Terima kasih sudah membaca cerita ini. Bahagia selalu, ya.
“Pernikahan di usia kalian tidak cukup hanya berdasar cinta, tetapi bagaimana usahanya. Bukan usaha yang merujuk materi, ya. Namun usaha untuk menempatkan dia untuk ditempatkan di tempat yang berharga,” ucapku setelah mendengar curahan hati Prasetyo. Lelaki flamboyan ini mengangguk, entah dia mengerti atau semakin tidak tahu. Maharani sering mengeluhkan tentangnya. Memberitaku laki-laki ini, kadang masuh di telinga kiri, dan keluar dari telinga kanan. Terbukti, semenjak aku kenal dengannya sudah berapa wanita yang dia ceritakan dekat dengannya. Namun, tidak satupun berujung pada hubungan serius. “Kamu yakin tidak dengan Kalila?! Dia itu karyawanku. Jangan coba-coba memberikan harapan lebih, kemudian dicampakkan!” ucapku sengaja dengan nada menggertak. Alih-alih keder, dia justru tertawa. Apa aktingku kurang meyakinkan, ya? “Sementara yakin. Yang masih ragu justru Kalila. Kok saya yang di-warning. Harusnya Kalila yang Pak Kusuma kasih SP, karena menggantung cinta saya,” selorohnya
POV MaharaniPagi yang mengesalkan.Semalaman aku menunggu Mas Suma menelpon kembali, atau setidaknya mengirim pesan untuk minta maaf. Ternyata aku hanya bersandar di harapan kosong.Harusnya dia peka sebagai suami. Memang aku yang memutus sambungan telpon dengan alasan tidak mau diganggu, tetapi kenapa dia tidak berusaha untuk membujukku. Minimal pura-pura berusaha supaya aku luluh.Kenapa dia tidak berupaya untuk menjelaskan kalau aku hanya salah paham? Kekesalanku ini juga karena dia membiarkan aku menunggu telponnya, tanpa mengirim pesan penyebabnya apa.Dia sama sekali tidak merasa bersalah, bahkan di pagi ini pun tidak ada kabar apapun darinya. Padahal aku bersiap sedari petang untuk jaga-jaga kalau dia menghubungiku. Diri ini sudah rapi, bahkan kububuhkan make-up tipis supaya terlihat indah di matanya. Test pack dengan tanda dua garis pun sudah aku siapkan sebagai kejutan. Namun, semuanya hanya sia-sia. Apakah aku tidak boleh kesal kalau punya suami yang seperti ini?Huuft!Su
Menjadi menantu kesayangan mertua itu membahagiakan dan sekaligus memusingkan. Di luar sana pasti para menantu cemburu denganku. Namun sayangnya Nyonya Besar terhadapku berlebihan, seperti saat ini.Baru saja selesai makan, suster Lena sudah menyodorkan aku vitamin dari dokter ditambah suplemen yang dititipkan oleh Nyonya Besar.“Ini aman, Sus? Saya minum bersamaan?”Aku menyodorkan kembali wadah kecil kepadanya. Kalau semua-semua dikonsumsi, apakah tidak berlebihan atau justru bertentangan khasiatnya?“Nyonya Besar sudah konsultasi dengan dokter kandungan Nyonya. Bisa dipastikan ini aman, dan justru bagus.”Nurut.Itu keputusan aman kalau tidak ingin dirunut dengan pertanyaan kenapa. Seperti suamiku, mertuaku ini mempunyai sifat yang sama. Segala sesuatu harus ada alasan dan masuk di kepalanya. Kalau tidak runut, jangan harap pendapat akan diterima.“Nyonya, menurut jadwal waktu istirahat kembali ke ranjang satu jam lagi. Saya tinggal dulu sebentar, dan nanti akan kembali lagi,” ucap
Mataku tidak lepas dari jendela besar yang dibalut tirai transparan. Pemandangan di luar tidak kentara, seperti kabar tentang suamiku yang buram.Tubuh yang meringkuk ini memang di sini, tetapi pikiran melayang mencari Mas Suma berada. Genggaman tanganku pun mengerat pada selimut tebal, mencoba mengurai sesak di dalam dada, tetapi gagal. Justru air mata yang meluncur tak tertahankan.Hari ini kegagalanku sebagai istri. Seseorang yang seharuskan memanjatkan doa untuk suami di saat dia pergi, justru dengan gampangnya meluncurkan kata-kata ‘tidak mau berbicara lagi.’Akankah ini yang disebut terkabul dalam ketidaksengajaan? Berucap dengan pura-pura, tetapi tercatat sebagai permintaan?Sekali lagi mata ini terpejam menahan nyeri di dada. Tidak sanggup aku membayangkan kalau ini kejadian nyata. Kehilangan suami dalam keadaan hati dilanda amarah.Tidak hanya gagal sebagai istri, aku juga tidak bisa menjaga apa yang dititipkannya.“Suster Lena, saya dimana?” Beberapa jam yang lalu aku ters
