Kecurigaan menyeruak seiring dengan mata yang memindahi bayangan di cermin. Rambut disisir rapi dan wajahku yang kotor tidak terlihat lagi, bahkan aku mencium jejak lotion di wajah ini. Memang aku tidak muda lagi, tetapi terlihat lain dengan tampilan seperti ini.Berapa lama aku tidak sadar, dan apa yang mereka perbuat sehingga aku tidak tahu apa yang mereka lakukan?Kepala ini meneleng memperhatikan tangan dan kaki. Luka akibat eratnya ikatan tali di pergelangan pun di plester. Sendi yang kemarin terasa nyeri juga sembuh. Tubuhku merasa baikan, akan tetapi perasaan ini semakin menaruh curiga.Perlakuan ini seperti menyiapkan hidangan. Dan, hidangan itu adalah aku.“Sudah bangun, Tuan?” Terdengar suara sedikit serak mendesah.Spontan, kepala ini menoleh ke arah suara. Seorang wanita bersendekap sambil bersandar di dinding. Entah berapa lama dia di sana.Keningku berkerut, melihat penampilannya. Dia mengenakan topeng berwarna emas yang berhias bulu-bulu. Hanya bibir yang dipoles ginc
Pemaklumanku selama ini ternyata sia-sia. Rasa sayang yang tersisa, ternyata diabaikan. Dan, justru yang dilakukan sekarang bentuk penghianatan dan penghinaan. Aku mendengus dan mengepalkan tangan penuh amarah, gigi ini pun menggeletuk bersama rasa geram yang semakin membuncah.Kerlingan mata dan senyuman yang ditampilkan wajah indah itu, terasa menjijikkan. Seperti berhadapan dengan setan betina yang akan menunjukkan kekejaman, aku bersiap saat dia melangkahkan kakinya.Tak…tak…tak….“Catherine! Ja-jadi kamu yang menculikku? Tega sekali melakukan ini. Kamu sudah aku anggap saudara justru berbuat jahat kepadaku!” teriakku tidak percaya. Suara langkah yang lekat di kepala ini, ternyata dia pemiliknya.Berkali-kali kenyataan dan dugaan orang sekitar merujuk kepadanya, dan aku justru berusaha tidak mempercayainya. Namun, sekarang terbukti. Dia yang kucoba percayai dan diberi kesempatan, ternyata menunjukkan tidak bisa berubah apalagi dimaafkan.Aku memundurkan langkah seiring dengan wan
Aku tidak ada pilihan lain, walaupun cara ini beresiko dan bisa menghilangkan nyawa.Kuhela napas dalam-dalam, memusatkan pikiran dan mengumpulkan tenaga. Satu kali lemparan, tempat sampah berbahan logam melayang tepat ke cermin lebar ini.PRANG!!!Suara keras semakin mematik keributan di luar sana. Teriakan Catherine terdengar menjadi-jadi, menandakan waktuku sudah hampir habis. Di ambang putus asa, pasti ada harapan. Dan, aku harus melakukannya.Kuraih pecahan cermin yang paling panjang. Genggaman kueratkan sambil menahan gemetar yang masih menguasahi tubuh ini.‘Rani, istriku. Aku minta maaf kalau aku tidak sempat bertemu kamu lagi. Jaga anak-anak,’ bisik hatiku sambil memusatkan pikiran. Kupejamkan mata sambil mengangkat tinggi-tinggi tangan ini. Mengarahkan tepat di perut yang aku tuju.CRESS!Seketika rasa menyayat seiring dengan potongan tajam ini menembus kulit perut. Darah merembes dari sela luka dengan potongan cermin yang masih tertancap. Bercampur dengan air yang menetes d
Tatapanku tidak terlepas dari Pak Tiok. Ekspresinya yang berubah-ubah membuatku mengerutkan dahi. Setiap aku menunjukkan pertanyaan, dia hanya mengangkat tangan menandakan aku disuruh diam. Maksudnya apa?Sekarang, justru dia keluar dari ruangan. Masih dengan ponsel di tangan, dia jalan mondar-mandir sambil berbincang. Aku yang berusaha mencuri dengar, tidak menangkap apapun. Akhirnya menyerah, memilih duduk seraya memeriksa pesan yang masuk dari Desi sekretaris.Laporan dari perusahaan menandakan semua karyawan mendengarkan yang aku katakan. Sebenarnya mereka sudah mempunyai kemampuan sesuai bidang yang ditempati. Sebagai pemimpin hanya sebagai penggerak dan memotivasi mereka, tentu saja tetap di dalam pengawasan.Ini sesapan terakhir kopi yang sudah tidak hangat lagi. Begitu lama, akhirnya Pak Tiok memunculkan wajahnya. Tidak ada gambaran gembira, tetapi juga tidak ada raut kesedian. Entah, apa yang akan dia katakan.“Pak Tiok. Bagaimana?” tanyaku dengan menunjukkan raut wajah menun
