Mataku tidak lepas dari jendela besar yang dibalut tirai transparan. Pemandangan di luar tidak kentara, seperti kabar tentang suamiku yang buram.Tubuh yang meringkuk ini memang di sini, tetapi pikiran melayang mencari Mas Suma berada. Genggaman tanganku pun mengerat pada selimut tebal, mencoba mengurai sesak di dalam dada, tetapi gagal. Justru air mata yang meluncur tak tertahankan.Hari ini kegagalanku sebagai istri. Seseorang yang seharuskan memanjatkan doa untuk suami di saat dia pergi, justru dengan gampangnya meluncurkan kata-kata ‘tidak mau berbicara lagi.’Akankah ini yang disebut terkabul dalam ketidaksengajaan? Berucap dengan pura-pura, tetapi tercatat sebagai permintaan?Sekali lagi mata ini terpejam menahan nyeri di dada. Tidak sanggup aku membayangkan kalau ini kejadian nyata. Kehilangan suami dalam keadaan hati dilanda amarah.Tidak hanya gagal sebagai istri, aku juga tidak bisa menjaga apa yang dititipkannya.“Suster Lena, saya dimana?” Beberapa jam yang lalu aku ters
Semua gelap. Mata ini masih ditutup dan mulut pun terkatup rapat seperti terbalut perekat besar. “Dimana aku ini?” gumamku lirih. Kepala ini ingat akan kejadian tadi. Aku dibekap dan tidak ingat lagi. Apakah ini hari akhir untukku? Huuft! Semoga tidak. Maharani istriku. Aku masih berhutang untuk menghubunginya. Kalau aku diberi kesempatan, tidak akan pernah aku mengabaikannya seperti tadi malam. Menempatkan dia di nomor sekian setelah pekerjaan dan urusanku. Sungguh, aku sangat menyesal. Satu persatu nama anakku terlintas di kepala ini. Tidak hanya itu, senyuman dan lambaian tangan membulatkan tekad untuk tetap kuat dan terlepas dari kungkungan ini. Aku harus bisa! Suasana sepi, hanya terdengar sesekali gesekan kayu seiring dengan embusan angin. Aku hirup udara dalam-dalam, aroma seperti oli bekas menyambar di penciumanku. Bau seperti di sebuah bengkel. Kucoba beringsut, tetapi tangan dan kakiku terikat erat. Leherku pun terasa kaku. Aku mendongak dan mencoba untuk berontak. Te
Nyaris aku menyerah. Bagaimana tidak, jari-jari itu menyentuh dengan gerakan menggoda. Tidak hanya berhenti di sela kancing, gerakannya mulai terasa gemas dan membuat perutku mual. Tangan ini hanya bisa mengepal erat, manahan kesal dengan perlakuan menjijikkan ini.Aku tersentak saat kemeja direnggut paksa. Udara dingin seketika menyelusup seiring dengan terhamburnya kancing-kancing yang terlepas. Ini pertahananku yang terakhir, kugerakkan tubuh ini kesegala arah, menghindar dari rabaan kurang ajar yang semakin liar.“Auw!”Terdengar suara yang berbeda, bersamaan dengan jatuhnya diriku yang masih terikat dengan kursi. Ujung kakiku merasakan, tadi sempat mendorong tubuh pemilik tangan sialan itu.Kumpulan debu menyergap penciuman ini, bersamaan lenganku yang nyeri dengan sangat. Sendi ini seakan terlepas dari tempatnya. Ingin berteriak mengaduh, tapi mulut ini terekat rapat. Kurapatkan gigi untuk menahan sakit yang tak terkira. Ini benar sakit yang tidak pernah aku alami.Akankah in
Kemampuanku sekarang diuji. Jangan sampai kemalangan ini menenggelamkan kapal yang dibangun dan dinahkodai suamiku selama ini.Rapat direksi mengukuhkan aku sebagai pengganti Mas Suma untuk sementara. Meleluasakan langkah sekaligus memberiku kaki dan tangan untuk mengusut kejadian yang menimpa Mas Suma. Aku yakin, ini tidak hanya masalah pribadi, tetapi ada hubungannya dengan perusahaan.Setelahnya, aku langsung mengumpulkan semua pimpinan staff, untuk merumuskan apa yang akan dilakukan selanjutnya. Jangan sampai roda perusahaan terhenti. Pak Tiok memang tidak masuk di jajaran perusahaan, dia lebih mendampingiku. Di ujung sana, dia menyimak jalannya pertemuan ini.“Saya tidak ada pengalaman memimpin perusahaan sebesar ini. Terima kasih atas kepercayaan dan kesempatan untuk memimpin kalian. Atas dasar cinta kepada perusahaan dan keluarga, mari kita bersatu demi kemajuan bersama.” Ucapku menekankan kalau kami adalah setara. Perjuangan dengan bersama-samalah yang menjadi tujuanku.Satu