Semua gelap. Mata ini masih ditutup dan mulut pun terkatup rapat seperti terbalut perekat besar. “Dimana aku ini?” gumamku lirih. Kepala ini ingat akan kejadian tadi. Aku dibekap dan tidak ingat lagi. Apakah ini hari akhir untukku? Huuft! Semoga tidak. Maharani istriku. Aku masih berhutang untuk menghubunginya. Kalau aku diberi kesempatan, tidak akan pernah aku mengabaikannya seperti tadi malam. Menempatkan dia di nomor sekian setelah pekerjaan dan urusanku. Sungguh, aku sangat menyesal. Satu persatu nama anakku terlintas di kepala ini. Tidak hanya itu, senyuman dan lambaian tangan membulatkan tekad untuk tetap kuat dan terlepas dari kungkungan ini. Aku harus bisa! Suasana sepi, hanya terdengar sesekali gesekan kayu seiring dengan embusan angin. Aku hirup udara dalam-dalam, aroma seperti oli bekas menyambar di penciumanku. Bau seperti di sebuah bengkel. Kucoba beringsut, tetapi tangan dan kakiku terikat erat. Leherku pun terasa kaku. Aku mendongak dan mencoba untuk berontak. Te
Nyaris aku menyerah. Bagaimana tidak, jari-jari itu menyentuh dengan gerakan menggoda. Tidak hanya berhenti di sela kancing, gerakannya mulai terasa gemas dan membuat perutku mual. Tangan ini hanya bisa mengepal erat, manahan kesal dengan perlakuan menjijikkan ini.Aku tersentak saat kemeja direnggut paksa. Udara dingin seketika menyelusup seiring dengan terhamburnya kancing-kancing yang terlepas. Ini pertahananku yang terakhir, kugerakkan tubuh ini kesegala arah, menghindar dari rabaan kurang ajar yang semakin liar.“Auw!”Terdengar suara yang berbeda, bersamaan dengan jatuhnya diriku yang masih terikat dengan kursi. Ujung kakiku merasakan, tadi sempat mendorong tubuh pemilik tangan sialan itu.Kumpulan debu menyergap penciuman ini, bersamaan lenganku yang nyeri dengan sangat. Sendi ini seakan terlepas dari tempatnya. Ingin berteriak mengaduh, tapi mulut ini terekat rapat. Kurapatkan gigi untuk menahan sakit yang tak terkira. Ini benar sakit yang tidak pernah aku alami.Akankah in
Kemampuanku sekarang diuji. Jangan sampai kemalangan ini menenggelamkan kapal yang dibangun dan dinahkodai suamiku selama ini.Rapat direksi mengukuhkan aku sebagai pengganti Mas Suma untuk sementara. Meleluasakan langkah sekaligus memberiku kaki dan tangan untuk mengusut kejadian yang menimpa Mas Suma. Aku yakin, ini tidak hanya masalah pribadi, tetapi ada hubungannya dengan perusahaan.Setelahnya, aku langsung mengumpulkan semua pimpinan staff, untuk merumuskan apa yang akan dilakukan selanjutnya. Jangan sampai roda perusahaan terhenti. Pak Tiok memang tidak masuk di jajaran perusahaan, dia lebih mendampingiku. Di ujung sana, dia menyimak jalannya pertemuan ini.“Saya tidak ada pengalaman memimpin perusahaan sebesar ini. Terima kasih atas kepercayaan dan kesempatan untuk memimpin kalian. Atas dasar cinta kepada perusahaan dan keluarga, mari kita bersatu demi kemajuan bersama.” Ucapku menekankan kalau kami adalah setara. Perjuangan dengan bersama-samalah yang menjadi tujuanku.Satu
POV KusumaEntah berapa lama aku tidak sadarkan diri. Mata ini aku kerjapkan untuk mengumpulkan kesadaran. Aku terbaring di ranjang sempit. Sudah tidak ada lagi penutup mata dan merekat mulut. Tangan dan kaki pun terbebas dari ikatan. Kugerakkan lengan, rasa nyeri sudah berkurang.Dalam cahaya temaram, mata ini mengedarkan pandangan. Ruangan sempit dengan jendela tinggi berjeruji. Tidak ada perabotan lain selain ranjang yang aku duduki ini.‘Dimana aku sekarang?’ Aku melonjakkan kaki dan yang kudapati hanya kegelapan.Aku dudukkan diri di tepi ranjang, meremas rambut dan mengusap kasar wajah. Siapa tahu ini hanya mimpi dan akan luruh? Lagi-lagi, yang kudapati tidak berubah. Ini kenyataan yang harus aku hadapi.Seorang Kusuma disekap di ruangan sempit tanpa perabotan, bahkan tanpa makanan. Aku harus cari akal. Jangan sampai aku seperti tikus yang masuk perangkap dan mati karena kelaparan.Ada dua pintu, pasti itu jalan keluar.Daun pintu terbuka, dan yang aku dapati justru kamar mandi