Aku terduduk lemas dengan jawaban yang tidak pasti ini. Katanya, Mas Suma mengalami pendarahan yang hebat, untung saja benda yang menusuk perutnya masih tertancap. Itu yang menyelamatkan nyawanya.Sebegitu jahatnya mereka sampai menusuk suamiku. Apa salah dia, sehingga mereka mempunyai alasan untuk mencelakai Mas Suma?Mata ini terpaku pada pintu di ujung ruang tunggu ini. Dari sanalah jawaban akan aku dapat. Apakah aku masih diberi kesempatan untuk meminta maaf kepadanya, atau justru kesempatan tidak berpihak kepadaku?Sungguh, aku tidak sanggup menghadapi kemungkinan terburuk ini.“Pak Kusuma orangnya kuat dan pantang menyerah. Dia pasti lolos dengan selamat dari kejadian ini,” ucap Pak Tiok yang duduk mensejajariku. Dia menyodorkan sekotak tissu untukku.Aku yang masih tergugu, hanya bisa mengangguk dan menerimanya. Membuka mulut, hanya memicu tangisku yang tidak bisa lagi kukendalikan. Inginku bersikap tenang sambil melantunkan doa. Akan tetapi saat memohon keselamatan dan menyebu
Mata ini mengerjap, menautkan serpihan kesadaran. Tidak kudapati lagi Mas Suma yang baru saja berdiri di depanku. Masih lekat di pendengaran suara yang aku rindukan. Begitu juga senyuman yang baru saja aku lihat.“Mas Suma!”Aku mengedarkan pandangan. Namun yang aku dapati hanya Pak Tiok duduk tepat di sebelah ranjang, dengan menunjukkan wajah kawatir. Dia terlihat kuyu dan berantakan.“Mas Suma bagaimana?”“Alhamdulillah. Keadaan Pak Kusuma sudah stabil. Sekarang, justru kamu yang harus menjalani pemeriksaan.” Dia mendorong bahu ini, saat aku berusaha duduk.“Rani…. Kita bersahabat sudah berapa lama? Kenapa kamu masih menganggapku orang lain?” ucap Pak Tiok melupakan kesepakatan memanggilku seperti biasanya. Aku menatapnya tidak mengerti.Dia mendesah sambil menatapku lekat. “Kenapa kamu tidak mengatakan, kalau kamu habis keguguran? Kamu harus istirahat, Ran.”“Saat ini kesehatanku bukan prioritas. Aku harus—““Harus apa? Coba bayangkan kalau ada apa-apa dengan kamu. Bagaimana anak-a
Keadaan yang awalnya sepi, mulai diriuhkan dengan anggota Club 21. Mereka menunjukkan keprihatinan terhadap keadaan Mas Suma, walaupun waktu menjenguk dibatasi.Musibah yang sempat dirahasiakan akhirnya terendus oleh mereka. Akan tetapi, untuk khalayak umum tetap dirahasiakan. Ini atas permintaan Nyonya Besar. Karena kesehatan pucuk pimpinan akan berpengaruh pada harga saham dan kepercayaan pelanggan. Aku tidak mengikuti jalannya penyelidikan. Semua aku serahkan kepada Pak Tiok, sedangkan aku konsentrasi kepada kesehatan dan perusahaan.Dokter Hendra yang mengurus perpindahan Mas Suma. Aku dan suamiku dirawat di rumah sakit yang dipimpinnya. Keadaan Mas Suma mulai stabil, walaupun dia belum sadar. Menurut diagnosa, kekurangan darah menyebabkan asupan oksigen ke otak sempat terhambat. Inilah yang menyebabkan keadaan ini.“Sampai kapan Mas Suma tidak sadar? Apakah ini tidak berbahaya?”“Dari hasil pemeriksaan, semua sudah dalam kondisi normal. Kita tunggu saja.” Ini yang selalu menj
Aku sudah pasrah. Apapun yang terjadi aku serahkan kepada yang di Atas. Sebagai hambanya hanya berkewajiban berusaha, sedangkan hasil adalah hak-Nya. Yakin saja, apapun yang terjadi pasti tertepat.***“Ma, Papi bagaimana?” seru Amelia setelah pintu terbuka, diikuti Wisnu. Ini masih selepas subuh, tetapi mereka sudah sampai di sini.Aku menunjukkan telunjuk di bibir, sambil mengarahkan mata ke arah Mas Suma yang tertidur. Semenjak sadar, tidak dibiarkan tangan ini terlepas darinya. Hanya saat aku meminta untuk menunaikan kewajiban dia melepaskanku. Itupun harus mengerjakan tidak jauh darinya.“Papi beneran sudah sadar?” Wisnu berucap dengan berbisik.Aku mengangguk sambil tersenyum. Mereka mengambil kursi dengan hati-hati, menaruh di sebelah ranjang tanpa bersuara.“Amel kangen Papi, Ma?” Dia merengut, menunjukkan wajah sendu menatap Mas Suma yang masih tertidur nyenyak.Wisnu menatapku dan Mas Suma bergantian, kemudian dia berenjak mendekatiku.“Mama juga harus istirahat,” ucapnya s