepalamu," ucap Mas Suma dengan tangan kiri membukakan pintu, dan tangan kanan menekan kepalaku. Kebiasaan yang sering dia lakukan, tetapi tetap menimbulkan geleyar indah di hati. "Mas Suma yakin mengemudi sendiri? Tidak ngantuk?" "Tidak. Kan ada kamu yang jadi navigatornya," sahutnya sambil melempar senyuman. Pelan, mobil mulai berjalan. Namun tiba-tiba dihentikan. Dia melongokkan kepala ke depan,dan memutar pandangan. "A
"Ran. Aku ngantuk," ucapnya setelah mulutnya menguap. Kedua tangan diregangkan ke atas, kemudian ke samping kanan dan kiri. Dia pasti tidak hanya ngantuk, tetapi pegal juga. Kami belum mendapat kesempatan tidur."Minum ini dulu supaya segar." Aku menyodorkan minuman jahe panas. Minuman dengan jahe segar yang dimemarkan, diseduh dengan air panas, dengan pemanis madu. Ini tidak hanya menyegarkan, tetapi juga menambah tenaga. Dulu, Ibuk selalu menyiapkan untuk Bapak saat beliau lembur pekerjaan. Aku masih ingat saat Ibuk menuangkan minuman yang masih panas ke piring kecil, mengipas untuk mengurai uap panas. "Ini sudah hangat." Aku menyodorkan piring kecil berisi minuman, meniru yang diperlakukan Ibu dulu. "Terima kasih, Rani. My lovely wife ini memang is the best." Ungkapan yang terdengar gombalan, tetapi membuat hati ini menghangat. Mas Suma yang awalnya duduk tegak di sofa, tubuhnya mulai merosot. Bersandar beberapa saat, kemudian merebahkan diri dengan kepala di pegangan sofa.
Setuju. Akhirnya aku menyetujuinya, tidak hanya dengan keiklasan, akan tetapi juga dengan rasa bangga. Sangat jarang seorang mantan suami bertanggung jawab kepada keluarga mantan istri. Di luaran sana, siapa yang mau seperti Mas Suma? Kok mantan istri, anak sendiri saja sering diterlantarkan kalau mereka sudah berpisah. "Kita harus rahasiakan ini. Ingat, tujuan kita demi kebahagiaan Amelia, kan?" "Betul itu, Mas. Kalau begitu, jangan sampai berkas ini diketahui olehnya. Kamu harus menyimpannya. Kalau perlu dimusnahkan saja.""Pasti. Ini akan diurus oleh Desi. Dia pandai kalau melakukan hal ini. Kamu tidak usah khawatir, Amelia juga jarang berhubungan dengan Desi."Mas Suma terlihat merasa lega. Dia menatapku sejenak, sebelum menarik tubuh ini ke dalam pelukan. "Terima kasih, Rani. Aku sangat beruntung memilikimu," bisiknya sambil membubuhkan ciuman di kening ini. Mengusap lembut punggungku, dan semakin menenggelamkan aku ke dalam pelukannya. Merasa disayangi suami. Menghargai dan
Yang aku harapkan bukan seperti ini. Dalam bayanganku pun persis seperti di dalam dongeng di buku yang dulu aku baca. Cerita yang membuatku iri karena saat itu aku belum mempunyai ibu. Sekaligus bacaan sebagai penghibur kerinduan yang tidak pernah terbayar. Ternyata penantianku dari kecil sampai dewasa tidak seperti yang aku inginkan. Dalam pikiranku, aku tidur seranjang dengan Mami Dewi layaknya anak dan ibu. Saling mencurahkan kasih sayang, cinta, dan saling menguatkan. Bukan justru menyebar kebencian. [Kakak pulang. Pesananmu sudah Kakak belikan] Ketidaknyamanan luruh seketika karena kabar baik. Kak Wisnu pulang. Ini berarti kami dalam formasi lengkap. Kesempatan yang tidak boleh dilewatkan. Dan sekarang kami berenam berkumpul di ruang keluarga. Bukan Papi namanya, kalau tidak menyeletuk dan ngeselin. "Beneran Amelia sudah ada yang naksir lagi. Dulu Rangga, sekarang Kevin. Wah, keren. Kakak saja tidak laku-laku," seru Kak Wisnu sambil garuk-garuk kepala. "Itu yang ket