POV KusumaEntah berapa lama aku tidak sadarkan diri. Mata ini aku kerjapkan untuk mengumpulkan kesadaran. Aku terbaring di ranjang sempit. Sudah tidak ada lagi penutup mata dan merekat mulut. Tangan dan kaki pun terbebas dari ikatan. Kugerakkan lengan, rasa nyeri sudah berkurang.Dalam cahaya temaram, mata ini mengedarkan pandangan. Ruangan sempit dengan jendela tinggi berjeruji. Tidak ada perabotan lain selain ranjang yang aku duduki ini.‘Dimana aku sekarang?’ Aku melonjakkan kaki dan yang kudapati hanya kegelapan.Aku dudukkan diri di tepi ranjang, meremas rambut dan mengusap kasar wajah. Siapa tahu ini hanya mimpi dan akan luruh? Lagi-lagi, yang kudapati tidak berubah. Ini kenyataan yang harus aku hadapi.Seorang Kusuma disekap di ruangan sempit tanpa perabotan, bahkan tanpa makanan. Aku harus cari akal. Jangan sampai aku seperti tikus yang masuk perangkap dan mati karena kelaparan.Ada dua pintu, pasti itu jalan keluar.Daun pintu terbuka, dan yang aku dapati justru kamar mandi
Kenapa suara langkah kaki itu lebih terasa mengerikan dibandingkan sikap kasar para penjaga? Terlebih setelah bunyi pintu ditutup, dan suara hening melingkupi ruangan ini.Tak…tak…tak….Suara itu mendekat dan tanpa aku harus bisa melihat, kupastikan dia berdiri tepat di depanku. Parfum yang sama, aroma citrus bercampur dengan mawar. Tubuh ini begidik seketika, saat belaian mengusap pipi dan leher ini. Kemudian menyelusup di sela-sela rambut dengan menggerak-gerakkan ibu jari.Tangan ini terkepal keras, apalagi saat bobot badannya berpindah di pangkuanku. Aku berusaha berontak, tapi dia semakin memperlakukanku dengan liar. Sudah dipastikan, benar perkiraanku. Orang ini adalah perempuan.Tubuhnya yang wangi menghimpit dengan gerakan yang erotis. Dengus napasnyapun berkali-kali menerpa leher ini. Kepala ini mencoba menghidar, dan kedua tangannya menangkup pipi ini dan bisikannya membuatku tersentak.“I love you, Mas Suma. Kamu sekarang milikku.”Perut ini semakin mual, saat kulit ini mer
Jalan berbatu menyulitkan pengejaran ini. Kecepatan yang ditambah tidak mengejar mobil jeep yang dilindungi kepulan debu. Bahkan, Pak Tiok sampai menghentikan motor karena pandangan mata terhalang dan aku yang tidak berhenti terbatuk-batuk.“Kenapa berhenti?”Aku menyorotkan tatapan kesal. Satu-satunya petunjuk hilang begitu saja di depan mata.“Jalan ini, jalan tunggal. Kita pasti akan menemuinya. Semakin kita kejar, dia akan semakin berusaha menghilangkan jejak. Bukankah lebih baik kita biarkan mereka lengah?” ucap Pak Tiok setelah membuka helm. Dia mengeluarkan dua botol kecil berisi minuman mineral dari tas ransel yang tertangkup di dadanya.“Minum dulu. Setelahnya kita lanjut.”Aku menerima dan menenggaknya sampai tandas. Kemudian memintanya bergegas melanjutkan perjalanan.Jejak roda mobil jeep terlihat jelas. Apalagi di jalan yang berlumpur. Jalan ini lurus terus dan kami mendapati jajaran gudang-gudang bekas. Seperti tempat perbaikan mesin-mesin pabrik. Tidak ada kegiatan, sep
Kecurigaan menyeruak seiring dengan mata yang memindahi bayangan di cermin. Rambut disisir rapi dan wajahku yang kotor tidak terlihat lagi, bahkan aku mencium jejak lotion di wajah ini. Memang aku tidak muda lagi, tetapi terlihat lain dengan tampilan seperti ini.Berapa lama aku tidak sadar, dan apa yang mereka perbuat sehingga aku tidak tahu apa yang mereka lakukan?Kepala ini meneleng memperhatikan tangan dan kaki. Luka akibat eratnya ikatan tali di pergelangan pun di plester. Sendi yang kemarin terasa nyeri juga sembuh. Tubuhku merasa baikan, akan tetapi perasaan ini semakin menaruh curiga.Perlakuan ini seperti menyiapkan hidangan. Dan, hidangan itu adalah aku.“Sudah bangun, Tuan?” Terdengar suara sedikit serak mendesah.Spontan, kepala ini menoleh ke arah suara. Seorang wanita bersendekap sambil bersandar di dinding. Entah berapa lama dia di sana.Keningku berkerut, melihat penampilannya. Dia mengenakan topeng berwarna emas yang berhias bulu-bulu. Hanya bibir yang dipoles ginc